Opini

Ketika `Bukit Tuhan` Bergolak

Oleh : indonews - Selasa, 07/09/2021 21:39 WIB

Warga Labuan Bajo, Manggarai Barat, Sil Joni.(Foto:Istimewa)

Oleh: Sil Joni*

INDONEWS.ID - Status Golo Mori dalam `peta pariwisata super premium` sebetulnya `sangat istimewa`. Betapa tidak, wilayah pantai Selatan umumnya dan Golo Mori khususnya, masuk dalam program Kawasan Ekonomi Khusus (KEK).

Kawasan Golo Mori dan sekitarnya, bahkan digadang-gadang bakal disulap menjadi `tempat` digelarnya pelbagai pertemuan berskala internasional di masa mendatang. Desain atau masterplan pembangunan di areal KEK itu konon, sudah hampir rampung. Pelan tetapi pasti, Pemerintah Pusat (Pempus) mulai mengimplementasikan skema pembangunan KEK itu.

Gayung pun bersambut. Tawaran para kapitalis itu dilihat sebagai `berkat`. Warga lokal seolah mendapat rezeki berlimpah sebab nilai jual (ekonomis) tanah di wilayah itu terus meroket. Tidak heran jika sebagian tanah di sepanjang Pantai Selatan Labuan Bajo itu sudah `dikpaling` atau jatuh ke tangan para pemilik modal.

Ketika rencana menjadikan Golo Mori sebagai KEK itu bergulir dalam ruang publik, para kapitalis dan spekulan tanah mulai `melirik` dan berbondong-bondong ke wilayah ini untuk mendapatkan ruang dan peluang dalam berinvestasi. Para pemilik modal terus membujuk warga untuk menjual lahan strategis di sepanjang Pantai Selatan tersebut.

Ketika rencana menjadikan Golo Mori sebagai KEK itu bergulir dalam ruang publik, para kapitalis dan spekulan tanah mulai `melirik` dan berbondong-bondong ke wilayah ini untuk mendapatkan ruang dan peluang dalam berinvestasi. Para pemilik modal terus membujuk warga untuk menjual lahan strategis di sepanjang Pantai Selatan tersebut.

Perebutan sumber daya strategis seperti tanah, menjadi kondisi ideal terjadinya `konflik agraria`. Orang akan menggunakan segala cara untuk mendapatkan `alas hak` atas klaim kepemilikan lahan, baik tanah komunal maupun per orangan. Saya kira, Labuan Bajo menjadi contoh nyata bagaimana kisah perebutan sumber daya itu menjadi semacam `bom waktu` yang melahirkan bara konflik yang tajam.

Bahaya laten kasus jual beli tanah itu sudah merembes baik ke wilyah Utara maupun wilayah Selatan seperti Golo Mori. Diduga kuat bahwa penangkapan 21 warga di Desa Golo Mori, Kecamatan Komodo pada tanggal 2 Juli 2021 yang lalu oleh pihak Polres Manggarai Barat (Mabar), ada kaitannya dengan `sengketa kepemilikan lahan`.

Kasus penangkapan, penahanan, dan penetapan 21 orang itu menjadi `tersangka` memicu tanggapan yang luas dari publik. Bahkan isu itu berhasil menjadi `trending topic` dan berita terviral dalam jagat maya di level lokal saat ini. Keluarga para korban `mulai meradang` dan mengambil langkah hukum untuk menguji keputusan pihak kepolisian itu.

Secara literal, Golo Mori dalam bahasa Manggarai berarti `bukit tuhan`. Pembaptisan kampung itu sebagai Golo Mori, tentu ada kisah mitologisnya. Pembahasan tentang `sekelumit kisah mitologis` di balik nama itu, bukan menjadi intensi utama tulisan ini.

Apa pun kisahnya, yang pasti, saat ini `bukit tuhan, Golo Mori` itu sedang `bergolak`. Pergolakan itu, setidaknya terpotret dari narasi yang dikonstruksi dalam media digital. Ketika `bukit tuhan` itu bergolak, panggung sosial di Mabar pun ikut terguncang. Golo Mori menjadi salah satu isu seksi dan arena perebutan sekian banyak kepentingan.

Padahal, seperti yang dilansir Mediaindonesia.com, (6/9/2021) penduduk di desa Golo Mori Kecamatan Komodo Kabupaten Manggarai Barat Nusa Tenggara Timur dari ratusan tahun silam telah hidup rukun satu sama lain meski berbeda aliran kepercayaan. Kawin mawin beda aliran kepercayaan sudah menjadi tradisi lebih dekat pada garis keturunan dan ini berlaku secara turun-temurun, belum bisa dipisahkan satu sama lain.

Namun, cerita keharmonisan hidup masa lalu itu, mulai berubah seiring dengan perkembangan zaman. Jauh sebelum wacana KEK menggelinding dalam ruang publik, sebetulnya konflik tanah sudah terjadi, tidak hanya di Golo Mori, tetapi hampir tersebar merata di kawasan pesisir Utara dan Selatan Mabar. Maraknya aktivitas pembangunan dalam bidang turisme di Mabar, berbanding lurus dengan munculnya mafia tanah dalam pelbagai modus.

Kita mengapresiasi sikap tegas pihak kepolisian dalam mengantisipasi terjadinya `bentrok fisik` di Golo Mori sebagai akibat dari perebutan aset. Kendati demikian, kita tentu menghormati upaya perlawanan hukum dari pihak korban berkaitan dengan tindakan penahanan dan penetapan mereka sebagai tersangka.

Semoga perseteruan di `Bukit tuhan` segera berakhir sehingga citranya sebagai `tempat kediaman manusia berkarakter ilahi` tetap terjaga. Masyarakat Golo Mori mesti berjibaku untuk mempersiapkan diri untuk menjadi `pemain utama` dalam skema pembangunan KEK. Mereka tidak boleh disingkirkan atau tersingkir akibat ketamakan dan kelicikan pihak tertentu dalam mencaplok aset strategis mereka.

*Penulis adalah warga Labuan Bajo.

Artikel Terkait