Opini

Memanfaatkan Energi dari Gelombang dan Arus Laut, serta Perbedaan Suhu di Laut Dalam

Oleh : indonews - Selasa, 21/12/2021 22:01 WIB

Prof Atmonobudi Soebagio. (Foto: Ist)

Oleh: Atmonobudi Soebagio*)

INDONEWS.ID --- Di tengah Konferensi Tingkat Tinggi Ke-26 tentang Perubahan Iklim atau COP 26 – Glasgow yang lalu, Indonesia turut mendukung komitmen global: Coal to Clean Power Transition, meskipun tidak menyetujui klausul penghentian pembangunan PLTU baru.  Namun, Indonesia memastikan dapat mempercepat penghapusan batubara pada tahun 2040 dengan bantuan internasional.  Tanpa adanya dukungan internasional, PLTU terakhir yang beroperasi di Indonesia baru terjadi pada 2054. Di tengah Konferensi tersebut, Indonesia menarik beragam bantuan dari dunia untuk mengakhiri PLTU berbasis batubara.  Bantuan yang dibutuhkan meliputi pendanaan, teknologi, ketenagakerjaan, dan pembangunan jaringan tenaga listrik.

Pada artikel sebelumnya dengan judul “Komitmen Menuju Net Zero Emission 2050 dan Partisipasi Pelanggan Listrik PLN sebagai Prosumer”, ketergantungan listrik pada batubara dapat dikurangi secara bertahap lewat penjadwalan giliran pengoperasian PLTU jenis batubara, dengan dukungan masyarakat pelanggan listrik PLN yang memiliki PLTS Atap sendiri.  Artinya, turunnya emisi karbon dioksida di atmosfir negara ini dapat langsung dirasakan melalui partisipasi pelanggan listrik yang juga memiliki PLTS Atap dalam menyuplai daya listrik di saat pengaturan jadwal operasi PLTU batubara, tanpa menunggu sampai seluruh PLTU tersebut berakhir pengoperasiannya.  Yang diharapkan adalah agar pihak PLN menyosialisasikan Peraturan Menteri ESDM Nomor 29 Tahun 2018 tentang Penggunaan Sistem Pembangkit Listrik Tenaga Surya Atap oleh Konsumen PT PLN (Persero) seluas-luasnya agar memperoleh dukungan partisipasi mayoritas pelanggan listrik PLN selaku Prosumer; baik katagori pelanggan rumah tangga, industri, maupun bisnis.

Indonesia merupakan negara kepulauan yang luas lautnya sebesar 62% dari luas total negara ini. Lautan kita sudah lama menjadi pusat kemakmuran Indonesia, dengan sektor perikanan bernilai sekitar US$ 27 miliar, mendukung 7 juta pekerjaan, dan menyediakan lebih dari 50 persen kebutuhan protein hewani negara. Sebagai negara dengan jumlah pulau lebih dari 17.000, distribusi daya listrik dari pulau-pulau besar ke pulau-pulau kecil berpenduduk tidak menguntungkan secara ekonomi. Hal ini merupakan kendala utama sehingga pulau-pulau kecil berpenduduk harus memiliki pembangkit listrik yang memanfaatkan potensi lautnya.

Laut memiliki potensi energi yang tidak pernah berakhir, namun belum dimanfaatkan sepenuhnya oleh kita. Karena itu, sudah selayaknya kita segera memulainya dalam memanfaatkan potensi energi gelombang dan arus laut, dibandingkan dengan energi terbarukan lainnya.  Laut yang luas ini juga memiliki potensi untuk memproduksi gas hidrogen sebagai bahan bakar bagi sektor transportasi dan industri.  Elektrolisis merupakan teknologi utama produksi hidrogen dari air laut. Kesulitan potensial dengan proses ini adalah klorin dan oksigen yang berkembang di anoda. Konsep baru untuk produksi hidrogen dari air laut dengan metode elektrokimia sedang diselidiki.

Beberapa selat yang dalam di wilayah Indonesia juga merupakan sumber energi melalui pemanfaatan perbedaan antara suhu hangat di permukaan dan suhu dingin di dasar laut.  Suhu air laut di permukaan berkisar 30 derajat Celsius (C).  Suhu air laut juga bervariasi dengan kedalamannya. Di laut, energi matahari dipantulkan di permukaan atas atau diserap dengan cepat sesuai dengan kedalaman.  Artinya, semakin dalam sebuah laut, semakin sedikit sinar matahari yang sampai ke dasarnya. Kondisi ini menghasilkan lebih sedikit pemanasan air. Oleh karena itu, laut dalam (di bawah kedalaman 200 meter) dingin, dengan suhu rata-rata hanya 4 C (39 F). Air dingin juga lebih padat, sehingga lebih berat daripada air hangat. Air yang lebih dingin berada di dasar laut dan air hangat di permukaan, berkontribusi pada dinginnya laut dalam. Struktur vertikal di lautan yang diciptakan oleh perbedaan suhu memiliki dampak besar pada bagaimana kehidupan didistribusikan di lautan.  Teknologi yang memanfaatkan perbedaan antara suhu dasar laut dan permukaannya dikenal dengan sebutan Ocean Temperature Energy Conversion (OTEC). Umumnya diterapkan di laut yang memiliki kedalaman hingga 915 meter (3000 feet).   Konversi energi perbedaan suhu laut menjadi energi listrik pada teknologi OTEC berlangsung selama 24 jam setiap harinya.  Hawaii telah memanfaatkan teknologi ini.

Di beberapa tempat, ada laut yang mengalami perbedaan pasang-surutnya secara signifikan dan periodik, sehingga dapat dikonversikan menjadi energi listrik.  Arus laut yang terjadi di beberapa selat di tanah air, juga potensial untuk dimanfaatkan sebagai sumber energi dalam mengonversikannya menjadi energi listrik. Ukuran kapasitas daya listrik dari konversi energi gelombang dan arus laut bervariasi; mulai dari kapasitas daya ratusan watt hingga ratusan kilowatt.  Beberapa selat yang potensial dengan arus bawah lautnya antara lain adalah Selat Larantuka (Flores Timur), bagian tersempit dari Selat Bali, Selat Toyakaeh (Nusa Penida), Selat Labani (Sulsel), dan Selat Lombok.  Kiranya potensi laut Indonesia yang selama ini terabaikan dapat segera dikembangkan, agar kita tidak hanya bergantung pada penggunaan sel surya dan energi bayu saja yang sebagian peralatannya masih diimpor. Semoga. ***

*) Prof. Atmonobudi Soebagio MSEE, Ph.D. adalah Guru Besar Teknik Tenaga Listrik pada Universitas Kristen Indonesia.

 

 

Artikel Terkait