Opini

Seni Lukis Poster Film, Sebuah Catatan

Oleh : indonews - Rabu, 30/03/2022 18:59 WIB

Ahmad Ridwan (AR Tanjung) atau lebih akrabnya disapa Tanjung berjalan awalnya ia adalah sebagai pelukis poster film. (Foto: Ist)

Oleh: Aendra Medita*)

Jakarta, INDONEWS.ID --- Adalah pelukis poster film yang berjaya dimasanya. Kini kemana? Para pelukisnya pun hijrah untuk bisa eksis.

Ada cerita unik yang terjadi di tahun 2019 tepatnya saat salah satu bioskop tertua di Athena, Yunani bernama Athinaion merupakan satu-satunya sinema yang masih membuat poster billboard dengan lukisan tangan. Masuknya film box office Avengers: Endgame, seniman Virginia Axioti yang melukis poster sekaligus pemilik Athinaion, mengatakan bahwa ada perbedaan poster lukis dan digital. “Perbedaan paling mendasar (dengan poster digital) adalah sentuhan manusia. Itu menonjol, tatapannya akan tetap di situ, seperti sesuatu yang hidup," ujar seniman Atena dikutip Reuters, saat itu.

Ia juga mengatakan bahwa poster yang dilukis dengan tangan dan menggantung di pintu masuk ke bioskop Athinaion dapat mengandalkan audiensi reguler tanpa harus merangkul internet. Seniman ini melakukan ini sebagai langkah melanjutkan tradisi melukis poster di bioskop yang didirikan oleh kakek dan paman buyutnya pada 1960.

“Melukis poster film Avengers: Endgame memberikan tantangan khusus, sebab ia harus melukis sebanyak 7 wajah pahlawan super dalam berbagai macam pose. Saya dipaksa untuk menambahkan lebih banyak elemen daripada yang biasanya. Ini membuatnya terlalu sibuk untuk selera saya,” ungkap Axioti. Ada hal yang menarik juga dari Axioti bekerja bergiliran dengan Vassilis Dimitriou, seorang mantan petinju yang juga melukis untuk Athinaion selama lebih dari empat dekade. Lokasi bioskop di persimpangan sibuk di distrik Kota Ampelokipoi  tersebut membuat audiens yang besar untuk pekerjaannya. Juga memungkinkan orang yang lewat melihat poster tersebut dan berniat menontonnya. Axioti sendiri merupakan lulusan seni rupa yang menghabiskan tiga hingga empat hari sekaligus untuk menyelesaikan poster berukuran rata-rata 6,2 x 2,20 meter dan memproduksi antara 20 dan 25 poster lukis setiap tahun.

Dari catatan di atas saya mengambil pesan di hari atau bulan film Indonesia ini (Maret) ada pada pelukis poster film yang saat ini banyak hijrah menjadi pelukis. Banyak pengalaman menarik dari seniman pelukis poster film tersebut. Di antaranya, begadang hingga tujuh malam berturut-turut yang mana harus kejar tayang film akan segera diputar dan poster harus terpajang di bioskop.

Adalah Ahmad Ridwan (AR Tanjung) atau lebih akrabnya disapa Tanjung berjalan awalnya ia adalah sebagai pelukis poster film. Ia salah satu dari sekian pelukis poster film Indonesia. Namun dalam konteks kekinian Tanjung lebih eksis menjadi pelukis.

Sejumlah film posternya sudah dia buat. Film-film lama seperti Lewat Djam Malam (Sutradara Usmar Ismail), Hidup Tanpa Kehormatan, Perkawinan, Disini Cinta Pertama Kali Bersemi (Sutradara Wim Umboh), Kasmaran ( Sutradara Slamet Rahardjo Djarot), Napas Perempuan (Sutradara Ali Shahab),  Melodi Cinta Rhoma Irama (Sutradara Muclis Raya) Si Manis Jembatan Ancol, Ranjau-Ranjau Cinta, Benyamin Biang Kerok dan sejumlah karya poster film India, Barat (hollywood telah  yang pernah dibuat Tanjung.

