Bisnis

Pengelolaan APBN di Masa Pandemi Berpotensi Munculkan Krisis

Oleh : very - Selasa, 03/08/2021 19:58 WIB

Didik J Rachbini, Rektor Universitas Paramadina dan ekonom senioar INDEF. (Foto:Ist)

Jakarta, INDONEWS.ID -- Rektor Universitas Paramadina yang juga ekonom senior INDEF Prof. Didik J Rachbini mengatakan bahwa APBN 2021 saat ini mempunyai masalah berat, dan diduga berpotensi memicu krisis ekonomi.  

“Jika pada masa lalu krisis bisa terjadi lewat nilai tukar, maka sekarang krisis akan bisa terjadi melalui APBN, yang memang bermasalah. Hal itu terjadi akibat proses politik dan demokrasi yang bias sehingga berdampak pada penyusunan APBN,” ujarnya dalam acara webinar yang bertajuk “Ekonomi Politik APBN, Utang dan Pembiayaan Pandemi Covid-19” pada Minggu (1/8).

Krisis pandemi covid-19 yang melanda Indonesia, katanya, harus disikapi dengan kehati-hatian untuk menjaga APBN agar tidak bermasalah. Ironisnya, ketika di tengah krisis ekonomi dan pandemi mendera, APBN yang defisit besar digenjot oleh utang yang luar biasa besar.

“Tidak ada upaya untuk efisiensi lebih dahulu, tetapi langsung meningkatkan utang untuk membiayai pandemik ini.  Akibatnya, defisit tidak dapat dielakkan dan masalah ekonomi juga tidak dapat diatasi. Sementara pada saat yang penanganan dampak pandemi covid-19 juga terbengkalai.  Tidak ada perbaikan ekonomi tanpa mengatasi pandemic,” katanya.

Pada akhir 2019 saja, ketika DPR dalam proses perancangan, anggaran utang sempat diturunkan menjadi Rp 625 triliun dari tahun sebelumnya.  Namun karena mendadak pandemi datang, tiba-tiba utang digenjot dari Rp625 triliun menjadi Rp 1222 triliun. Karena itu, katanya, dikhawatirkan pada masa depan, di masa normal pun, siapapun presidennya akan kesulitan menambal defisit yang sangat besar tersebut.

Jika ada defisit APBN, ditambah defisit perdagangan menjadi semakin besar, begitu pula dengan masalah pada nilai tukar dan APBN, maka tingkat kepercayaan publik atau investor juga akan bermasalah.  

“Jika ditambah kepercayaan publik terhadap pemerintah terus merosot karena gagal dalam penanganan pemberantasan covid-19, maka potensi krisis tersebut bisa terjadi,” ujarnya.

Didik mengatakan, pembiayaan anggaran PEN dan pandemi Covid sangat besar. Padahal secara kasat mata kita melihat justru hasilnya kebalikan dari anggarannya. “Mengapa?  Karena sejumlah anggaran yang besar tersebut sangat sedikit untuk kesehatan secara langsung dengan implementasi yang lambat,” katanya.  

Pada 2020 lalu anggaran Rp 699 triliun digunakan untuk pemulihan ekonomi sekaligus untuk penangan pandemi.  Lalu bisa dilihat sekarang hasilnya juga dipertanyanakan.

Indonesia saat ini menjadi juara dunia angka terpapar covid-19 yang tidak kunjung selesai. Namun pertumbuhan ekonomi tetap saja rendah. Hal itu karena dilakukan hanya  sekadar ekspansi, utang digenjot habis-habisan dalam keadaan krisis dan menumbuhkan rente luar biasa besar.

 

Lima Masalah dan Faktor Kritis APBN Berpotensi Krisis

Menurut Didik, ada lima masalah dan faktor kritis mengapa APBN berpotensi mendorong krisis ekonomi ke depan dan ini harus diantisipasi.

Pertama adalah politik APBN adalah politik yang bisa, tidak berdasarkan akal sehat, tidak teknokratis. Politik APBN ini berasal dari faktor eksternal, kondisi demokrasi yang merosot, mundur dan tampil sebagai demokrasi siluman. Asal muasal politik APBN sekarang merupakan turunan dari demokrasi yang sakit, yang tidak jelas wujud teknokratisnya, dan demokrasi siluman.

“Demokrasi Politik APBN adalah turunan dari demokrasi siluman tersebut. Sebagai contoh adalah keputusan utang yang meningkat pesat dari 625 trilyun tahun lalu menjadi 1222 trilyun rupiah seperti ini tidak dijalankan dengan demokrasi yang terbuka, tetapi cukup dengan Perpu 01 tahun 2020 secara sepihak oleh pemerintah,” ujar Didik. 

Kedua,  defisit primer APBN semakin berat dimana penerimaan tidak bisa mengatasi keperluan untuk pengeluaran, tanpa keterlibatan utang di dalamnya.   Defisit tersebut semakin besar dari tahun ke tahun. Ini merupakan indikasi APBN yang sakit cukup serius.

Ketiga,  utang yang melonjak sangat besar dua tahun terakhir ini akan menjadikan APBN semakin rapuh. Ini akan menjadi warisan yang sangat krusial dan berat bagi presiden yang akan datang.  Jumlah utang pemerintah sekarang mencapai 6555 triliun rupiah dan pada saat yang sama utang BUMN mencapai 2100 triliun rupiah.

Keempat, transfer dana ke daerah hampir mencapai 800 triliun rupiah, sangat besar. Tetapi pengelolaan dana daerah boros, tidak efisien dan banyak mengendap tidak termanfaatkan dengan baik sehingga tidak mendorong perumbuhan ekonomi dan tidak membantu mengatasi pemberantasan pandemic.

Kelima adalah pemborosan dana APBN tidak semestinya, seperti pemanfaatan PMN dana yang berasal APBN untuk BUMN-BUMN yang sakit, terutama BUMN karya yang mendapat beban mengerjakan proyek infrastruktur.  Pemborosan seperti ini menyebabkan APBN lebih bermasalah.

Bisa dilihat salah satu sumber dari kekacauan itu adalah kepemimpinan yang lemah dan tidak efektif. “Anggaran sosial banyak, namun keluhan juga sangat banyak. Keputusan lockdown sebenarnya tidak masalah yang pada ujungnya tidak akan menimbulkan efek yang panjang seperti saat ini,” katanya.

Dibanding negara tetangga seperti Filipina yang ekonom juga tidak baik, tetapi penanganan covid-nya tidak buruk. Berlanjutnya masalah dalam penanganan pandemi adalah cermin dari kegagalan penanganan covid-19.

Memburuknya kinerja APBN dan defisit serta berlanjutnya pandemi, kata Didik, lebih diakibatkan pada kepemipinan yang lemah dan absennya dimensi rasionalitas dan teknokrasi yang semakin tidak profesional akibat terlalu banyaknya pihak yang berkepentingan dengan alokasi anggaran APBN untuk penanganan pandemi dan pemulihan ekonomi.

“Menurun jauhnya rasio penerimaan pajak sehingga Indonesia menjadi negara tergolong paling kecil dalam rasio perpajakan. Disertai adanya rent seeking tertutup yang semakin memperburuk situasi. Kepemimpinan yang lemah dan tidak efektif tidak akan dapat menyelesaikan krisis ekonomi dan pandemic covid-19 yang datang bersamaan,” pungkasnya. (*)

Artikel Terkait