Opini

Ke-wakilkepala-an dalam Pemerintahan

Oleh : luska - Kamis, 09/09/2021 07:03 WIB

Penulis : Djohermansyah Djohan (Guru Besar IPDN, Dirjen Otda kemendagri 2010-2014)

Keberadaan wakil kepala pemerintahan bisa jadi persoalan jika kita salah membuat formula kebijakan. Banyak sekali contoh kasus baik di tingkat nasional maupun lokal di mana antara wakil dan kepala tidak akur, bahkan terlibat konflik. 
Tingkat konfliknya bisa low sampai high intensity. 
Perang tertutup hingga terbuka ke ranah publik. Wakil menerbitkan SK mutasi pejabat ASN yang bukan kewenangannya ketika kepala lagi cuti. 
Adu mulut hingga adu jotos. 
Saling lapor ke polisi. Birokrasi terjepit pada posisi sulit. 
Rakyat yang sudah capek memilih mereka tidak bisa bikin apa-apa  selain rasa kecewa. 
Ujung dari konflik, mereka berlaga di pilkada.

Bila wakil menang dalam pilkada atau wakil naik menggantikan kepala karena sang kepala wafat atau di-OTT KPK, maka orang-orang kepala dicopot dari jabatan alias dinon-jobkan.

Desain pemilihan berpasangan yang ada sekarang salah kaprah. Konstitusi UUD 45, pasal 18 ayat (4)  menyebutkan yang dipilih secara demokratis hanya gubernur, bupati dan walikota. Tidak ada kata wakil. Lebih-lebih pula sistem kepartaian kita masih bercorak multi partai, sehingga kepala dan wakil biasanya berasal dari partai yang berbeda. Potensi konflik sangat terbuka.

Lebih dari pada itu, desain dipilih berpasangan, menyimpangi kodrat wakil yang notabene pembantu kepala. Disuruh dia pergi. Dilarang dia berhenti.
Wakil berfungsi sebagai "ban serep", bila kepala berhalangan dia menjadi pengganti. 
Tujuan diadakan jabatan wakil disamping untuk mencegah vacuum of power, dia membantu memperkuat kepala agar lebih mudah dan lancar melaksanakan tugas.

Dia juga menjadi mitra , teman sejati yang ikhlas berkorban demi kepala dengan loyalitas penuh.
Dia pantang berkianat. Pepat di luar pancung di dalam. Menggunting dalam lipatan. Berdoa yang buruk-buruk untuk sang kepala. Tidak boleh sampai ada rasa sang kepala "sleeping with the enemy". 

Wakil harus orang yang sudah dikenal baik luar dan dalam oleh kepala. Bukan yang dijodoh-jodohkan mendadak. Apa lagi dikawin paksa jelang mendaftarkan pencalonan ke KPU. 
Dalam budaya politik kita dikenal pula kearifan lokal, yaitu tidak boleh ada matahari kembar atau tidak boleh ada dua orang nakhoda di dalam satu kapal. 
Data kemendagri (2014) menunjukkan bukti bahwa sekitar 95 % wakil dan kepala daerah pecah kongsi.

Mengingat banyaknya mudharat wakil yang dipilih berpasangan dengan kepala daerah dalam pilkada, maka sebaiknya kita mengadopsi saja cara pemilihan mono-executive (tunggal) seperti yang diterapkan dibanyak pemerintahan daerah di dunia. Rakyat hanya memilih gubernur, bupati, dan walikota. Wakil nanti diangkat oleh kepala daerah terpilih dari ASN dan/atau non-ASN yang jumlahnya bisa satu, dua atau lebih sesuai dengan luas wilayah, jumlah penduduk, dan kondisi sosial-budaya masyarakat setempat. 
Tapi, mereka tidak bisa menggantikan kepala bila yang bersangkutan berhalangan tetap. Pengisian kepala bila ada kasus seperti itu dilakukan melalui DPRD.  

Seyogianya aturan itu dituangkan di dalam UU Pilkada kita sebelum pilkada serentak nasional tahun 2024 digelar.

Artikel Terkait