Tanjung lahir di Jakarta, 7 Maret 1966, bakat melukisnya yang luar biasa ia lalui dengan otodidak. Namun kini ia memiliki banyak siswa yang belajar melukis di sanggarnya di kawasan Haji Samali Jakarta Selatan. Bagi Tanjung yang kini total  melukis sejak 2013 tak lagi melukis poster film karena dunia digital masuk lebih kuat sehingga melukis poster film tergeser. “Sejak era digital print  para seniman  poster film terpinggirkan. Dan saya juga harus banting setir. Saya memilih jadi pelukis secara khusus ikut pameran dan lainnya, kawan lain ada yang beralih melukis potret dan ada juga yang beralih profesi,” ujar Tanjung saat ditemui di Depok pekan lalu.

Tanjung memang bukan hanya dikenal dalam tahun 2000 namun  juga pernah berpameran dan mendapat sejumlah penghargaan dalam dunia lukis dan sejumlah pameran sudah dilakukan sejak 1993.

Jika melihat visual yang dilakukan tanjung kekuat karya Tanjung pada detail pelukis figuratif. Tanjung sebagai pelukis bukan seniman baru kemarin, ia pernah juga memberikan kontribusi kepada Majalah Horison untuk sejumlah sampul  Majalah Sastra legendaris itu. “Saat itu saya diminta oleh tim redaksi Horison untuk edisi yang menampilkan figur tokoh budayawan dan sastrawan,” kenangnya.

Memang nama Tanjung di dunia seni lukis Indonesia mulai sedikit dikenal sejak sering membuat dukungan sampul majalah. Kini beberapa lukisan poster yang menarik dari Tanjung kini akan dipamerkan dalam bulan Film di sebuah Galeri di Jakarta Selatan.

Tanjung merekam karya dengan me-rekreasi poster film dengan kemasan dalam kanvas baru. Bukan hanya itu ia menyajikan data dokumentasi yang rencananya akan dibuat buku perjalanan pelukis poster. Dokumentasi yang tersimpan dalam proses dia melakukan pekerjaan sebagai pelaku poster film atau “aktor dibelakang layar” ini menarik.

“Poster-poster film saya yang akan dipamerkan dan saya buat duplikasi asli dari poster film itu,” jelasnya.

Lukisan poster film ini memang sebuah seni rupa yang menjadi pendukung dunia film. Meski ada yang menyebut seni rupa “tukang” karena melukisnya berdasar pesanan gambar untuk film namun peran pendukung mereka dalam dunia visual itu tak boleh dilupakan. Maka hakikatnya langkah Tanjung atau galeri yang melakukan pameran poster ini sangat baik sebagai catatan sejarah.

Pamerannya digelar pada hari Film Nasional pada Maret 2022 ini sebuah kisah tanpa putus.

Sehingga saya melihatnya ini sebuah revolusi kesadaran bahwa lukisan poster menjadi gerak dalam visual dan rupa. Inilah  sebuah kesadaran akan respon keadaan dunia visual yang semakin pesat dan sejarah tetap secara harfiahnya dunia visual yang kini adalah kesadaran nyata dalam mawas diri (awareness) kekinian.

Hadirnya untuk hal ihwal dan respon sebagai kondisi saat ini yang dalam kenyataan hidup yang bergerak terus juga akan mencakup ruang persepsi dan pemikiran, wacana diskurs yang saat ini secara samar-samar kita bedah sehingga akhirnya perhatiannya akan terbuka. Menjadi ruang sebuah ruang kajian terdepan dalam dunia visual nyata menjadi dan hadir di poster film era saat ini.

 

(Lukisan poster film karya AR Tanjung. Foto: Ist)

 

Gambar Idoep & Poster Film

Dalam sejarah panjangnya jelas  bahwa era awal perfilman Indonesia ini diawali dengan berdirinya bioskop pertama di Indonesia pada 5 Desember 1900 di daerah Tanah Abang, Batavia dengan nama Gambar Idoep yang menayangkan berbagai film bisu. Gambar Idoep merupakan pemutaran film dokumenter perjalanan Ratu dan Raja Belanda di Den Haag. Tempat pemutaran film ini bertempat di sebuah rumah di sebelah pabrik kereta Maatschappij Fuchss di Kebon Jae, Tanah Abang. Pemutaran film ini diulas dalam surat kabar Bintang Betawi yang terbit 4 Desember 1900. Tiga tahun setelah pemutaran perdana ini, tempat pemutaran yang awalnya merupakan rumah seorang pengusaha diubah menjadi bioskop bernama The Royal Bioscoope tanggal 28 Maret 1903.

