Opini

Suara dari Tuapukan: Dear El Presidente, Mohon Perhatikan Kesejahteraan Kami WNI Eks TIM-TIM

Oleh : Rikard Djegadut - Rabu, 28/07/2021 08:05 WIB

Kamp Tuapukan, salah satu tempat kamp pengungsi warga ex Timor-Timur (Foto: Risno Pakur/dok. Pribadi)

Oleh Risno Pakur*)

Jakarta, INDONEWS.ID - "Kesetiaan dan nasionalis buta justru menjerumuskan kami ke dalam jurang ketidakpastian akan masa depan yang layak, kondisi ekonomi yang baik, pendidikan maupun strata sosial yang mumpuni”. Kata-kata itu keluar dari mulut Egi Soares, tokoh pemuda Tuapukan di Kamp Pengungsi, sekaligus warga EX-Timor-Timur.

Sekilas tentang Timor-Timur

Bomdia, Diak Ka Lae? Begitulah saya disapa oleh Soares dalam bahasa tetun yang jadi bahasa resmi Timor Leste, yang kalau diterjemahkan dalam bahasa Indonesia artinya selamat pagi, apa kabar? Jika disapa demikian, sobat sekalian harus membalasnya dengan menjawab Sempre Diak, yang artinya baik selalu.

Republica De Timor Leste diakui oleh dunia internasional pada tanggal 20 Mei 2002 sebagai negara yang berdaulat. Tentunya, hal ini didukung oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).

Semenjak hari kemerdekaan itu, pemerintah Timor Leste berupaya memutuskan segala hubungan diplomatik yang berhubungan dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Negara Timor Leste mengadopsi bahasa Portugis sebagai bahasa resmi dan mendatangkan bahan-bahan kebutuhan pokok dari Australia sebagai agenda balas budi atas apa yang mereka lakukan untuk kemerdekaanya.

Sempat Jadi Provinsi ke-27 RI

Timor leste menjadi bagian dari Indonesia pada tahun1976 sebagai provinsi ke-27 setelah Gubernur Jenderal Timor Portugis terakhir Mario Lemos Pires melarikan diri dari Dili.

Ia melarikan diri setelah tidak mampu menguasai keadaan pada saat terjadi perang saudara. Portugal juga gagal dalam proses dekolonisasi di Timor Portugis dan selalu mengklaim Timor Portugis sebagai wilayahnya.

Pada tanggal 30 Agustus tahun 1999, di bawah perjanjian yang disponsori oleh PBB antara Indonesia dan Portugal, mayoritas penduduk Timor Leste memilih merdeka dari Indonesia.

Antara kurun waktu referendum tersebut, kaum anti kemerdekaan mengadakan pembataian kepada warga sipil yang dimana mengakibatkan ribuan orang memilih mengunsikan diri.

Dengan adanya status chaos tersebut, mengakibatkan perekonomian mandek dan beberapa fasililtas umum hancur berantakan.

Oleh karena situasi yang kurang kondusif maka,pada tahun 2002 Timor-Timor diakui sebagai negara oleh dunia Internasional sebagai negara yang merdeka. Dengan status tersebut, posisi Timor-Timur yang dulunya sebagai provisi ke-27 dari Indonesia lepas dari pangkuan Ibu pertiwi.

Pose bersama Egi Soares, salah satu tokoh pemuda Tuapukan (Foto: Risno Pakur/Mario Oplet, Dok. Pribadi Foto)

Suara dari Tuapukan

Sobat ada satu kalimat yang sangat menyayat hati dan patut direfeleksikan oleh segenap anak bangsa. Meskipun cuman nyeletuk kecil, kira-kira bunyinya demikian.

"Kadang-kadang ketidakadilan itu datang tanpa ijin. Mereka suruh datang ke Indonesia, mencari lahan lalu kita beli lahan tersebut. Padahal program relokasi itu, lahannya harus pemerintah yang sediakan. Kita tidak tau siapa pemilik lahan sebenarnya. Hampir semua tanah di sini, mengalami masalah konflik tanah. Katanya relokasi, tapi faktanya kami sendiri lagi yang cari dan beli tanah.’’kami bawa kami (Pro Integrasi) ke sini, trus kami tidak diperhatikan oleh pemerintah. Kurang ajar betul ini sama artinya melepas tanggungjawab.’’

Sebelumnya, apakah sobat sekalian pernah mendengar soal Tuapukan? Saya kira kita semua asing dengan tempat ini. Namun, hal ini tidak berlaku bagi sanak saudara kita warga negara Indonesia, yang dulunya berjuang tuk pro integrasi Timor-Timur.

