Daerah

Penangkapan Karena Menyinggung Wali Kota Solo, ICJR: Tindakan Kepolisian Berlebihan

Oleh : very - Jum'at, 19/03/2021 13:59 WIB

Polisi siber. (Foto: Ilustrasi)

Jakarta, INDONEWS.ID -- Berdasarkan pemberitaan yang beredar, pada Senin, 15 Maret 2021, Polresta Surakarta menangkap seorang warga Slawi berinisial AM, pemilik akun Instagram @arkham_87 karena mengunggah komentar bermuatan ujaran kebencian.

Warga tersebut ditangkap karena menulis komentar pada unggahan akun @garudarevolution terkait permintaan Wali Kota Solo Gibran Rakabuming Raka, putra Presiden Joko Widodo, agar semifinal dan final Piala Menpora digelar di Solo.

Kapolresta Solo Kombes Pol Ade Safri Simanjuntak mengatakan, AM ditangkap karena tidak ada niatan baik untuk menghapus unggahan komentar setelah diperingatkan melalui direct message (DM) oleh Tim Virtual Police Polresta Surakarta.

Meskipun telah dilepaskan, ICJR menilai tindakan penangkapan yang dilakukan oleh Kepolisian tersebut merupakan tindakan yang berlebihan dan merupakan langkah mundur pasca pidato Presiden Jokowi soal kebebasan berpendapat dan demokrasi.

“ICJR juga menilai bahwa selain menunjukan UU ITE harus direvisi, masalah utama juga terletak pada pemahaman aparat penegak hukum, dalam hal ini Kepolisian, terkait dengan individu dan jabatan dalam konteks penerapan UU ITE. Pasal yang diduga oleh kepolisian dalam hal ini tidak berdasar dan tidak memiliki keterhubungan dengan peristiwa,” ujar Peneliti ICJR, Sustira Dirga, melalui siaran pers diterima di Jakarta, beberapa waktu lalu.

Pertama, katanya, jika ingin menggunakan UU ITE yang sering digunakan selama ini, yaitu pasal 27 ayat (3) tentang penghinaan, penafsiran norma yang termuat dalam pasal 27 ayat (3) UU ITE tidak bisa dilepaskan dari genusnya yaitu norma hukum yang termuat dalam pasal 310 dan pasal 311 KUHP sesuai dengan Putusan Mahkamah Konstitusi No.50/PUUVI/ 2008. Pasal 27 ayat (3) ini merupakan delik aduan absolut.

Sebagai delik aduan absolut maka yang boleh melaporkan hanyalah orang yang menjadi “korban” penghinaan secara langsung dan laporan tidak boleh dilakukan oleh orang lain selain “korban.

“Maka yang menjadi pertanyaan dalam penangkapan warga tersebut adalah apakah Gibran membuat pengaduan kepada kepolisian atau tidak. Jika tidak maka kepolisian telah salah dalam menerapkan pasal 27 ayat (3) UU ITE,” ujarnya.

Kedua, jika kepolisian ingin menggunakan pasal 28 ayat (2) UU ITE, yang juga kerap kali digunakan untuk menyasar kelompok atau individu yang mengkritik institusi dengan ekspresi yang sah, tujuan awal perumusan tindak pidana tentang propaganda kebencian tersebut adalah untuk mencegah terjadinya permusuhan, kerusuhan atau bahkan perpecahan yang didasarkan pada SARA akibat informasi negatif yang bersifat provokatif.

Dalam hal ini, katanya, ICJR menilai bahwa tidak ada ujaran kebencian yang dilakukan oleh warga tersebut, dimana unggahan tersebut ditujukan kepada Gibran secara individu, bukan sebagai golongan masyarakat tertentu.

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 013-022/PUU-IV/2006 tentang Pengujian Pasal 134, Pasal 136 bis dan Pasal 137 ayat (1) KUHP tentang penghinaan presiden, juga telah mengingatkan dalam pertimbangannya bahwa penggunaan pasal pidana yang mengkriminalisasi kritik terhadap badan pemerintahan harus dihindari oleh aparat penegak hukum.

“Jika pasal 28 ayat (2) UU ITE dalam hal ini digunakan oleh Kepolisian maka semakin menunjukan eksesifnya implementasi UU ITE dan justru mengancam kebebasan berpendapat,” kata Sustira.

ICJR juga mengkritik istilah restorative justice yang digunakan kepolisian. Restorative justice atau RJ ditujukan untuk memulihkan kondisi antara pelaku, korban dan masyarakat, dalam kasus ini, apabila kasusnya adalah penghinaan, maka siapa korbannya? Sebab Gibran tidak melakukan pelaporan sama sekali.

“Tindakan Polisi bukan merupakan RJ, dan hal ini sangat berbahaya sebab justru menimbulkan iklim ketakutan pada masyarakat dan tidak memulihkan. Selain itu, UU ITE sama sekali tidak mengatur perlindungan terhadap pejabat negara, dan pejabat negara harusnya tidak dilindungi dalam konteks penghinaan dalam kapasitas jabatannya,” katanya.

ICJR juga menilai bahwa keberadaan Polisi Virtual atau Virtual Police justru difungsikan untuk mengawasi perilaku warga negara dalam berekspresi di dalam dunia digital.

Hal ini jelas mengancam dan memperburuk demokrasi di Indonesia dan justru menciptakan iklim ketakutan di masyarakat dalam menyampaikan pendapat atau memberikan kritik atas jalannya pemerintahan.

“Sebaiknya Polisi Virtual ini difokuskan untuk menangani kejahatan-kejahatan siber yang juga marak terjadi seperti penipuan online yang saat ini menjadi sorotan masyarakat,” pungkasnya. (Very)

 

Artikel Terkait