Nasional

Waspada Propaganda Jihad Khilafah Berkedok Bela Kemanusiaan Palestina

Oleh : very - Selasa, 17/10/2023 16:51 WIB

Wakil Sekretaris Badan Penanggulangan Ekstremisme dan Terorisme (BPET) MUI, Dr. M. Najih Arromadloni. (Foto: dok PMD BNPT)

Jakarta, INDONEWS.ID -  Gaza kembali bergejolak. Hujan roket antara Hamas Palestina dengan tentara Israel berjatuhan di Bumi Gaza. Ribuan nyawa masyarakat sipil dan anak-anak melayang, di samping kondisi Gaza yang porak poranda.

Konflik berkepanjangan ini menyita perhatian banyak negara, khususnya Indonesia yang secara historis selalu memberikan dukungan kepada Palestina di kancah internasional.

Ironisnya konflik Palestina-Israel dijadikan pengusung ideologi khilafah yang meramaikan media sosial dengan narasi-narasi propaganda pentingnya sistem khilafah untuk memperjuangkan Palestina.

Wakil Sekretaris Badan Penanggulangan Ekstremisme dan Terorisme (BPET) MUI, Dr. M. Najih Arromadloni mengatakan, konflik Palestina-Israel tidak lepas dari politisasi kaum radikal.

Isu penegakan khilafah yang menunggangi permasalahan dua negara ini membuat situasi makin kontraproduktif. Pembajakan isu ini hanya akan menyelewengkan atau bahkan menghilangkan fokus dari masalah yang sebenarnya.

“Sebetulnya masalah Palestina ini kan sederhana, ini persoalan kemanusiaan. Makanya beberapa tokoh dunia pernah mengatakan bahwa ‘Anda tidak perlu menjadi muslim untuk membela Palestina, Anda hanya perlu menjadi manusia.’ Ini persoalan kemanusiaan,” ujar Gus Najih panggilan karibnya, Selasa (17/10/2023).

Menurutnya di era modern ini tentunya sangat miris jika masih ada suatu bangsa yang masih belum mendapatkan kemerdekaannya di atas tanah airnya sendiri. Rakyat Palestina masih terus diusir dan ditindas. Wilayah Gaza tak ubahnya seperti penjara yang sangat besar bagi rakyat Palestina yang masih bertahan.

Lebih lanjut Gus Najih mengungkapkan, bangsa Indonesia harus cermat dalam menyikapi persoalan yang muncul ke ruang publik. Perlu diingat bahwa berbagai pergerakan pengusung khilafah ditengarai sebagai gerakan yang digerakkan intelijen untuk membelokkan substansi permasalahannya. Gerakan-gerakan khilafah seperti Hizbut Tahrir didirikan hampir bersamaan dengan dijajahnya Palestina.

“Ketika banyak negara di Timur Tengah memperjuangkan nasionalisme dan independensi Palestina, para pengusung khilafah ini malah mempropagandakan pentingnya sistem khilafah. Propaganda yang mereka bawa seolah membawa angin sejuk, sehingga membius banyak orang dan membuat lupa akan masalah Palestina. Gerakan pengusung khilafah berhasil memecah fokus masyarakat, dari yang tadinya memperjuangkan kemerdekaan Palestina menjadi kampanye penegakan sistem khilafah yang digadang-gadang bisa menciptakan utopia,” jelas Gus Najih seperti dikutip dari siaran pers Pusat Media Damai (PMD) BNPT.

 

Hindari Upaya Solidaritas yang Ilegal

Untuk itu, Gus Najih berpesan agar semua pihak terus berupaya membela Palestina melalui kerangka yang legal.

Sebagai rakyat Indonesia, masyarakat Indonesia bisa menyampaikan aspirasi itu melalui Pemerintah atau melalui perwakilan rakyat yang duduk di parlemen. Masyarakat perlu hindari upaya-upaya solidaritas yang illegal, bahkan menjurus pada radikalisme.

“Kita harus percaya bahwa pemerintah Indonesia hingga saat ini masih terus berkomitmen dan bekerja keras untuk mewujudkan perdamaian di bumi Palestina. Indonesia terus berupaya melakukan advokasi untuk Palestina di forum-forum internasional. Saya kira Presiden Indonesia sudah secara tegas berbicara di berbagai forum internasional, menyinggung masalah Palestina yang harus segera diselesaikan. Maka dari itu, jangan sampai kita sebagai rakyat justru melakukan langkah-langkah yang melanggar hukum, apalagi jika menjurus pada radikalisme,” tandas Gus Najih.

Ia menjelaskan bahwa sebenarnya konflik dua negara ini sudah berlangsung cukup lama dan belum ada penyelesaian yang diterima oleh kedua belah pihak.

Dijelaskannya bahwa awal mula konflik Israel-Palestina adalah kelanjutan dari penjajahan yang dulu pernah dilakukan oleh Inggris dan beberapa negara Eropa lainnya di wilayah Timur Tengah. Dampak dari agresi ini nyatanya terus berlanjut sampai sekarang.

“Tentu masalah utama dari konflik Israel-Palestina adalah penjajahan itu sendiri, bukan masalah agama ataupun lainnya. Ini adalah murni soal politik, yaitu satu negara yang menjajah atau menindas negara lainnya,” terang alumni Universitas Kuftaro Damaskus dan Sekjen Ikatan Alumni Syam Indonesia (Alsyami) ini.

Gus Najih menjelaskan, sebagai masyarakat idealnya bisa terus mengupayakan dan mengkampanyekan terjadinya perdamaian dunia, termasuk di wilayah Palestina dan sekitarnya.

Perdamaian dunia bisa terwujud secara sempurna kalau persoalan Palestina-Israel ini bisa diselesaikan. Jika dibiarkan, konflik Israel-Palestina ini menjadi isu yang memantik ketegangan global secara terus menerus.

“Bahkan episentrum konflik Timur Tengah itu sebetulnya ada di persoalan Palestina-Israel, sehingga kita mestinya sebagai masyarakat Indonesia yang beradab (civil society), punya hak untuk menyampaikan aspirasi kepada Pemerintah. Kita harus terus berjuang untuk kemerdekaan manusia, siapapun dan dimanapun, termasuk di Palestina,” imbuh Gus Najih.

Dia menambahkan bahwa solusi dari permasalahan ini sebetulnya sederhana, yaitu bangsa Indonesia harus bisa terus mendorong untuk berhentinya penjajahan yang dilakukan oleh Israel dan patuhi hukum-hukum internasional.

“Kalau Israel menghentikan penjajahannya, kemudian mematuhi hukum-hukum internasional, dan ketika semua pihak bisa menahan diri, serta mewujudkan solusi dua negara sebagaimana yang sudah menjadi pandangan pemerintah Indonesia, saya kira persoalan Palestina-Israel ini bisa diselesaikan dengan cara yang terbaik,” pungkas Gus Najih. ***

 

Artikel Terkait