Nasional

Diskusi Pakar KPPOD, Peran Gubernur Perlu Dioptimalkan dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah

Oleh : Mancik - Rabu, 28/04/2021 16:22 WIB

Diskusi Pakar Komite Pemantau Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) bertajuk, “Desentralisasi Administratif: Reformulasi Dekonsentrasi-Devolusi-Delegasi & Tujuan Ultimate Goal Otonomi Daerah".(Foto:Ist)

Jakarta, INDONEWS.ID - Komite Pemantau Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD), kembali menggelar diskusi pakar bertajuk “Desentralisasi Administratif: Reformulasi Dekonsentrasi-Devolusi-Delegasi & Tujuan Ultimate Goal Otonomi Daerah".

Diskusi kali ini langsung dipandu oleh Acting Director KPPOD, Armand Suparman dengan menghadirkan beberapa nasumber di antaranya, Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo, Pakar Otonomi Daerah, Djohermansya Djohan, Komisioner Ombudsman RI, Robert Endi Jaweng dan Dosen Unas PS. Administrasi Publik, Agnes Wirdayanti.

Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo dalam kesempatan ini menerangkan, penyelenggaraan Otonomi Daerah selama 20 tahun terakhir, memiliki dinamikanya sendiri. Banyak inovasi-inovasi, tetapi masih ada catatan yang perlu diperbaiki.

Menurutnya, selama 20 tahun otonomi daerah, ketika gubernur diberi kewenangan menjadi wakil pusat, ada satu kata yang tidak pernah dipakai namun selalu dibicarakan yakni etika. Ini berkaitan dengan dukungan politik terhadap kepala daerah.

"Menurut pengalaman saya, yang satu partai belum tentu mendukung, ini fakta. Kita tidak semua bisa didukung, pada tingkat kepentingan sering kali sering menekan, maka negosiasi politik tidak ringan," kata Ganjar di sela-sela diskusi tersebut, Jakarta, Rabu,(28/04/2021)

Sebagai gubernur Jawa Tengah, kata Ganjar, masih begitu banyak tanggjungjawab yang harus dikerjakan. Pekerjaan rumah ini tentu berkaitan dengan menghadirkan kesejahteraan bagi masyarakat Jawa Tengah.

Jika selama banyak penghargaan yang diterima sebagai gubernur, lanjut Ganjar, bukan berarti pekerjaan sebagai kepala daerah itu selesai. Karena pada intinya, jika masih ada yang protes, mengeluh, itu berarti banyak hal yang dijawab sesegera mungkin oleh kepala daerah bersama seluruh jajaran yang ada.

"Mau berapapun penghargaan yang saya terima, ketika masyarakat masih protes, izin dipalak, ngurus izin susah, sekolah ada punglinya, mimic muka saat melayani belum senyum, menarik pajak malah diperes, semua penghargaan ini percuma. Kalua saya masih mendengar komplain, ngga ada artinya penghargaan ini buat kita. Karena ukuran kita berhasil atau tidak itu melalui apa kata masyarakat," ungkap politisi PDI Perjuangan ini.

Pada kesempatan yang sama, Pakar Otonomi Daerah Djohermansyah Djohan menerangkan, selama 20 tahun otonomi daerah, kesejahteraan sebagai ultimate goal sepenuhnya belum terjawab.

Ia menyebutkan, cita-cita kesejahteraan belum signifikan. Beberapa pelayanan lebih baik dengan adanya inovasi dan teknologi yang menunjang. Dalam beberapa aspek dia menyebut kesejahteraan kurang efektif, pelayanan di Kab/Kota masih buruk, meski di provinsi sudah membaik.


Djohermansyah sempat menyinggung soal arah kebijakan Presiden Joko Widodo. Kebijakan tersebut antara lain menarik kembali beberapa kewenangan yang selama ini dilimpahkan kepada pemerintah di daerah.

