Opini

Antimiras Co Vs. Indonesia Inc 1-0

Oleh : Rikard Djegadut - Selasa, 02/03/2021 20:15 WIB

Kemasan Bir merk Bintang dan Anker

Oleh: Christianto Wibisono, penulis buku Kencan Dinasti Menteng.

Opini, INDNEWS.ID - Selasa 2 Maret, tepat setahun lalu Indonesia mendeteksi 3 pasien wanita terpapar Covid.

Hari ini Presiden mengumumkan pencabutan “Perpres Miras” yang dihebohkan dan diprotes oleh 2 ormas yang usianya lebih tua dari Republik Indonesia yaitu Muhamadyah (berdiri 1913) dan Nahdlatul Ulama (1926).

Sekarang masyarakat menanti apa reaksi 2 badan hukum korporasi yang juga lahir sebeleum NKRI yaitu Pabrik bir Bintang Surabaya 1929 dan pabrik bir Anker Jakarta 1932.

Apakah dua entitas perdata itu juga harus ditutup dengan konsekuen trilyunan kontraksi ekonomi dan mungkin jutaan karyawan dan pihak terkait industry bir yang pada 2029 akan berusia seabad.

Negara Republik Indonesia memang belum berusia seabad dan cenderung menganut dominasi negara atas private (sipil) entitas badan hukum perdata, milik masyarakat, (bukan negara).

Jadi dalam hal terjadi konflik antara “kebijakan Negara” dan “eksistensi badan hukum perdata” maka otomatis Negara yang akan menang dan “ badan hukum ybs” harus menyerah kalah, diakuisisi, disita, dinasionalisasi dst dsb.

Dalam sejarah 75 tahun republik, kita melihat beberapa kali Negara menyita asset “swasta” baik “nasional: maupun milik negara asing. Tapi dalam hal penyitaan terhadap milik asing, dalam jangka panjang, akhirnya pemerintah harus menaati hukum inernasional tidak bisa seenaknya mengambil alih badan usaha swasta.

Dua pabrik bir Bintang dan Anker itu pernah disita tahun 1957 ketika perjuangan merebut Irian Barat mencapai puncak dan Bung Karno merestui nasionalisasi semua perusahaan Belanda termasuk dua pabrik bir tsb.

Tapi selama 10 tahun kemudian, ekonomi Indonesia terpuruk dan Presiden Soeharto harus mengembalikan semua perusahaan Belanda Kembali kepada pemiliknya. Sayang armada KPM telanjur muspro dan sejak 1957, ongkos logistic, beaya angkutan antar pulau di Indonesia adalah yang termahal di dunia hingga detik ini.

Jadi jika menghadapi entitas multinasional, maka pemerintah Indonesia tidak bisa seenaknya menyita perusahaan swasta itu. Boleh saja menyita tapi berhadapan dengan konsekensi gugatan ke Mahkamah ICSID di bawah jurisdikti Bank Dunia.

Beberapa kali Indonesia mengalami kekalahan dan dihukum membayar ganti rugi karena seenaknya menutup atau menyita asset seperti pernah dialami oleh hotel Kartika Plaza (sekarang Gedung UOB) di jalan Thamrin Dalam hal yang disita adalah “perusahaann domestic”biasanya memang tidak berdaya dan pemilik harus merelakan “assetnya” disita oleh negara.

Ini terjadi pada konglomerat Oei Tiong Ham Concern yang assetsnya disita 1963 tepat seabad usia konglomerat pertama Asia Tenggara itu. Juga tiga p engusaha istana era Bung Karno Teuku Markam, Bram Tambunan dan Abdurahman Aslam.

Asset dari 3 korporasi milik trio itu disita dijadikan PT Berdikari yang kemudian menjadi BUMN setelah sempat dikuasai oleh keluarga Cendana melalui Yayasan yang mereka dirikan untuk mengelola bisnis family orang nomor satu pemilik Negara RI periode 1966-1998.

Lahan Kartika Plaza tadinya milik Markam disita oleh Inkopad dan berkongsi dengan Amco lalu konflik dan BKPM menyita tapi digugat oleh Amco ke ICSID dan Pemerintah RI harus membayar kompensasi ganti rugi atas penyitaan sewenang wenang itu.

Sekarang urusan miras mendadak jadi heboh. Apakah Negara dan terutama elite oligarki Republik Indonesia masih belum pernah belajar dari sejarah, dan selalu mengulangi penyakit emosional, tidak rasional tidak logis dan mau menang sendiri.

Kita nantikan bagaimana nasib dua pabrik bir yang sudah berusia hamper seabad menghadapi gelombang emosi anti miras yang menyangkut eksistensi nasib mereka. Semoga Negara dan Menhukham Sudah siap dengan pengacara kaliber dunia bila terjadi konflik soal eksistensi kedua pabrik bir apakah akan dilikuidasi karena opini public atau di perlakukan istimewa karena sejarahnya yang malah lebih tua dari Republik Indonesia.

Paling sedikit ada 100 entitas swasta yang eksistensinya lebih tua dari Republik Indonesia. Kalau mereka setiap saat bisa disita oleh negara maka Indonesia tidak akan pernah punya Mitsui, Mitsubishi, Sumitomo,Marubeni, Itochu. Sebab semua perusahaan rawan disita secara politik jika terjadi suksesi kekuasaan antar elite.

Akibatnya, Indonesia Inc tidak akan punya korporasi raksasa lintas abad, lintas generasi. Semua terancam disita oleh elite yang saling berebut kuasa politik. Dengan kalau perlu membubarkan korporasi Indonesia Inc tanpa divisi seperti AS yang punya 4 General ekonomi raksasa yaitu General Atomics, General Dynamics, General Electric, General Motors.

Drama kebijakan “antimiras” yang dihebohkan ini semoga tidak sampai menghambat laju recovery ekonomi pasca vaksinasi Covid. Karena kekuatan korporasi Indonesia Inc akan tengggelam ditelan oleh “rezm opini sectarian” abad pertengahan.*

 

Artikel Terkait