Nasional

Didik J. Rachbini: Perguruan Tinggi Harus Bertransformasi dari Pengajaran ke Riset

Oleh : very - Senin, 21/02/2022 12:20 WIB

Rektor Universitas Paramadina, Prof. Didik J. Rachbini, MSc, PhD, dalam Pengantar Diskusi Akhir Pekan yang bertajuk,

 

Jakarta, INDONEWS.ID -- Kualitas perguruan tinggi Indonesia seharusnya mengacu pada riset advance, kutipan atau citation di antara peneliti/penulis, jaringan internasional, implementasi dan dampaknya terhadap industri dan bukan pada pengajaran. 

Pasalnya, pengajaran hanya satu dari lima elemen, penentu kualitas perguruan tinggi, dengan 4 elemen sisanya merupakan riset dan turunannya. 

“Karena itu, untuk meningkatkan kualitasnya, universitas atau perguruan tinggi harus secara bertahap mentransformasikan diri dari perguruan tinggi yang dominan pada pengajaran menjadi perguruan tinggi dominan riset, yang menghasilkan karya ilmiah bertaraf nasional dan internasional, dikutip oleh peneliti di berbagai manca negara, punya modal sosial jaringan internasional serta berdampak terhadap ekonomi, industri dan kesejahteraan manusia”.  

Hal tersebut diungkapkan oleh Rektor Universitas Paramadina, Prof. Didik J. Rachbini, MSc, PhD, dalam Pengantar Diskusi Akhir Pekan yang bertajuk, "Kiat Membangun Perguruan Tinggi Berkelas Dunia" di Jakarta, Minggu (20/2).

Menurut Didik, universitas terkemuka di Indonesia seperti USU, UI, ITB, IPB, UNPAD, UGM, UNDIP, UB, UNAIR, UNHAS, dll, harus diarahkan untuk menjadi universitas riset, bukan sebaliknya ngotot menjadi kampus pengajaran, yang melipatgandakan mahasiswa untuk pendapatan dan dominan  menjalankan proses belajar-mengajar seperti layaknya kursus.

Berdasarkan fakta pertumbuhan penduduk, struktur penduduk muda dan bonus demografi, maka prediksi OECD tahun 2030 dan bahkan tahun 2040, jumlah ilmuwan Indonesia lulusan universitas (dokter, arsitek, insinyur, agronomis, psikolog, dll) akan berada di ranking 5 besar dunia setelah Cina, India, Amerika, dan Rusia. Namun kualitasnya rendah sehingga faktor kualitas menjadi sangar penting.

Guru besar, kata Prof Didik, hanya ada sekitar 6 ribu orang dan doktor hanya 40 ribu orang dengan rasionya terhadap jumlah penduduk sangat kecil. “Kita perlu setidaknya 5 kali lebih besar dari sekarang, agar menghasilkan 30 ribu guru besar dan 200 ribu doktor untuk meningkatkan kualitas SDM sekaligus jumlah risetnya,” ujarnya.

Menyinggung Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), saat ini, kata Didik, Indonesia memang memiliki BRIN. Namun, lembaga tersebut kondisinya rusak berat karena diacak secara politik.

“BRIN rusak berat diacak-acak secara politik dan dampaknya akan berat ke depan. Ini adalah kecelakaan sejarah, yang perbaikannya memerlukan waktu lama karena arsitek dari ranah politik sebenarnya tuna akademik, tidak layak menggurui dunia ilmu pengetahuan yang amat luas,” ujarnya. 

Mengutip Skor PISA, Indonesia sangat rendah di bawah rata-rata, yakni ranking 62 dari 70 negara yang diukur atau menjadi 8 besar golongan terbawah. Ini menyedihkan dimana insan pendidikan tidak berhasil mengatasinya selama setengah abad terakhir ini.  Karena itu, ke depan sumber permasalahan input pendidikan tinggi memerlukan percepatan untuk diperbaiki.

Esther Duflo, pemenang nobel ekonomi, pernah melakukan penelitian yang mendalam terhadap kebijakan pendidikan nasional di Indonesia, khususnya pendidikan universal dan pembangunan SD Inpres secara nasional. 

Menurutnya, Indonesia berhasil menjalankan kebijakan pendidikan dalam mentransformasikan SDM Indonesia dengan membuat sekolah dasar dan menengah secara massa Orde Baru dalam skala luas. “Tetapi dilihat dari sisi lain, sistem pendidikan Indonesia gagal meningkatkan kualitasnya. Inilah sumber kualitas SDM yang rendah untuk masuk perguruan tinggi, yang perlu dibenahi ke depan,” pungkasnya. ***

 

Artikel Terkait