"Presiden saat ini arahnya ke resentralisasi, yaitu menarik lagi kewenangan-kewenangan yang sudah diatur di UU No 23 tahun 2014,” ujarnya.

Arah ke depan yang harus diperbaiki, kata Djohermansyah, transfer kewenangan harus asimetris dimana kewenangan disesuaikan dengan keadaan dan kemampuan daerah otonomi; prinsip pengelolaan kewenangan yang luas, nyata, dan bertanggung jawab; serta peran gubernur tidak merangkap wakil pemerintah pusat, hanya sebagai kepala daerah otonom saja.

Berkaitan dengan perubahan ini, ia menegaskan, gubernur tidak lagi menjadi wakil pemerintah pusat.

“Yang menjadi wakil (pusat) dipilih untuk memimpin di pulau-pulau besar, jadi ada orang-orang president man yang diangkat langsung oleh presiden untuk melakukan kontrol terhadap gubernur, wali kota dan bupati," ujarnya.


Sementara itu, Agnes Wirdayanti memaparkan masalah-masalah otonomi daerah selama 20 tahun secara rinci, yakni permasalahan pemda permasalahan birokrasi daerah (politisasi birokrasi), permasalahan pemekaran daerah, permasalahan perencanaan daerah, permasalahan keuangan daerah, serta permasalahan pelayanan publik.

Kenyataannya, setelah 20 tahun, menurutnya, masih banyak daerah yang masih bergantung pada pusat. Hal yang harus diperbaiki menurutnya adalah perubahan pradigma pemerintahan dan pembangunan, perubahan paradigma pemerintahan dan pembangunan, sinergi antar pemerintahan, pemetaan masalah berbasis data sebagai dasar kebijakan, pembinaan dan pengawasan, sikap adaptif, inovatif, kolaboratif serta korektif, dan reformasi birokrasi yang menyeluruh.

Peran gubernur, kata Agnes, perlu dioptimalkan sebagai struktur pemerintahan yang menghubungkan pemerintah pusat dengan daerah.

“Saya tetap percaya gubernur selaku wakil pusat masih mampu memainkan peranan maksimal, harus ada faktor pendukung, bagaimana mengoptimalkan gubernur sebagai mediating structure, saya percaya saat ada dana yang masuk di situlah gubernur sebagai budget optimizer, bagaimana financial distribution, bagaimana memperkuat dana dekonsentrasi, keempat, bagaimana kelembagaan gubernur sebagai wakil pusat, yang sudah diatur di PP 33 tahun 2018 turunan UU 23 pasal 91," kata Agnes.

Sebagai pakar otonomi daerah yang saat ini mengemban amanah sebagai Komisioner Ombudsman RI, Robert Endi Jaweng mengatakan, Indonesia sebagai negara bangsa butuh kerja besar bersama, yaitu pembagian kerja antara Pusat dan Daerah.


“Pemerintah Pusat fokus pada dua aspek hulu dan hilir: Hulu membuat kebijakan dan diturunkan dalam NSPK sebagai pagar, di hilir dengan melakukan pembinaan dan pengawasan. Di tengahnya biar daerah yang mengerjakan, meski tentu ada urusan absolut yang tetap diurus pusat," ungkapnya.

Ia menekankan, urusan konkuren harus dibuat lebih banyak diurus di tingkat daerah, sehingga tidak terjadi arus balik dan keseimbangan terjaga. Robert juga menegaskan, kesempatan 20 tahun otonomi daerah menjadi refleksi untuk membangun sistem.

"Jangan sampai daerah lebih banyak dibangun karena kebetulan dan keberuntungan. Jangan sampai nasib daerah digantungkan pada nasib kebetulan, bukan karena sistem. Jadi tidak boleh menggantungkan harapan (untuk kepala daerah) karena kebetulan, tapi karena by design melalui sistem pemerintahan dan sistem politik," tutupnya.*

Artikel Terkait