Opini

Mengajar dan Belajar

Oleh : luska - Jum'at, 07/05/2021 15:23 WIB

Penulis : Ibnu Wahyudi (Dosen Senior UI)

Pada mulanya tidak ada bayangan pada diri Ibnu Wahyudi atau biasa dipanggil Iben untuk menjadi seorang pengajar apalagi sebagai dosen. Bayangan dunia pendidikan tinggi bagi orang kampung sepertinya adalah sungguh seperti “menara gading”; terlalu tinggi dijangkau. Terlebih ada kesadaran pada dirinya bahwa ia bukan anak pintar, menyebabkan hampir tidak ada cita-cita sebagai dosen yang melintas dalam benaknya. Karena sejak SMA sudah menyukai membaca surat kabar dan majalah, yang mulai tumbuh dalam dirinya adalah gambaran masa depan sebagai penulis atau jurnalis.

Ketika pada bulan Mei 1976 salah seorang guru di SMA memintanya untuk ikut Lomba Mengarang mengenai “kebangkitan nasional” tingkat Kabupaten Boyolali, ia merasa tertantang dan mengikuti lomba tersebut. Hasilnya mengejutkan karena Juara Pertama dapat diraihnya. Selanjutnya dalam rangka memeriahkan Hari kemerdekaan RI tahun 1976, ia pun ikut lomba mengarang dan hasilnya juga sangat menggembirakannya karena memperoleh penghargaan terbaik. Oleh kenyataan ini agaknya, ia lantas mencoba memberanikan diri mengirim karya-karya puisi, khususnya, ke sejumlah media. Salah sebuah puisinya, dengan nama samaran, dimuat oleh sebuah koran nasional yang terpandang. Demikian pula majalah yang diterbitkan oleh Balai Pustaka, memuat karya puisinya. Honor pertama diperoleh dari puisinya yang dimuat surat kabar tersebut.

Kenyataan ini secara tidak langsung menjadi penggairah baginya untuk terus menulis. Memang pernah ada yang mengendala, yaitu kepesertaannya dalam lomba menulis tingkat nasional mengenai perdamaian dunia, tidak menghasilkan kabar menggembirakan. Sempat agak terpuruk sebab lomba ini baginya dianggap sebagai penanda akan pilihannya sebagai penulis. Atas kenyataan ini, aktivitas menulis menjadi agak redup dan kegiatannya beralih kepada dunia melukis.

Tidak terlalu diingatnya mengenai hasrat melukis ini, tapi yang diingat adalah bahwa semasih SMA itu ia sering membeli cat minyak dan kanvas di Solo. Beberapa karya lukisnya entah di mana tetapi masih ada satu-dua yang disimpannya. Setelah lulus SMA tahun 1986, ia mendaftar di sebuah fakultas di UGM. Sayangnya, ia lebih memilih ke Jakarta dan mengambil kursus bahasa Inggris di sebuah lembaga. Saat ujian masuk universitas dibuka melalui jalur SKALU (Sekretariat kerja Antar Lima Universitas) tahun 1978, ia mendaftar di Jurusan Inggris FSUI dan diterima. Pengumuman ini sangat menggembirakannya sebab ia merasa akan sering bertemu penyair idolanya, Sapardi Djoko Damono. Benar saja, di FSUI itu bukan hanya bertemu dengan penyair imajis itu tetapi juga berkuliah dengan nama-nama yang sudah dikenalnya dalam dunia penulisan maupun seni seperti Tuti Indra Malaon, Ismail Marahimin, atau Pia Alisjahbana.

Keharusan membaca dan meneliti dunia sastra ternyata tidak memadamkan minatnya untuk menjadi jurnalis dan penulis. Maka pada tahun 1981 ia menjadi pembantu-lepas untuk sebuah majalah keluarga yang dikelola oleh nama-nama besar dalam sastra seperti N. Riantiarno, Putu Wijaya, dan Danarto sedang dalam dunia penulisan, ia pernah ikut lomba penulisan nasional mengekorespondennai Chairil Anwar tahun 1980 dan meraih Juara  Harapan. Atmosfer seperti ini yang secara tidak langsung membentuknya menjadi orang yang suka mencatat kehidupan melalui tulisan. Bukan hanya menulis di majalah tersebut, ia pun menjadi  majalah mahasiswa terbitan pers mahasiswa salah sebuah universitas swasta di Yogyakarta dan juga membantu sebuah majalah serta tabloid perbukuan di Jakarta.

