Bisnis

Ketimpangan Kaum Kaya dan Miskin Bertambah, Cermin Kebijakan Pemerintah

Oleh : very - Rabu, 15/09/2021 12:15 WIB

Ketimpangan kaum kaya dan miskin (Foto: IDN Times)

Jakarta, INDONEWS.ID -- Ketimpangan pengeluaran yang digambarkan Badan Pusat Statistik (BPS) dengan Gini Ratio, angkanya terus meningkat dari 0,381 (Maret 2020) ke 0,384 (Maret 2021). Sementara di perkotaan, Gini Ratio juga meningkat dari 0,392 (Maret 2020) ke 0,401 (Maret 2021).

Ketimpangan pengeluaran yang meningkat tersebut berarti orang semakin sedikit membelanjakan pendapatannya. Bagi orang miskin yang memang tidak ada simpanan untuk pendapatannya, Gini ratio tersebut mungkin dapat berlaku. Tetapi bagi kalangan orang kaya, menengah ke atas, mungkin saja tidak berlaku.

“Mengapa? Hal itu karena bagi kalangan kaya, mengurangi pengeluaran bukan berarti mereka bertambah miskin. Mungkin saja berarti juga mereka lebih banyak menabung,” ujar ekonom Universitas Bung Karno, Gede Sandra di Jakarta, Selasa (14/9).

Dan hal itu terkonfirmasi dari adanya dana pihak ketiga (DPK) di perbankan di tahun terjadinya pandemi yang meningkat 6,5 persen dari tahun 2019. Maka yang terjadi saat ini angka ketimpangan yang sebenarnya dapat lebih parah daripada yang terukur.

Apa yang terjadi di masyarakat tersebut, kata Gede, merupakan cerminan dari kebijakan pemerintah. “Jadi bila ternyata ketimpangan semakin parah, yang miskin semakin banyak dan yang kaya juga semakin banyak, adalah sebab pilihan kebijakan pemerintahannya sendiri,” ujarnya.

 

Kebijakan Pro Investor

Gede mengatakan, penyebab utama ketimpangan adalah karena kebijakan fiskal yang dipilih pemerintah Indonesia. Menteri Keuangan Sri Mulyani, terlalu berpihak kepada investor, bukannya kepada rakyat banyak.

“Istilah saya ini adalah kebijakan fiskal N.K.R.I atau Negara Kesatuan Republik Investor,” katanya.

Contohnya, terkait rencana melakukan tax amnesty jilid ke-2. Padahal dengan adanya tax amnesty sekali saja itu sudah menunjukkan kemana keberpihakan pemerintahan ini. “Jelas kepada investor dan pengusaha besar yang selama ini menggelapkan pajaknya dari Negara. Ini ada rencana mau diulang kembali, sunggu tak masuk akal,” katanya.

Kata Gede, untuk investor juga ada kebijakan-kebijakan fiskal lain, seperti: 1) pajak pembebasan royalti batubara (bila lakukan hilirisasi untuk energi); 2) pembebasan pajak barang mewah; 3) pembebasan pajak kapal mewah (yatch); 4) penurunan tarif PPh Badan (dari 25% ke 20% untuk perusahaan non publik dan dari 20% ke 17% untuk perusahaan publik); 5) Relaksasi pengurangan pembayaran PPh impor dan PPh pasal 25. Semuanya adalah kebijakan Menteri Keuangan.

Kebijakan pemerintah di sektor perbankan pun juga sangat mendukung kalangan investor dan pengusaha. OJK menyebutkan bahwa per Juli 2021 realisasi restrukturisasi kredit sektor perbankan mencapai Rp 779 triliun. Dana Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) yang memang ditujukan sebagian besarnya untuk kalangan pengusaha, tahun 2020 adalah sebesar Rp Rp 575,8 triliun dan tahun 2021 sebesar Rp 699,4 triliun.

Apalagi di dalam UU Cipta Kerja juga, kalangan investor dan pengusaha juga mendapat sangat banyak kemudahan. “’Daging’ dari UU Cilaka tersebut adalah perpanjangan kontrak otomatis untuk para perusahaan tambang, yang seharusnya dikembalikan ke Negara. ‘Lemaknya’ untuk importir bahan pangan yang semakin dipermudah. Sementara ‘tetelan’ nya adalah penghapusan pengurangan hak-hak pekerja, yang menguntungkan para pemilik pabrik,” ujarnya.

Jadi, sudah sangat banyak sekali yang diberikan pemerintah untuk kalangan investor, orang kaya. Sementara, untuk rakyat banyak yang ada malah kenaikan pajak dan tarif layanan.

Ia mencontohkan, mulai dari rencana kenaikan PPN dari 10% ke 12%;  menaikkan cukai rokok ke 12,5%; rencana mengenakan PPN bagi jasa pendidikan; menaikkan tarif dasar listrik; menaikkan harga BBM; rencana mengenakan pajak pada sembako.

“Padahal kita tahu kehidupan rakyat banyak sudah sangat tertekan karena pandemi. Maka tak heran bila warga miskin di kalangan rakyat banyak terus bertambah,” pungkasnya. ***

Artikel Terkait