Bisnis

KBRI dan Kemendag Diminta Hentikan Monopoli Eksportir Sarang Burung Walet

Oleh : very - Minggu, 11/07/2021 19:30 WIB

Ketua Umum Dewan Pengurus Pusat (DPP) Forum Relawan Demokrasi (Foreder) Aidil Fitri. (Foto: Ist)

Jakarta, INDONEWS.ID -- Ketua Umum Dewan Pengurus Pusat (DPP) Forum Relawan Demokrasi (Foreder) Aidil Fitri mendesak KBRI yang ada di negara RRT, serta Kementerian Perdagangan untuk berlaku adil terhadap para pelaku usaha eksportir Sarang Burung Walet yang ada di Indonesia.

Pasalnya, katanya, saat ini yang mendominasi ekspor Sarang Burung Walet hanya 23 Perusahaan yang sudah terdaftar di General Administration Of China (GACC). Sementara 20 Perusahaan yang saat ini sudah di Audit oleh pihak GACC belum memiliki legalitas resmi sebagai eksportir terdaftar Sarang Burung Walet ke RRT. Padahal mereka sudah mendaftar dari Tahun 2018.

Tentunya hal ini menimbulkan sebuah pertanyaan di kalangan para pelaku usaha Eksportir Sarang Burung Walet di Indonesia. Pasalnya, hal itu sejatinya bisa mendatangkan keuntungan besar bagi pendapatan devisa negara Indonesia apabila seluruh potensi pelaku usaha eksportir Sarang Burung Walet bisa diberikan legalitas resmi sebagai Eksportir Terdaftar ke RRT.

“Maka dari itu kami meminta KBRI dan Kemendag untuk melakukan equal treatment  atau perlakuan setara terhadap seluruh pelaku eksportir. Jangan sampai ada kesan monopoli terkait ekspor Sarang Burung Walet ini,” ujarnya melalui siaran pers di Jakarta, Minggu (11/7).

Aidil Fitri menegaskan Indonesia harus memperkuat diplomasi dan negosiasi dagang dengan China untuk mengatasi hambatan ekspor sarang burung walet dan porang ke RRT (Republik Rakyat Tiongkok). Kementerian Perdagangan RRT selama ini yang mengatur strategi negosiasi dagang RRT dengan negara mitra, General Administration of China Customs (GACC) hanya “menerima pesanan” atau menjalankan policy yang sudah digariskan oleh Kementerian Perdagangan RRT.

Aidil mengatakan untuk mengubah kebijakan tersebut, Kemendag, Kemenlu dan Kementan harus menyiapkan strategi yang tepat dimana Kemendag yang menjadi pemimpin terdepan.

Menurut dia, RI dapat memanfaatkan tekanan negara barat terhadap RRT dalam perdagangan global karena RRT mau tidak mau harus memperhitungkan Indonesia sebagai mitra strategis, sehingga tidak seharusnya RRT membuat hambatan ekspor sarang burung walet yang demikian berat.

Selain itu, RI harus berani mengatakan bahwa hambatan ekspor sarang walet yang diterapkan RRT tersebut bertujuan agar produk pertaniannya, khususnya jeruk mandarin masuk ke Tanjung Priok dan ayam potong dapat masuk ke Indonesia. Hal tersebut adalah strategi indirect non-tariff barrier RRT kepada RI dan dinilai tidak relevan karena RI mengalami defisit perdagangan sebesar US$17 miliar.

“Bagi RRT, impor langsung sarang walet dari RI tidak akan berpengaruh sama sekali terhadap neraca dagang mereka dimana praktik indirect non-tarrif barrier yang dikenakan RRT terhadap ekspor sarang burung walet telah menghilangkan potensi US$ 2,2 Miliar (Rp 31 Triliun) dimana angka ini jauh lebih kecil dibanding nilai defisit perdagangan RI atas RRT,” ujar Aidil Fitri.

Dia menjelaskan bila RRT tidak serius menghilangkan hambatan ekspor sarang walet Indonesia, maka Pemerintah dapat memberlakukan tambahan tindakan serupa (Counter Measure) berupa Registrasi, Audit dan Pemeriksaan Karantina di tempat asal terhadap produsen RRT untuk produk olahan hewan/tumbuhan sebagaimana dipersyaratkan Tiongkok untuk sarang walet RI.

Di sisi lain, Aidil Fitri menegaskan bila ada tawaran RRT untuk membeli bahan baku sarang wallet atau sarang walet setengah jadi dalam jumlah besar, RI jangan pernah mengakomodir karena akan merusak industri pengolahan sarang walet yang sudah banyak berdiri di tanah air.

Aidil Fitri menambahkan selain hambatan dari luar, pemerintah perlu menghilangkan hambatan dalam negeri dengan merevisi Peraturan Menteri Perdagangan No. 51/MDAG/PER/7/2012 dengan menghilangkan pemeriksaan karantina yang tidak lazim dalam perdagangan internasional. Kebijakan ini akan menghilangkan kesan bahwa karantina RI adalah kepanjangan tangan dari karantina RRT.

“Mekanisme tersebut dapat digantikan dengan menunjuk independent surveyor sebagaimana best practice internasional dalam trading across border,” ujarnya.

Meskipun demikian, jika harus tetap ada ada pemeriksaan karantina pre-export untuk ekspor ke RRT, harus ada Mutual Recognition Agreement (MRA) dengan RRT terlebih dahulu dan Service Level Agreement (SLA) di Kementan untuk menjamin kualitas, keamanan produk, kelancaran proses dan kepastian perizinan baik di dalam dalam negeri maupun setelah barangnya dikirim ke RRT.

Aidil Fitri juga mengingatkan Kemendag bersama Kementan agar perlu me-review kembali Protokol Persyaratan Higenitas, Karantina dan Pemeriksaan untuk Produk Sarang Burung Walet dari Indonesia ke RRT antara Kementerian Pertanian Republik Indonesia dan Administrasi Umum Pengawasan Mutu, Inspeksi dan Karantina Republik Rakyat China yang ditandatangani tanggal 24 April 2012.

Sebab, protokol ini melemahkan diplomasi perdagangan dan kedaulatan perdagangan RI karena Karantina RI menjadi kepanjangan tangan Karantina RRT yang sekarang institusinya melebur di GACC dan tidak sesuai dengan best practice karantina di dunia dalam trading across border.

Forum Relawan Demokrasi (Foreder) juga mendesak Duta Besar RI di Beijing yang selama ini mengumpulkan berkas pengajuan registrasi sarang walet dari para eksportir RI, untuk bernegosiasi lebih intensif dan segera melakukan debottlenecking perizinan sarang walet dengan pihak-pihak terkait di RRT khususnya General Administration of China Customs (GACC) untuk semua pengajuan dokumen yang sudah diajukan ke RRT dengan target penyelesaian selambat-lambatnya akhir Juli 2021. (*)

Artikel Terkait