Mengajar di UI Ajakan mengajar di UI pertama datang dari seniornya, mengajar Bahasa Indonesia di FMIPA UI tahun 1983. Statusnya masih sebagai asisten tetapi seniornya sering memintanya yang mengajar penuh. Pengalaman menghadapi mahasiswa yang berkuliah di aula dengan jumlah mahasiswa di atas seratus orang ini menjadi hal berharga. Demikian pula ketika mulai mengajar di Fakultas Teknik UI, juga pengalaman penting karena fakultas yang “bukan fakultasnya” ini telah menggojlok mentalnya secara tidak langsung.

Oleh sebab itu, ketika FSUI menerimanya sebagai calon dosen pada tahun 1985, sudah ada sedikit pengalaman mengajar. Begitu pula saat Sapardi Djoko Damono mengajaknya menjadi asisten untuk Pengkajian Puisi, Sastra Bandingan, atau Sosiologi Sastra, hal ini dipandangnya sebagai peluang yang penting bagi masa depannya. Setelah sebagai asisten selama sekitar empat tahun, Sapardi memintanya untuk melanjutkan kuliah di
luar negeri. Pencarian universitas yang dirasa sesuai dimulai. Ada dua universitas di Australia yang menjadi pilihannya, yaitu Monash University dan Griffith University. Akhirnya Monash University yang menerimanya dalam bidang sastra bandingan.

Monash University, ia tidak hanya berkuliah namun juga menyibukkan diri di organisasi pelajar. Tahun 1991-1992 ia menjadi Ketua PPIA (Perhimpunan Pelajar Indonesia Australia) cabang Monash University dan tahun 1992-1993 menjadi Ketua PPIA Negara Bagian Victoria. Bulan Mei 1993, dengan keluarga ia pulang ke Indonesia dan meneruskan menjadi pengajar di FSUI. Selain mengajar reguler di program sarjana, ia juga kembali
mengajar di BIPA (Bahasa Indonesia untuk Penutur Asing) yang mahasiswanya kebanyakan berasal dari Jepang dan Korea Selatan.

Bulan September 1997, atas penunjukan pimpinan FSUI, ia berangkat ke Seoul untuk mengajar di Hankuk University of Foreign Studies (HUFS). Selain mengajar di program sarjana, ia juga diminta mengajar Sejarah Sastra Indonesia di jenjang pascasarjana HUFS, yaitu di International Area Studies. Pada tahun 1999, makalahnya terpilih untuk dipresentasikan di Moskwa dalam suatu kolokium dan dengan bantuan dana dari HUFS, ia
berangkat ke Moskwa.

Bulan Juli 2000 kontraknya dengan HUFS berakhir dan ia bersama keluarga kembali ke Indonesia. Di Indonesia, selain kembali mengajar di FIB UI (nama baru FSUI) ia juga diminta membantu di Jakarta International Korean School (JIKS), mengajar siswa kelas 3 dan 4 SD. Pada tahun 2005, Prasetiya Mulya Business School membuka program sarjana dan ia diminta membantu mengajar mata kuliah Reading and Writing. Kemudian tahun 2009, Universitas Multimedia Nusantara (UMN) juga menerimanya sebagai pengajar untuk mata- mata kuliah penniversity untuk kuliah Modern Indonesian Literature.

Tahun 2011, Prof. Riris K. Toha Sarumpaet menawarinya mengajar di Singapura, di SIM University untuk kuliah Modern Indonesian Literature. Pihak universitas di Singapura setuju dan malahan meminta mengajar pula kuliah Comparative Malay and  Literature. Mulailah ia mengajar di Singapura sejak Juli tahun 2011 sampai sekarang dengan jadwal kuliah hanya pada Sabtu dan Minggu. Dengan jadwal seperti ini, aktivitas mengajar di
Indonesia berjalan normal dan yang di Singapura juga dapat diampu sebab berangkat pada Jumat siang dan pulang ke Jakarta pada Minggu sore.

