Opini

Mengurai Fenomena Turbulensi dan Defisit Demokrasi Pemerintahan Jokowi

Oleh : Mancik - Sabtu, 24/07/2021 20:01 WIB

Wakil Sekretaris Jendral Bidang Politik, Hukum dan Hak Asasi Manusia, PB PMII 2021-2024 dan Mahasiswa Magister Ilmu Politik Universitas Nasional (UNAS) Jakarta, Hasnu.(Foto:Ist)

Oleh: Hasnu.*)

Jakarta, INDONEWS.ID - MASALAH DEMOKRATISASI merupakan salah satu fenomena yang paling mutakhir pasca abad ke-20. Thompson (1994) mengatakan, runtuhnya system kekuasaan komunisme di Uni Soviet, Polandia, dan negara-negara komunis lainnya, telah memberikan legitimasi kepada pembentukan system demokrasi Barat. Begitu pula dengan kehancuran system pemerintahan otoriter di negara-negara berkembang, seperti jatuhnya pemerintahan Marcos di Filipina.

Fakta tersebut, menunjukkan bahwa demokrasi tetap merupakan sistem politik yang mampu membangkitkan suatu kekuatan dalam perubahan politik, dibanding dengan system komunisme atau otoriter. Bahkan, bukan sesuatu yang berlebihan jika Huntington (1991) beranggapan bahwa demokrasi sudah menjadi The only legitimate and viable alternative to an otoriter regime of any kind. Hal senada dijelaskan Fukuyama (1993) dalam sebuah tulisannya menyimpulkan bahwa fenomena demokratisasi yang melanda dunia pada dua dekade terakhir menandai titik akhir evolusi ideology manusia.

Meski demikian, optimisme terhadap sistem politik demokrasi tak mengalami kata surut, walaupun selama konsolidasi narasi demokrasi diperhadapkan dengan berbagai rintangan, terutama datangnya dari rezim yang anti-demokrasi melalui praktek pemerintahan otoritarianisme. Dalam catatan sejarah, kita tahu bahwasanya ideologi fasisme merupakan suatu sistem pemerintahan yang menentang ide-ide demokrasi untuk berkembang.

Mengapa demikian, alasannya sangat sederhana, ide fasisme itu anti terhadap sistem liberalisme. Padahal, demokrasi merupakan manifest dari liberalisme. Dalam demokrasi, kedaulatan berada ditangan rakyat, melalui mekanisme pemilihan umum lewat cara-cara konstitusional. Secara sederhana, negara demokrasi tunduk terhadap konstitusi, sedangkan fasisme dan otoritarianisme tunduk terhadap kemauan serta keinginan penguasa.

Dalam analisis Apter (1993) yang menyebutkan, pilihan kepada bentuk system politik demokratis telah menjadi tolak ukur keberhasilan suatu negara dalam pembangunan politiknya atau dalam pengertian lain, praktik demokrasi merupakan salah satu patokan terhadap kualitas modernisasi dari suatu system politik.
Proposi yang dibangun oleh Apter tersebut ditandai dengan hampir 30 negara telah menunjukkan terjadinya suatu transisi dari sistem politik bukan demokrasi menuju sistem politik demokratis. Artinya, demokratisasi merupakan suatu kecenderungan baru dalam perubahan format politik yang dialami oleh sebagian negara-negara di wilayah dunia.

Maka sangat tepat Samuel Huntingtong (1991) dalam bukunya The Third Wave: Democratization in the Late Twentieth Century melukiskan bahwa gelombang demokratisasi adalah kelompok transisi dari rezim non-demokratis ke rezim demokratis, yang terjadi dalam kurun waktu tertentu dan jumlah negara secara signifikan lebih banyak daripada tarnsisi menuju arah sebaliknya. Sebuah gelombang demokrasi menurut Huntington, biasanya juga mencakup liberalisasi atau demokratisasi bagian dari sistem-sistem politik yang tidak sepenuhnya demokratis. Tiga gelombang demokratisasi telah terjadi di masa modern. Gelombang demokrasi telah memengaruhi sejumlah kecil negara dan masing-masing gelombang lewat beberapa transisi berhasil mendirikan banyak negara menjadi demokratis.

Revolusi demokratisasi yang terjadi akhir abad ke-20, kata Huntington, merupakan gelombang besar demokratisasi ketiga di dalam dunia modern. Demokratisasi gelombang ketiga lebih efektif dibanding gelombang pertama yang melahirkan Revolusi Prancis dan Amerika Serikat, bahkan dengan gelombang kedua setelah Perang Dunia II.

