Opini

Ta`ziyah, obituary atas meninggalnya Buya Prof.Dr. Ahmad Syafii Maarif

Oleh : luska - Sabtu, 28/05/2022 15:09 WIB

Inna lillahi wa inna ilaihi raji'un

Penulis : Habib Chirzin

Kita kehilangan lagi seorang cendekiawan yang alim, bersahaja, tidak mengenal lelah bekerja untuk kepentingan orang banyak. Keteladanan Buya Syafii menjadi legacy bagi ummat dan bangsa di dalam kecendekiawanan, integritas dan semangat pengabdian, sejak masa mudanya.

Saya mengenal Buya Syafii Maarif sejak masih kuliah di IKIP Negeri Karang Malang, pada pertengahan th 1960-an. Sering naik sepeda dari Selokraman, melewati kampung Samakan, tempat tinggal Mbah Mulyodiwarno  ,orang tua Lik Murdiyo, kawan sekelas Buya Syafii ketika sekolah di Muallimin Muhammadiyah, Yogyakarta. Dan bersama tammat pada th 1953. Buya Syafii kemudian dibenum ke Lombok Timur, Lik Murdiyo dibenum ke Donggala, yg kemudian disusul oleh Ustadz Suprapto Ibnu Juraimi. 

Ketika kuliah di IKIP, Buya Syafii pernah tinggal di rumah Kyai Amir dan Mbah Haji Ahmad, Selokraman, kakeknya Lik Darwis Khudlori, yg sekarang tinggal di Paris, mengajar di Le Havre Universite. Juga mengaji di Pondok Kiyai Amir, pendiri sekolah Ma'had Islami, Kotagede, Pak De-nya Kang Achmad Charris Zubair. 

Waktu itu Bapak saya, Muhammad Chirzin, menjadi ketua pimpnan cabang Muhammadiyah, Kotagede. Bapak sering meminta tolong Pak Syafii untuk untuk menulis pidato atau khutbah Jum'at, yg waktu itu disebut dengan "cara Melayu" (Bahasa Indonesia). Karena Pak Syafii sering menulis di koran Mercu Suar, yg kemudian menjadi Masa Kini.

Ada beberapa moment kebersamaan saya dengan Pak Syafii, yang saya ingat.

 Ketika Pak Syafii akan kembali ke Chicago setelah berlibur di Indonesia, pada akhir th 1970-an, saya menemani Pak Syafii berpamitan kepada Menko Kesra. Sekembali Pak Syafii dari studi di Chicago pada th 1983, saya sering mengundangnya untuk mengajar di PKMS (Pendidikan Kader Masjid Syuhada) Yogya, yg waktu itu saya sebagai direkturnya, bersama Mas Chumaidi Syarief Romas, dg mata kajian "Tema-tema besar Al Qur'an", sesuai dg judul buku karya Prof. Dr. Fazlurrahman, gurunya di Chicago, "the Major Themes of Al Qur'an". Waktu itu Pak Syafii sering berbicara tentang Prof. Fazlurrahman sebagai juru bicara dunia Islam yang sangat bertanggung jawab, di dunia Barat.

Ketika Prof. Fazlurrahman bersama isterinya datang ke Jakarta, menghadiri "International Conference on the New Approach to Islamic Research" di LIPI, Jakarta, pada th 1987, saya diajak oleh Pak Syafii untuk menemuinya. Saya masih menyimpan foto dokumentasi kami berempat. Hadir juga pada waktu itu Prof. Dr. Mahmoud Ayyoub dari Temple University, Philadelphia; Prof. Dale Eickelman, dari University of New York, Dr. Surin Pitsuwan yg waktu itu menjadi dosen di Thammasat University, Bangkok, sebelum menjadi Menlu Thailand dan Sek Jen ASEAN, dll.

Ketika saya mengemukakan bahwa tajdid Muhammadiyah saat itu dilakukan oleh masyarakat basis dalam kelompok Jamaah dan Dakwah Jamaah, dengan berbagai inisiatif gerakan sosial di tingkat basis dengan menerapkan teologi almaun; saya kemudian diwawancarai oleh Prof. Dale Eickelman, yang pakar anthropologi. Dia meminta tulisan-2 saya, yang akan diterjemahkan oleh mahasiswanya yang berasal dari Indonesia. Dia menyebut nama Yusron Asrofie, asal Kotagede, yg sedang mengambil program MA di NYU. Saya sendiri baru berkunjung ke NYU, di New York, pada musim panas th 1990.