Belajar dari Kehidupan
hanya puisi yang dihasilkan namun juga prosa.Selain mengajar dan meneliti, menulis karya sastra, terutama puisi tetap dilakukan. Ketika tinggal di Seoul, seratusan puisi telah dihasilkan dan sebagian telah diterbitkan dalam Masih Bersama Musim yang terbit tahun 2005. Buku terbitan Kutubuku ini masuk dalam senarai 10 besar Khatulistiwa Literary Award tahun 2006. Tahun-tahun setelahnya, bukan Kumpulan puisi kedua yang terbit adalah Ketika Cinta (BukuPop, 2009) dan Haikuku (Artiseni, 2009) sebagai kumpulan puisi ketiga. Karya berupa cerita pendek juga dibuat dan pada tahun 2010 terbit kumpulan prosamini berjudul Nama yang Mendera oleh penerbit Citra Aji Parama. Setelah vakum selama dua tahun, tujuh buku sekaligus diluncurkan dalam satu hari pada 16 Juli 2013, masing-masing adalah Perjalanan Tubuh, Haikuya, Gumam Gurindam, Pantun Ramadan yang semuanya berupa kumpulan Perjalanan, Dari Negeri Ironi, dan Pagi Menjadi Ibu (Yayasan Pustaka Obor Indonesia).

Kemudian pada tahun 2017 lima kumpulan puisi diluncurkan dalam satu hari bersama diskusi di FIB UI dengan pembicara Fachry Ali, Esha Tegar Putra, dan Eva Latifah. Kelima buku puisi tersebut adalah jejak Jarak, Kata Mata, Dalam Pesona Sijo, Gurindam Kekinian, dan Musyafir Syair. Satu buku puisi lagi yang ditulis bersama Fryda Lucyana berjudul Aku Haiku Kau terbit pada Agustus 2017. Tahun 2020, pada ujung tahun ada rencana menerbitkan 10 buku namun yang terealisasi hanya dua kumpula puisi yaitu Pada Suatu Haru dan Membeningkan Cipta. Situasi pandemi mempunyai pengaruh pula dalam menerbitkan karya. Contohnya, sebuah buku puisi yang direncanakan terbit pada Desember 2020 itu, baru dapat terbit pada April 2021 oleh penerbit Grasindo dengan judul Tentang Rindu.

Selain kumpulan puisi tunggal, karya-karyanya juga ikut dalam sejumlah antologi puisi seperti dalam The First Five (Ethos Books Singapura, 2018), Kuncitara Kita (FBS Unnes, 2020), dan dalam Sang Acarya (Kosa Kata Kita, 2020). Demikian pula sketsa atau esai-esainya bertebaran di media-media sosial. Tulisan-tulisannya, pada umumnya merupakan refleksi atas keseharian; belajar dari kehidupan sehari. Penyunting dan Penulis Esai
Selain menghasilkan karya-karya sastra dan sebagai dosen, ia beberapa kali menjadi pemateri bagi para penyunting atau editor untuk sejumlah penerbitan serta pemateri untuk penulisan karya populer pada umumnya.

Buku-buku sastra atau kajian sastra yang pernah disusun atau disuntingnya antara lain adalah Lembar-lembar Sajak Lama (1982), Pahlawan dan Kucing (1984), Konstelasi Sastra (1990), Erotisme dalam Sastra (1994), Menyoal Sastra Marginal (2004), Toilet Lantai 13 (2008), dan Ode Kebangkitan (2008). Sejak awal 1980-an ia sudah menulis artikel kebudayaan dan karya sastra yang dimuat di sejumlah media massa cetak harian seperti Kompas, Media Indonesia, Suara Karya, Pelita, Jurnal Nasional, Republika, Koran Tempo, dan Suara Merdeka, serta di sejumlah majalah atau jurnal nasional maupun internasional, seperti Tempo, Horison, Susastra, Jurnal Puisi, Optimis, Berita Buku, Cultural, Pendar Pena, Katajiwa, Semiotika, Laras, Syir’ah, Srinthil, Wacana, Semesta Seni, The Malay World, dan International Area Review.***

TAGS : ibnu wahyudi

Artikel Terkait