Gelombang pertama perkembangan system demokrasi dimulai dengan Revolusi Prancis dan Amerika Serikat, yaitu ditandai dengan kelahiran lembaga demokrasi, seperti parlemen, pemilu dan Hak Asasi Manusia (HAM). Ia mengakui, gelombang demokratisasi pertama yang dimulai pada 1920-an tersebut mengalami arus balik menuju bentuk baru pemerintahan, yaitu otoritarianisme dan fasisme. Hal in terjadi pada negara-negara yang sudah mempraktikkan pemerintahan demokrasi. Faktor penyebabnya dipengaruhi oleh kebangkitan ideology Fasisme, Komunisme, dan Militer. Misalnya, Jerman, Jepang, Italia telah menjadi negara fasis. Sementara itu, Polandia dan Lithuania membentuk negara komunis setelah Perang Dunia II. Selanjutnya, Estonia dan Bulgaria mengambil bentuk otoriter, sedangkan Brazil, Argentina, dan Spanyol dikuasai oleh rezim militer.

Merujuk Massa (2015), pasca Perang Dunia II muncul gelombang demokratisasi kedua yang dikaitkan dengan kemenangan negara-negara sekutu. Pengaruh kekuasaan negara-negara sekutu telah mendorong kelahiran lembaga-lembaga demokrasi, seperti yang dialami Jerman, Italia, Australia, dan Jepang. Akan tetapi, saat ini, umumnya negara-negara yang menganut paham komunis tidak lagi mengalami perubahan karena masih dalam genggaman Uni Soviet.Pada akhir dekade 1950-an, Turki dan Yunani telah menjadi negara demokrasi. Begitu pula dengan negara-negara Amerika Latin, seperti Uruguay, Brazil, Argentina, Kolombia, dan Venezuela.

Diketahui, perkembangan selanjutnya pada awal 1960-an. Gelombang demokratisasi kedua tersebut kemudian beralih ke system otoriter yang ditandai dengan kudeta militer. Terutama di negara-negara sedang berkembang. Misalnya, di negara-negara Amerika Latin; di antaranya Peru pada 1962, Brazil dan Bolivia pada 1964.Kudeta juga menyusul di Cile, Argentina, dan Ekuador pada 1973 dan beberapa negara Amerika Latin lainnya. Sementara itu, di Asia perubahan ini juga terjadi di Pakistan pada 1958 dan Korea pada 1961.

Menariknya, tahun 1957 di Indonesia, Soekarno telah menggantikan Demokrasi Parlementer dengan Demokrasi Terpimpin. System politik otoriter yang dibangun oleh kelompok sipil dalam Demokrasi Terpimpin, kemudian dikukuhkan kembali pada masa Orde Baru yang dikelola oleh Elit Militer pada rentang 1968. Konsoilidasi demokrasi di Indonesia merupakan suatu konsolidasi panjang, mulai demokrasi terpimpin, demokrasi kita, demokrasi Pancasila, hingga kembali lagi ke demokrasi.

Secara objektive, Indeks demokrasi Indonesia (IDI) mengalami peristiwa turbulensi yang cukup serius. Proses turbulensi terhadap indeks demokrasi Indonesia kontemporer bukanlah suatu retorika kosong. Dalam melihat trend Indeks Demokrasi Indonesia dewasa ini, tentu kita harus memahami tiga hal utama seperti aspek, variabel, dan indikator.

Merujuk laporan akhir tahun dalam seminar Nasional yang digelar oleh Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Nasional (UNAS) Jakarta tertanggal 17 Desember 2020 lalu mengungkapkan tentang perbandingan perolehan ketiga aspek dalam IDI 2019 yakni, pertama, aspek kebebasan sipil yang meliputi kebebasan berkumpul dan berserikat, kebebasan berpendapat, kebebasan berkeyakinan, dan kebebasan dari diskriminasi terkuak dengan capaian secara berturut di tahun 2018 dan 2019 dengan persentase 78,46 dan 77,20 dengan penurunan 1,26.

Kedua, data UNAS mengungkapkan, aspek hak-hak politik seperti hak memilih dan dipilih dan partisipasi politik dalam pengambilan keputusan dan pengawasan dengan capain secara berturut-turut tahun 2018-2019 dengan persentase 65,79 dan 70,71 dengan peningkatan 4,92.

Ketiga, dalam laporan UNAS menjelaskan, aspek Lembaga Demokrasi dengan variabel meliputi pemilu yang bebas dan adil, peran DPR, peran partai politik, peran birokrasi, dan peran peradilan yang independen dengan derajat persentase secara berturut-turut di tahun 2018-2019 dengan persentase 75,25 dan 78,73 dengan peningkatan 3,48.