Perjuangan Selama 22 tahun untuk membela NKRI harga mati dianggap sia-sia belaka. Mengapa demikian sobat? Di tempat kamp pengungsian ini, nasib para pejuang pro integrasi sama sekali tidak diperhatikan oleh bangsanya sendiri.

Egi Soares, salah satu tokoh pemuda Tuapukan yang bersedia kami wawancarai menerangkan bahwa selama 22 tahun, sama sekali negara tidak serius dalam memperjuangkan hak-hak para pejuang pro intergrasi dalam memenuhi kesejahteraan.

Dalam kurun waktu yang lama, negara seolah-olah hilang dan tidak hadir dalam keseharian hidup mereka. Menurutnya, terkadang mereka dan kawan-kawan simpatisan kesejahteraan pengungsi seringkali mengadakan aksi protes atas sikap acuh negara kesatuan Republik Indonesia, katanya dengan penuh kesal.

Soares, menerangkaan bahwa semenjak referendum terjadi pada kurun waktu tahun 1999-2000, program repatriasi, relokasi dan rekonsiliasi sama sekali belum mendapat kepastian dari masyarakat.

Dari pengakuannya, banyak masyarakat di kamp pengungsi ini yang masih setia dengan NKRI. Namun, kesejahteraannya masih jauh panggang dari api. Selain itu, banyak dari masyarakat mengalami tekanan mental akibat kondisi ini.

Program relokasi belum ada kemajuan hingga saat ini. Sudah 22 tahun masyarkat yang pro integrasi ini belum mendapat kesejahteraan. Sobat sekalian bisa melihat sendiri.

Ilustasi pada gamar di atas memperlihatkan bagaiamana kondisi real yang sebenarnya terjadi. Hidup dalam kondisi yang tidak layak huni. Beralaskan papan yang jelek dan kumuh, mereka hidup dengan serba terbatas.

Program relokasi tidak berjalan sesuai agenda sebelumnya, terkadang menimbulkan konflik tanah hingga kini. Bentrok pun sering terjadi antara warga lokal dengan warga ex Timor-Timur.

Beberapa tempat yang banyak mengalami sengketa soal tanah adalah Raknamo, Kampung Merdeka dan Naibonat. Di daerah tersebut, banyak terjadi ketimpangan antara pemangku kepentingan dengan warga ex Timor-Timur.

Banyak juga masalah baru yang muncul dalam kamp ini, belum lagi ada wacana dari pemerintah untuk membangun pabrik garam. Di atas tanah kamp pengungsi ini.

Sangat ironis sekali, di tengah konflik tanah dan kesejahteraan yang belum terpenuhi, malah muncul masalah baru yang justru memperkeruh masalah.

Belum selesai dengan relokasi, kini penduduk ex TIM-TIM dihadapkan dengan framming soal pendudukan atas lahan sengkete tersebut. Iniliah nasib tinggal di negara yang sakit.

Potret salah satu rumah warga dalam kamp pengunsian di Tuapukan (Foto: Risno Pakur/ dok. pribadi)

Perbedaan Perlakuan

Menurut Soares, dulu pada saat perang saudara, kami disanjung-sanjung untuk membela kepentingan nasional NKRI. Namun, ketika kami sudah mati-matian membela NKRI, kami pun pada akhirnya kembali tidak diperhatikan oleh ibu pertiwi.

Lebih tepatnya, oknum pejabat ataupun pemangku kepentingan negara ini. Sudah semestinya, pemangku kepentingan (Stake Holder) harus mengutamakan kepentingan umum di atas kepentingan pribadi.

Lain dari pada itu, semua warga negara yang berdiam di Negara Kesatuan Republik Indonesia harus memiliki kesempatan yang sama akan hak hidup, hak ekonomi dan kebebasan berpendapat atas apa yang dihadapinya dala kehidupan bangsa dan bernegara.

Soares bercerita tentang masa lalunya ketika masih berdiam diri di Timor Timur, dulunya hidupnya dijamin oleh negara. Dia sedikit berkelakar sambil  ketawa kecil, bahwa dulu saat masih kecil masih sempat mencicipi  roti dan susu seerta makan daging kambing sebelum berangkat ke sekolah pada pagi harinya.

Namun, semenjak perang saudara bergejolak dan pasca referendum bergema, hidupnya berubah total. Ditambah lagi saat ini, dirinya lebih memilih NKRI, rela melepas sanak family di Viqueque, hanya untu NKRI.

Namun saat ini yang didapatnya hanyalah sebuah angan akan kesejahteraan. Jauh dari kata sejahtera, mereka para pengunsii ex TIM-TIM hidup dalam serba keterbatasan.

