Opini

Implementasi Ultimum Remedium Pasca UU HPP

Oleh : luska - Jum'at, 11/02/2022 07:05 WIB

Penulis : Dr. Wirawan B. Ilyas, Ak, SH., MSi., MH., CPA., (BKP Akuntan Forensik, Praktisi Perpajakan, Advokat, Senior Partner TIMES LAW FIRM)


Pengantar
Paling tidak terdapat dua alasan untuk membahas masalah Ultimum Remedium dalam perpajakan pasca UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), pertama, kebutuhan uang untuk penanganan covid 19 yang sudah berlangsung sejak dua tahun yang lalu dan tidak pasti kapan berakhirnya bahkan jika berakhir pun diperlukan waktu yang relatif lama untuk pemulihan ekonomi, sosial dan masyarakat. Kedua, secara filosofis fungsi pajak merupakan fungsi budgeter, penerimaan negara demi kelangsungan dan kemandirian bangsa dan negara.

Sejalan dengan hal itu Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam rapat di Dewan Perwakilan Rakyat memberi sinyal untuk tidak memidana Wajib Pajak yang tidak patuh dan terindikasi melakukan tindak pidana perpajakan, tetapi fokus menyelesaikan kewajiban pembayaran pajaknya dengan mengutamakan sanksi administrasi sehingga penyelesaian menjadi cepat, efisien dan negara mendapatkan uang penerimaan pajak, disisi lain Wajib Pajak tetap dapat menjalankan bisnis secara berkelanjutan (going concern).

Sesungguhnya Undang-undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP) sedari awal sudah berciri Ultimum Remedium, dimana penyelesaian secara administrasi diprioritaskan daripada mengenakan hukum pidana (penjara), tetapi dalam prakteknya menurut pengalaman penulis tidak berjalan dilapangan. Jadi tepat kiranya penegasan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati saat rapat dengan DPR membahas rancangan Undang-undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan beberapa waktu yang lalu. Dengan demikian jelas bahwa politik hukum penyelesaian pidana pajak mengedepankan doktrin Ultimum Remedium seperti yang termuat dalam UU HPP sebagai pegangan hukum bagi aparat pelaksana dilapangan dan bagi Wajib Pajak.

Bagaimana implementasinya ? 
Dalam sistem hukum yang berjalan sering kali terdapat gap antara yang telah diatur dalam norma hukum dengan praktek dilapangan. Diundangkannya UU HPP yang berlaku sejak 29 Oktober 2021 yang salah satu pointnya mengatur prihal penyelesaian pidana pajak sesuai dengan asas yang dianut antara lain keadilan, efisiensi dan kepastian hukum dengan tujuan untuk mewujudkan sistem perpajakan yang lebih berkeadilan dan berkepastian hukum (pasal 1 ayat 1 dan 2). Efisiensi, keadilan dan kepastian hukum merupakan kata kunci yang wajib dipahami dan diimplementasikan secara nyata, tepat dan cepat apalagi disaat negara sangat membutuhkan uang untuk percepatan pembangunan disegala lini khususnya dalam situasi kondisi pandemi covid 19.

Jika hal ini tidak dipahami dan diimplementasikan oleh pihak Direktorat Jenderal Pajak sesuai dengan asas dan tujuan hukum dari UU HPP tersebut maka berbagai kontradiksi dalam penerimaan negara dan dunia bisnis tidak dapat terelakan. Hal ini tentu tidak kita kehendaki bersama, mengingat urusan pajak adalah urusan kita bersama dalam membangun bangsa dan negara.

Untuk itu turunan dari UU HPP yang terkait dengan pidana pajak harus segera dirumuskan dengan jelas dan dipahami dalam tataran implementasinya agar tercipta kepastian hukum. Sesuai Pasal 44B memberi ruang yang jelas terkait penghentian penyidikan pajak atas permintaan Menteri Keuangan, bahkan norma ayat 2a nya bahwa pidana pajak yang telah dilimpahkan ke Pengadilan, Wajib Pajak masih diberi kesempatan melunasi pajak yang kurang bayar untuk menjadi pertimbangan hakim untuk tidak dituntut pidana penjara. Perumus Undang-undang (pemerintah dan DPR) dengan terang benderang telah memaknai bahwa pajak sebagai fungsi budgeter dengan doktrin Ultimum Remedium dalam penyelesaian pidana pajak, sekarang bolanya berada pada Menteri Keuangan dan jajaran Direktorat Jenderal Pajak (DJP) untuk segera mengimplementasikannya secara nyata.

