Opini

Menelisik Pembangunan Kapitalis dan Oligarki di Indonesia

Oleh : Mancik - Selasa, 20/07/2021 10:43 WIB

Wakil Sekretaris Jendral Bidang Politik, Hukum dan Hak Asasi Manusia, PB PMII 2021-2024, Hasnu.(Foto:Ist)

Oleh: Hasnu*)

Jakarta, INDONEWS.ID - Potret pembangunan kapitalis dan oligarki di Indonesia serta pengaruhnya terhadap keputusan politik bukanlah suguhan tema asing dalam dunia akademik, begitupun di benak para aktivis mahasiswa.

Demikian diungkap secara tajam oleh Vedi R. Hadiz dalam buku Dinamika Kekuasaan, Ekonomi Politik Indonesia Pasca Soeharto (2005) menjelaskan tentang Kapitalisme, Kekuasaan Oligarkis dan Negara di Indonesia.

Sekilas mengingatkan kembali ingatan kritis kita, bahwa krisis ekonomi Asia yang bermula di Thailand pada pertengahan 1997 mempercepat serangkaian peristiwa yang akhirnya mengakibatkan jatuhnya presiden Indonesia, Soeharto-salah satu dari diktator-diktator besar terakhir di era Perang Dingin.

Secara empirik, berakhirnya 32 tahun kekuasaan Soeharto di tahun 1998 menandakan usainya satu bab utama dalam sejarah Indonesia mutakhir, ketika kerangka pengorganisasian kekuasaan ekonomi dan politik yang telah dengan hati-hati ia bangun terbukti tidak dapat dipertahankan tanpa kehadirannya.

Di sana seara kontras terlihat suatu sistem korporasi negara yang sangat terkontrol itu dengan segera berantakan, karena konglomerat-konglomerat bisnis yang dulu sangat kuat dan makmur juga hancur lantaran beban pembayaran utang yang begitu besar.

Fenomena anomali kontemporer, sistem politik dan ekonomi di negeri ini tengah diperebutkan dari berbagai segi, oleh kekuatan-kekuatan sosial utama yang telah matang di bawah Orde Baruanya Soeharto, dan karena itu, menyisihkan kekuatan-kekuatan sosial lainnya seperti kaum buruh dan kaum tani yang selama ini telah terpinggirkan.

Kendati demikian, perlu diingat bahwa runtuhnya Orde Baru tidak berarti suatu transisi menuju suatu bentuk demokrasi liberal. Segera setelah kejatuhan Soeharto terjadi suatu persaingan di antara berbagai kelompok dominan untuk memperebutkan kontrol atas aparatur dan otoritas negara, terutama dalam hubungannya dengan alokasi sumberdaya dan patronase negara.

Jika ditelisik lebih jauh lagi, selama masa jabatan Presiden Soeharto seperti kata Hadiz, kekuasaan negara secara perlahan berkembang menjadi instrumen dari suatu kekuasaan oligarki kapitalis baru.Sudah menjadi rahasia umum, oligarki ini menggabungkan serangkaian bisnis, kepentingan-kepentingan politik dan birokratik, dan berpusat pada jabatan presiden itu sendiri.

Hal itu tergambarkan dengan sangat baik oleh munculnya keluarga-keluarga kapitalis-birokratis utama seperti kata Hadiz, termasuk keluarga Soeharto serta suatu borjuasi klien yang terutama terdiri dari konglomerat-konglomerat besar milik warga Cina, dan juga sejumlah korporasi pribumi yang berpengaruh dan kekuasaannya terkait erat dengan penggunaan kekuasaan negara.

Saat oligarki ini terkonsolidasikan di pertengahan dan akhir 1980-an dengan dasar patronase negara dan akses ke sumber daya negara ia dengan perlahan merampas kekuasaan negara itu sendiri dan mengubah aparatur negara menjadi suatu komite yang mengelola perlindungan terhadap berbagai kepentingannya.

Di lain aspek, terlepas dari retorika liberalisasi dan deregulasi ekonomi yang mencirikan dekade terakhir era Soeharto, negara selalu merupakan sarana utama tempat di mana kapitalisme dan kepentingan-kepentingan kaum kapitalis dikonsolidasikan, dipertahankan, dan dilindungi.

Juga merupakan sautu hal yang penting untuk memahami bahwa kekuasaan negara melindungi kepentingan-kepentingan oligarkis dari kekuatan-kekuatan sosial lain, termasuk kelas-kelas bawah yang disingkirkan dari proses politik dalam kerangka korporatisme otoriter.

Negara dan Pembangunan Kapitalis

Negara dan Pembangunan Kapitalis, benarkah ada campur tangan negara terhadap pembangunan kapitalis di Indonesia? Ini suatu gugatan intelektual sebagai proposisi baru untuk melihat upaya sistematis terselubung Negara terhadap Pembangunan Kapitalis di Indonesia.  

Sudah menjadi rahasia umum, peran negara dalam pembangunan kapitalis di Indonesia telah dipahami dari perspektif teoretis yang begitu beragam. Salah satu basis pelacakan terhadap Negara dan Pembangunanan Kapitalis, perlu kiranya kita mereview Toeri Modernisasi Klasik.