Kini sebagian dari mereka dicap sebagai milisi karena merasa jumawa sebab hingga kini belum mengakui kemerdakaan Timor Leste. Soal masalah ini, muncullah batas dan sentimen khusus atas perbedaan ini.

Regulasi soal pengunsi

Aturan soal pengungsi tercantum dalam peraturan presiden nomor 125 tahun 2016 yang mengatur soal pengunsi. Indonesia adalah Negara hukum yang diatur oleh Undang- Undang Dasar 45 dan Pancasila yang mmpunyai tatanan hukum yang jelas dan baik termasuk permasalahan pengungsi, Indonesia ikut andil dalam masalah pengungsi yang ada di internasional.

Meski indonesia sampai saat ini belum meratifikasi Konvensi Wina tahun 1951, Indonesia memiliki regulasi nasional yang mengatur mengenai penanganan pengungsi yang datang ke wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 125 Tahun 2016 Tentang Penanganan Pengungsi dari Luar Negri. Mengingat dari Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 156, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3882).

Dear El Presidente

Sore hari itu, saya menutup wawancara singkat saya bersama dengan satu pertanyaan terakhir. Kira-kira bunyi pertanyaannya begini. Jika saudara dihadapkan dengan dua pilihan: menetap di Indonesia dengan segala kondisi yang serba terbatas atau kembali pulang ke rumah Di Timor Leste, mana yang saudara akan pilih?

Mendengar pertanyaan terakhir saya, Soares kemudian mengambil sebatang rokok dan membakarnya sembari menghisap rokok tersebut dengan perlahan. Kemudian dia lantang menjawab, "kami tetap akan pilih dan menetap di Indonesia, kami hanya ingin kesejahteraan dan kepeduliaan bangsa Indonesia akan hak-hak kami yang belum terpenuhi hingga sekarang. Waktu 22 tahun yang lalu, menjadi bukti hilangnya bangsa ini dalam mewujudkan kesejahteraan bagi kami, pejuang pro integrasi Timor-Timur dahulu. Banyak orang rakus atas nama kami yang terus berkompromi hanya untuk kepentingan mereka sendiri.

Sudah 21 tahun, sebentar lagi usia perjuangan kami atas hak yang harus kami dapat memsuki usia 22 tahun. Dilihat dari angka tersebut, tentunya mirip dengan usia seorang dewasa. Yang tentunya, kami berharap dengan usia seperti itu juga, kiranya para  pemangku kepentingan dapat bertindak dewasa juga dalam menyelesaikan masalah yang ada tanpa menimbulkan masalah baru. Tidak perlu dipertanyakan lagi soal rasa nasionalisme bagi kami wni ex TIM-TIM, sebab jiwa dan raga kami pun telah kami beri membela sang saka merah putih.

Kami berharap program reforma agraria, kesejahteraan ekonomi, dan pendidikan agara dapat diberikan bagi kami. Saya (Soares) secara pribadi bingung tinggal di daerah mana dan negara mana, sebab negara saya tidak hadir dalam kehidupan sosial masyarakat. Kebanyakan pemerintah hadir pada saat memiliki kepentingan pribadi atau pun kelompok seperti pada saat demokrasi berlangsung.

Kami tentunya sangat menyesali atas perlakuan yang kami dapat, berbeda dengan apa yang kami korbankan. Rasanya tidak memiliki keadilan dan terasa sangat bobrok dalam penanganan serta distribusi kesejahteraan yang kami anggap sangat bermasalah. Anak-anak kami, banyak yang putus sekolah, sebab anak anak kami lebih memilih untuk bekerja sebagai kuli/buruh untuk menyambung hidup dibanding melanjutkan pendidikan.

Kami, tentunya berharap agar bangsa Indonesia melalui pemerintah saat ini, lebih memperhatikan kesejahteraan ekonomii, pendidikan maupun kesehatan bagi kami wni ex TIM-TIM yang sangat membutuhkan pangkuan dan pelukan ibu pertiwi."

Soares kemudian mematikan rokoknya, dan menutupi wawancara dengan minum kopi bersama. Di sini, minum kopi menjadi penyatu segala latar belakang masalah. Kalau di sana, kopi menjadi ajang menunjukan kelas sosial yang berbeda heheheh.

Udah pada ngopi belum gaesss? Ngopi apa ngopi, diam-diam bae.

Salam Dari Tuapukan kamp Pengunsian Ex Tim-Tim.*

*Risno Pakur adalah  Alumnus pascasarjana Universitas Trisakti

 

Artikel Terkait