Begitulah semestinya kita memahami hukum pajak seperti ajaran Von Jhering (Filosof Jerman 1818-1892) bahwa pajak merupakan fungsi kepentingan dan diperkuat oleh pandangan Bentham dalam ajaran Utilitarianisme yang berbasis kemanfaatan bagi kehidupan dan kebahagiaan manusia. Norma Pasal 44B UU HPP merupakan turunan cara pandang Jhering dan Bentham yang seyogyanya diimplementasikan nyata dalam tataran praktek dilapangan, karena didasari dengan pemikiran filosofis yang sangat kuat khususnya pada tataran Direktorat Jenderal Pajak dan Kejaksaan serta Pengadilan Umum pada umumnya, sehingga kepastian hukum, keadilan dan efisiensi dalam administrasi perpajakan dapat diwujudkan secara nyata dan berdampak positif terhadap perekonomian secara menyeluruh.

Untuk itu keberadaan peran strategis Advokat sebagai Pengacara Pajak sesuai UU Advokat dan UU Bantuan Hukum mutlak diperlukan bagi Wajib Pajak yang terkena dugaan pidana pajak agar penyelesaian hukum yang diamanatkan UU HPP dapat berjalan efektif. Advokat sebagai salah satu pilar penegak hukum pasca UU HPP disatu sisi dan dilain sisi Akuntan Publik sebagai profesi yang independen sesuai dengan UU Akuntan Publik berperan penting untuk menghitung kerugian pendapatan negara. Kerugian pendapatan negara merupakan salah satu unsur signifikan dalam penetapan status tersangka Wajib Pajak. Mengapa demikian ? Pengalaman dilapangan pada tahap Wajib Pajak dilakukan pemeriksaan bukti permulaan (buper) sesuai Pasal 8 ayat 3 UU No. 7 Tahun 2021, Wajib Pajak dengan kemauan sendiri dapat mengungkapkan dengan pernyataan tertulis mengenai ketidakbenaran perbuatannya.

Pasal 8 ayat 3a pengungkapan ketidakbenaran dan disertai pelunasan kekurangan pembayaran jumlah pajak yang sebenarnya terutang beserta sanksi administrsi berupa denda sebesar 100% dari jumlah pajak yang kurang dibayar dan telah dilakukan oleh Wajib Pajak tetapi dalam implementasinya nilai yang disampaikan oleh Wajib Pajak seringkali tidak disetujui oleh pihak pemeriksa Buper, sehingga kasus tersebut tetap ditingkatkan ke tahap penyidikan. 

Menurut penulis pada tahap yang krusial inilah diperlukan profesi ahli independen untuk menghitung nilai pajak yang harus diungkapkan, begitu juga selanjutnya pada tahap penyidikan sesuai rumusan Pasal 44B UU HPP. Permasalahan kunci justru terletak pada besaran kerugian pendapatan negara dan siapa yang  berwenang menghitung, menentukan nilai kerugian pendapatan negara ?

Jika kerugian pendapatan negara dihitung dan ditentukan oleh pihak DJP dalam proses pidana pajak, hitungan dimaksud tidak mencerminkan proses yang fair karena DJP merupakan bagian pihak yang bersengketa dengan Wajib Pajak yang tidak independen. Hal ini umumnya ditolak oleh Wajib Pajak sehingga penyelesaian dengan prinsip ultimum remedium tidak berjalan, itulah yang terjadi selama ini.