Pemutaran film ini merupakan tonggak diperkenalkannya bioskop di Indonesia. “Gambar idoep” sendiri sebenarnya merupakan sebutan untuk film pada zaman itu. Pada hari itu, harga tiketnya adalah f2 untuk kelas I, f1 untuk kelas II, dan f0,5 untuk kelas III.

Salah satu hal yang menarik dalam pemutaran film perdana ini adalah pemilihan tayangan pukul 7 malam. Kelihatannya pemilik bioskop sudah memperhitungkan dengan cermat pemilihan waktu ini. Hal ini dikarenakan pada tahun-tahun tersebut, jenis hiburan yang ada di kota-kota di Indonesia saat itu hanyalah komedi stambul dan opera Melayu, yang waktu mulainya berkisar jam 9 hingga 12 malam. Sehingga, ada jeda waktu kosong antara jam pulang kerja (jam 5-6 sore) hingga waktu pemutaran hiburan ini. Oleh karena itu, pemilihan waktu jam 7 malam dianggap pas. Sejak 1 Januari 1901, harga tiket diturunkan menjadi f1,25 untuk kelas I, f0,75 untuk kelas II, dan f0,25 untuk kelas III. Saat itu pun pemilik bioskop memberlakukan peraturan yang rasialis. Orang Tionghoa, Eropa, dan India minimal harus membeli tiket kelas II, sedangkan orang Jawa dan Islam hanya boleh membeli tiket kelas III.

Film pertama yang dibuat pertama kalinya di Indonesia adalah film bisu tahun 1926 yang berjudul Loetoeng Kasaroeng dan dibuat oleh sutradara Belanda G. Kruger dan L. Heuveldorp. Film ini dibuat dengan didukung oleh aktor lokal oleh Perusahaan Film Jawa NV di Bandung dan muncul pertama kalinya pada tanggal 31 Desember, 1926 di teater Elite and Majestic, Bandung.

Setelah sutradara Belanda memproduksi film lokal, berikutnya datang Wong bersaudara yang hijrah dari industri film Shanghai. Awalnya hanya Nelson Wong yang datang dan menyutradarai Lily van Java (1928) pada perusahaan South Sea Film Co. Kemudian kedua adiknya Joshua dan Otniel Wong menyusul dan mendirikan perusahaan Halimoen Film.

Sejak tahun 1931, pembuat film lokal mulai membuat film bicara. Percobaan pertama antara lain dilakukan oleh The Teng Chun dalam film perdananya Boenga Roos dari Tcikembang (1931) akan tetapi hasilnya amat buruk. Beberapa film yang lain pada saat itu antara lain film bicara pertama yang dibuat Halimoen Film yaitu Indonesia Malaise (1931).

Pada awal tahun 1934, Albert Balink, seorang wartawan Belanda yang tidak pernah terjun ke dunia film dan hanya mempelajari film lewat bacaan-bacaan, mengajak Wong Bersaudara untuk membuat film Pareh dan mendatangkan tokoh film dokumenter Belanda, Manus Franken, untuk membantu pembuatan film tersebut. Oleh karena latar belakang Franken yang sering membuat film dokumenter, maka banyak adegan dari film Pareh menampilkan keindahan alam Hindia Belanda. Film seperti ini rupanya tidak mempunyai daya tarik buat penonton film lokal karena dalam kesehariannya mereka sudah sering melihat gambar-gambar tersebut. Balink tidak menyerah dan kembali membuat perusahaan film ANIF (Gedung perusahaan film ANIF kini menjadi gedung PFN, terletak di kawasan Jatinegara) dengan dibantu oleh Wong bersaudara dan seorang wartawan pribumi yang bernama Saeroen. Akhirnya mereka memproduksi membuat film Terang Boelan (1934) yang berhasil menjadi film cerita lokal pertama yang mendapat sambutan yang luas dari kalangan penonton kelas bawah.

Akhirnya inilah sebuah histori, kisah poster film, dedikasi sang pelukis poster film, galeri rupa kilau dan bahkan ini forum dokumentasi yang baik dalam perfilman dan seni rupa tanah air.  BRAVO!!

*) Aendra Medita, Pemimpin Redaksi Gambaridoep.Com

Artikel Terkait