Inti dari teori ini mengatakan, negara sebagai agen pembangunan dan modernisasi yang kurang lebih baik hati. Tidak adanya kelas-kelas pengusaha yang kuat dan padu pada hampir semua negeri Asia dan Afrika yang baru merdeka di tahun 1950-an dan 1960-an menganugerahkan kepada negara peran agen utama proyek modernisasi.

Tidak berlebihan jika pada akhir tahun 1960-an,  Samuel Huntington telah mengisyaratkan suatu penekanan baru yang dengan efektif mendefinisikan modernitas berdasarkan pemeliharaan yang berhasil atas stabilitas politik.

Dalam tesis Huntington mengungkap peran para elit dan institusi-institusi negara, dengan demikian, semakin dijabarkan berdasarkan suatu kemampuan untuk mencegah revolusi yang dianggap sinonim dengan kemerosotan ke dalam bentuk-bentuk anarki dan kekacauan.

Dengan demikian, Teori Modernisasi Revisionis ini tentu saja menarik bagi para intelektual dari rezim-rezim kapitalis otoriter seperti rezim Orde Baru Indonesia yang dengan cepat mengadopsi teori ini dalam gudang ideologis mereka.

Teori ini membantu menyediakan suatu pembenaran intelektual bagi berbagai kebijakan negara yang dengan kejam menjinakkan oposisi politik atas nama menciptakan stabilitas yang dibutuhkan bagi pertumbuhan ekonomi.

Kembang kempis rotasi ekonomi politik, setelah suatu periode panjang kemerosotan yang sebagian disebabkan oleh serangan dari para teoretisi radikal, termasuk mereka yang mendukung pendekatan dependensi, kemudian teori modernisasi mengalami kebangkitan kembali dalam wujud neo-institusionalisme dan teori pilihan rasional (rational choice theory).

Dengan menggunakan peralatan analisis ilmu ekonomi neoklasik seperti game theory dan sejenisnya maka neoinstitusionalisme dan teori pilihan rasional semakin menyebar luas kedalam berbagai disiplin ilmu sosial.

Pun demikian, secara ilmiah bisa dibuktikan yakni penekanan klasik dan revisionis yang berlainan dimunculkan kembali dalam pernyataan Douglass North bahwa kepercayaan-kepercayaan tertentu yang berakar secara kultural mungkin akan meruntuhkan pemecahan persoalan-persoalan pembangunan yang semakin kompleks serta keyakinan lain bahwa sebuah negara yang kuat seringkali diperlukan untuk memaksa berbagai kelompok kepentingan yang bersaing.

Kalau kita mau jujur, persoalan-persoalan pembangunan di Indonesia seringkali disajikan dalam kaitannya dengan penciptaan nilai-nilai yang kondusif bagi modernisasi.

Maka sudah menjadi paradoks, proses pembangunan Indonesia seringkali digambarkan  sebagai para teknokrat ekonomi yang dididik dalam tradisi neoklasik yang berusaha untuk memberlakukan keputusan-keputusan kebijakan rasional di hadapan gaya politik yang jelas-jelas patrimonial yang merintangi rasionalitas ekonomi.

Dampaknya, kekuasaan negara berfungsi sebagai katalisator bagi kemunculan dan konsolidasi sebuah oligarki kapitalis di Indonesia. Bagaimanapun, oligarki kapitalis ini telah menyerobot kekuasaan negara. untuk dirinya sendiri dan menggunakannya secara instrumental untuk memajukan kepentingan sendiri.

Bagian ini, menyajikan latar belakang sejarah munculnya kepentingan-kepentingan oligarkis, dan kemudian bergerak lebih jauh untuk menggambarkan secara garis besar tentang bagaimana kepentingan-kepentingan oligarkis ini pada akhirnya menyerobot kekuasaan negara untuk diri mereka sendiri.

Solusi Atas Kapitalisme dan Oligarki

Kurun waktu singkat, masyarakat pada dasarnya masih dapat memanfaatkan eksistensi dan esensi kapitalis dan oligarki. Hal ini karena pada wilayah konstituennya kapitalis dan oligarki harus cerdik memahami kebutuhan masyarakat guna meraih simpati dan akhirnya memperoleh kekuasaan. Kerap ini berdampak pada munculnya kebijakan yang relevan bagi konstituen.

Harus di akui, kondisi itu jelas tidak terus-menerus dapat dipertahankan. Masyarakat berpotensi besar akan larut dalam ke­kuasaan kapitalis dan oligarki hingga akhirnya benar-benar sepenuhnya dikendalikan. Oleh karena itu perlu dilakukan beberapa hal.

Pertama, komitmen negara terhadap perbaikan kehidupan ekonomi politik bangsa. Jeffery Winters dalam kajiannya mengenai oligarki mengungkapkan kurang dari 0,0000002% dari total penduduk menguasai 10% GDP di Indonesia (Jeffry Winters 2013, 1). Saat ini situasinya masih memprihatinkan karena situasi ekonomi bangsa yang belum menggembirakan, terutama bagi rakyat kebanyakan.