Penghitungan kerugian pendapatan negara oleh profesi independen didasarkan pada objektivitas bukan subjektivitas. Hal yang objektif secara ilmu dipedomani sebagai sebuah kebenaran. Dengan demikian kesahihan dari perhitungan atau penilaian yang objektif tersebut teruji (reliable) dan tidak merugikan Wajib Pajak sebagai terperiksa. Guru Besar Hukum Pidana Universitas Gajah Mada, Prof. Moeljatno (Asas-asas Hukum Pidana, 2008), memberikan pandangan yang dimaksud dengan “objektif” yaitu menurut ketentuan ilmiah sehingga boleh diuji dan diteliti kebenarannya oleh siapapun (Wirawan B Ilyas, Investor Daily, 18 Januari 2022).


Simpulan
Mengingat pemerintah saat sekarang melalui kebijakan fiskalnya fokus pada sektor kesehatan sebagai imbas dari pandemi covid 19 dan pemulihan ekonomi nasional yang sudah pasti membutuhkan dana yang amat besar. Untuk itu dengan telah dikeluarkannya UU HPP yang salah satu konsiderannya untuk meningkatkan pertumbuhan perekonomian yang berkelanjutan dan mendukung percepatan pemulihan perekonomian, diperlukan strategi konsolidasi fiscal yang berfokus pada perbaikan defisit anggaran dan peningkatan rasio pajak, yang antara lain dilakukan melalui penerapan kebijakan peningkatan kinerja penerimaan pajak, reformasi administrasi perpajakan, peningkatan basis perpajakan, penciptaan sistem perpajakan yang mngedepankan prinsip keadilan dan kepastian hukum, serta peningkatan kepatuhan sukarela Wajib Pajak.

Semuanya berasaskan keadilan, kesederhanaan, efisiensi, kepastian hukum, kemanfaatan dan kepentingan nasional. Salah satu point penting dalam UU HPP terkait dengan penyelesaian tindak pidana perpajakan dengan prinsip Ultimum Remedium, yaitu memprioritaskan sanksi administrasi daripada sanksi pidana.

Namun demikian sesuai pengalaman dilapangan selama ini, perlu kiranya aturan turunan yang jelas atas implementasi prinsip Ultimum Remedium dalam bentuk peraturan Menteri Keuangan dan pemahaman yang memadai oleh jajaran Direktorat Jenderal Pajak khususnya para pemeriksa bukti permulaan dan penyidik. Penyelesaian kasus dalam lingkungan Direktorat Jenderal Pajak akan berdampak positif dan efisien daripada penyelesaian dilingkungan Pengadilan Umum dimana Majelis Hakim dapat berpendapat lain baik ditingkat pertama hingga Mahkamah Agung. Peran Advokat sebagai Pengacara Pajak dan Akuntan Publik khususnya dengan telah terbitnya Standar Jasa Investigasi (SJI) sangat strategis dalam upaya mengimplementasikan prinsip Ultimum Remedium yang dianut UU HPP. Dengan demikian kesehatan fiskal dan agenda pembangunan sektor kesehatan khususnya dalam masa covid 19 dan pemulihan ekonomi nasional dapat berjalan efektif. #Semoga#

Curriculum Vitae Penulis
Dr. Wirawan B Ilyas, Ak, SH, M.Si, M.H. CPA    
Lulusan S1 Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jurusan Akuntansi, tahun 1984. Melanjutkan S2 Administrasi Pajak Pascasarjana Universitas Indonesia, tahun 1998. Gelar Doktor Akuntansi dari Universitas Padjadjaran, Bandung. Mengikuti pendidikan bidang hukum pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia (Ekstensi) dan Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran Strata 1 dan 2. Praktisi bidang perpajakan, hukum dan akuntansi. Dosen Hukum Pajak dan Perpajakan di Pasca Sarjana Akuntansi Universitas Muhammadiyah, Jakarta, dan Fakultas Hukum UNPAD. Aktif menulis buku-buku bidang Perpajakan, Hukum Pajak, Hukum Bisnis dan Akuntansi. Dan juga aktif sebagai anggota PERADI dan anggota Komite Disiplin dan Investigasi, Institut Akuntan Publik Indonesia (IAPI). Saat ini juga menjabat sebagai Sekjen Perkumpulan Kuasa Hukum Pajak Pro Justitia (PKHP2J).

Artikel Terkait