Data di atas menggambarkan bahwa, memang benar dalam Indeks Demokrasi Indonesia mengalami suatu fenomena turbulensi yang sangat serius. Hal tersebut di tandai dengan terjadinya penurunan terhadap aspek kebebasan sipil yang meliput kebebasan aspirasi dan kebebasan pers dalam menjalankan fungsi pengawasan terhadap kekuasaan yang dijalankan oleh pemerintahan Jokowi.

Turbulensi Demokrasi era Jokowi

Kinerja lembaga demokrasi di Indonesia pada tahun 2009-2019 mengalami turbulensi yang cukup memprihatinkan bagi kita semua. Mengapa demikian, indeks demokrasi Indonesia kontemporer masih sekedar menjadi demokrasi prosedural belum mencapai demokrasi substansial, kemudian vote minus voice (dukungan minus suara) dan oligarki partai politik.

Faktor-faktor terkait resesi demokrasi yang berdampak terhadap turbulensi demokrasi dapat dilihat dalam beragam fenomena berikut seperti upaya supremasi hukum yang lemah, komitmen pemerintah dalam menyelesaikan pelanggaran HAM berat di masa lalu, kasus korupsi, pelemahan terhadap KPK, penyalahgunaan wewenang, imputinitas, kekerasan dan kriminalisasi dan masih banyak lagi fakta-fakta empirik lainnya yang dapat kita hadirkan dalam menggambarkan proses turbulensi demokrasi era Jokowi.

Hal yang tak kalah menarik lainnya untuk diamati bahwa turbulensi terhadap demokrasi dapat dilacak melalui maraknya Oligarki dalam tubuh partai politik di Indonesia. Data IDI 2009-2019 menunjukkan bahwa Partai Politik belum banyak berperan dalam menyuarakan kepentingan konstitutuennya, dan dalam memproduksi kader-kader (politisi) yang berkualitas. Hal tersebut bukan sekedar retorika kosong, indikasinya, ditunjukkan dengan trend capaian indeks menuju kategori sedang, namun kecenderungan ini ditengarai lebih bersifat “musiman”, artinya, ia hanya berlaku menjelang pemilu.

Buruknya kinerja partai politik tersebut adalah karena kurang atau bahkan tidak dilaksanakannya kegiatan kaderisasi demi melahirkan politisi handal yang menjunjuung tinggi integritas, idealisme perjuangan dan paham akan substansi demokrasi.

Selain fenomena turbulensi terhadap demokrasi, peristiwa politik yang dapat terungkap juga bahwa adannya fakta empiric yang menjelaskan terkait defisit demokrasi. Indikasi pertama, lemahnya akuntabilitas Lembaga Representatif seperti potret kinerja DPR sangat buruk. Indikasi kedua, lemahnya transparansi Lembaga Birokrasi di Tanah Air seperti penyediaan informasi APBN/APBD (transparansi anggaran) dalam kurun waktu lima tahun terakhir 2015-2019 yang secara konsisten berada pada ketegori sangat buruk. Hal tersebut dapat diklasterkan menjadi tiga masalah utama; oligarki partai politik, politik transaksional, budaya politik parokial yang pada akhirnya mempercepat turbulensi dan defisit terhadap demokrsi Indonesia pada rezim pemerintahan Jokowi.

Beberapa Solusi

Melihat fakta-fakta tersebut, maka ada beberapa hal sebagai solusi yang dapat ditawarkan;
1.Melaksanakan pemilihan umum (pilkada, pileg dan pilpres) secara serentak dengan mempertimbangkan resources yang dimiliki oleh lembaga penyelenggara pemilu seperti KPU dan Bawaslu.
2.Mendorong peningkatan aktivitas kaderisasi partai politik demi melahirkan politisi-politisi handal yang paham akan substansi demokrasi.
3.Menerapkan “akreditasi parpol” dengan memasukkan aktivitas kaderisasi sebagai salah satu indikator di dalamnya agar meretas derajat pragmatisme dan transaksional dalam tubuh partai politik.
4.Mendorong sosialisasi pendidikan politik terhadap masyarakat, agar masyarakat cerdas dalam menentukan hak politiknya (dipilih dan memilih). Sebab, partisipasi aktif masyarakat dalam setiap momentum pemilu akan melahirkan pemilihan umum yang demokratis sesuai tujuan ideal konstitusi.

*)Penulis adalah Wakil Sekretaris Jendral (Wasekjen) Bidang Politik, Hukum dan Hak Asasi Manusia (Polhukam) Pengurus Besar Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PB PMII) Masa Khidmat 2021-2024 dan Juga Mahasiswa Magister Ilmu Politik Universitas Nasional (UNAS) Jakarta.

Artikel Terkait