Fenomena tersebut, segelintir kalangan akhirnya dapat membeli, memengaruhi dan bahkan memanipulasi pilihan politik orang banyak, termasuk partai. Pada level politik lokal ini terjadi atau bahkan sudah dimulai saat prosesi pencarian kandidat yang akan berkontestasi.Dengan kata lain sejauh disparitas kekuatan eko­nomi itu demikian tinggi, potensi oligarki akan sama tingginya.

Kedua, pembenahan institusi-institusi politik dan sistem pemilu. Saat ini sudah diakui banyak kalangan terjadi politik biaya tinggi (high cost) yang disebabkan pelaksanaan pemilu yang mahal. Kemahalan itu menyebabkan eksistensi oligarki menjadi selalu relevan.

Secara empirik, keadaan itu diperburuk dengan lemahnya pelembagaan partai dan institusi demokrasi yang menyebabkan tingginya ketergantungan finansial pada pihak-pihak tertentu yang akhirnya memberi peluang pada kapitalis dan oligarki atau plutokrat untuk memiliki akses politik.

Di lain aspek,  perlu ada pemodernan partai politik seperti keharusan kaderisasi yang diharapkan akan menguatkan aspek ideologis dan mereduksi spirit pragmatisme. Hasilnya,  ketergantungan finansial yang berujung pada pelemahan kemandirian partai dapat saja pelan-pelan diakhiri.

Hal penting dalam pembenahan institusi, perlu adanya akselerasi dari mo­derni­sasi dan reformasi ASN secara murni dan konsisten. Ini termasuk pe­ne­gakan disilin yang keras atas pelanggaran ASN yang terbukti terlibat dalam politik praktis. Ini mengingat ASN kerap masih saja menjadi suatu bagian dari rekayasa kapitalis dan oligarkis.

Ketiga, penguatan budaya berdemokrasi dan masyarakat sipil. Meski dalam berbagai survei terlihat mayoritas masyarakat kita mengakui demokrasi sebagai bentuk pemerintahan terbaik, budaya ber­de­mokrasi kita tetap belum kuat.

Merujuk Gabriel Almond, tingkat partisipasi publik terhadap hajat hidup politik akan membaik apabila budaya politik masyarakat dibangun secara baik. Dengan demikian, demokrasi akan sehat apabila dibangun di atas fondasi culture yang sehat.

Dalam lapangan kekuasaan, budaya politik uang, tetapi juga bahkan hingga level pemilihan desa yang masih marak terjadi di masyarakat Indonesia. Namun bersikap menjadi pihak yang menang atau kalah yang baik juga masih sulit terwujud.

Dengan demikian, berkembangnya kesadaran menjadi oposisi-kritis-objektif menyebabkan masyarakat dan elite kita masih memandang minor oposisi dan mudah sekali terbawa dalam arus kuat kekuasaan.

Selain itu adalah juga men­tal konservatif, feodal, dan kelanjutan spirit illiberal democracy (David Bourchier 2015) yang memberikan jalan bagi pembenaran atas penguasaan oleh segelintir orang/oligarki.

Dalam nuansa ini, keberadaan oligarki akan selalu mendapat tempat dan diterima meski jelas-jelas bertentangan dengan kepentingan rakyat ba­nyak. Kesemuanya jelas membutuhkan asupan penyadaran budaya berdemokrasi yang kuat.

Hal yang tidak kalah penting yakni perlu penguatan masyarakat sipil. Saat ini dalam kondisi ketika hampir semua partai ada dalam jajaran pemerintahan, maka melalui pengutatan masyarakat sipil adalah sebuah keharusan. Hanya dengan keterlibatan masyarakat sipil dalam politik sajalah perlawanan atas kapitalisme dan oligarki serta elitisme akan tetap dapat diharapkan.

Hal tersebut dapat terwujud melalui sosialisasi dan pendidikan politik yang sehat dan matang. Dalam beragam teori politik, masyarakat sipil dalam sistem politik demokrasi sangat diperlukan agar menjalankan fungsi cek and balance atas setiap keputusan politik tidak pro terhadap rakyat kecil.

Selanjutnya, masyarakat sipil (berkolaborasi dengan partai-partai oposisi yang tersisa) harus terus mengupayakan penggalangan kekuatan moral rasional secara kontinum agar pemerintah dapat terus sejalan dengan aspirasi masyarakat umum.

Hal ini salah satunya dipelopori oleh gerakan moral aktivis mahasiswa. Karena dalam teorinya, mahasiswa merupakan kekuatan politik di Indonesia seperti terbukti dalam sejarah gerakan mahasiswa 1998 yang menumbangkan rezim Orde Baru 32 tahun berkuasa.

*)Penulis adalah Wakil Sekretaris Jendral Bidang Politik, Hukum dan Hak Asasi Manusia (POLHUKAM) PB PMII, tinggal di Jakarta.

Artikel Terkait