Pak Syafii pernah bersama Mas Kunto Wijoyo, Affan Gaffar dan saya, menjadi penasehat majalah Himmah, majalah mahasiswa  UII, yg dikelola oleh Hamid Basyaib, AE Priyono dan kawan-2. Sebenarnya kami berempat ini bukan dosen UII, tetapi dekat dengan kawan-2 UII. Saya sendiri beberapa kali membawa kawan dari LN untuk berdiskusi di kampus UII, antara lain, Dr. Randy David, direktur Third World Studies Center, the University of the Philippines, Diliman Campus; Dr. Karina David, yg kemudian menjadi Menteri Sosial pada pemerintahan Cory Aquino; Aurea Teves, dari SEARICE, Manila; Jun Atienza dari Agricultural mission Inc, New York,  tamu-2 dari Belanda dll.

Pak Syafii pernah diundang ke UII, bersama Cak Noer, Noercholish Madjid yang sama-sama alumni Chicago, dan Fachri Aly dari Jakarta, untuk diskusi. Oleh panitia saya diminta menjadi moderatornya. Mungkin karena mereka tahu bahwa saya kenal dengan ketiganya. Pada keesokan harinya diadakan dialog lagi dengan Cak Noer di Hotel Sri Manganti, Jl Solo. Saya terlambat datang dari rumah di Wijilan. Saya dengar diskusinya cukup seru. Hanya yang saya ingat, ketika akan check out, Cak Noer mengatakan kepada receptionist : "This hotel is cozy.....". Kemudian receptionistnya menjawab : "Thank you Cak Noer...". Cak Noer terkejut dengan jawaban yg menyebut namanya "Cak Noer". "Kalau begitu ini keluarga sendiri" kata Cak Noer. Suasana menjadi lebih cair dan bersahabat. Saya kemudian melepas Cak Noer dari lobby hotel, untuk kembali ke Jakarta.

 Buya Syafii juga pernah menjadi pengajar di Institut Pengembangan  Masyarakat (IPM), Pondok Pabelan, bersama Arief Budiman, Kunto Wijoyo, Dawam Rahardjo, Aldy Anwar, Affan Gafar dll. Ketika dilakukan acara peringatan Milad 70 KH Hammam Djakfar, di Pondok Pabelan, Buya Syafii hadir sebagai pembicara, bersama KH Mahrus Amin, Pimpinan Pesantren Darunnajah dan saya, sebagai anggota Yayasan Badan Wakaf Pondok Pabelan.

Ada peristiwa yang tak terlupakan ketika selama tiga hari tiga malam saya bersama Buya Syafii tinggal sekamar di sebuah hotel di atas Kuala Lumpur, menghadiri World Dialog ttg Globalisasi, Agama-agama dan Perdamain, yang digelar oleh "Just " (International Movement for the Just World) yg dipimpin oleh sahabat lama Prof. Dr. Chandra Muzaffar, yg pernah berkunjung ke rumah kami di Jkt. Hadir para tokoh perdamaian dan agama-2 seperti Richard Falk dari Princeton; Paul F Knitter dari Xavier Univ, Cincinati; Mahmoud Ayyoub, dari Tempel U Philadelphia; Justice Baghwati, hakim agung dari India; Swami Agnivesh, mantan Menteri Pendidikan India, yg pernah menginap di rumah kami di Jkt; Ajarn Sulak Sivaraksa, pendiri INEB, tokoh Gerakan Indeks Kebahagiaan Nasional  Bangkok, yg pernah berkunjung ke rumah kami dua kali; Chawiwat Sattha Anand, tokoh stud perdamaian dari Thammasat U, Bangkok; Tansri Razali, perwakilan Malaysia di PBB; Ghazali Basri, Rektor Darul Hikmah, Kajang, Malaysia; dll. Dari Indonesia hadir kami bertiga; Buya Syafi'ie Maarif, Kang Prof. Dr. Cecep Syarifuddin, putra Abah Falak Pagentongan Bogor, menantu KH Anwar Musaddad, Garut dari PB NU. Richard Falk dan Mahmoud Ayyoub adalah anggota International Advisory Panel dari "Just", International Movement for the Just World, seumur hidup (for life).

Buya Syafii bersama saya juga diundang Round Table bersama Prof. Dr. Syed Hossein Al Attas, tokoh ilmuwan Malaysia, penulis buku "The Sociology of Corruption", "the Mith  of the Lazy Native" pada th 1970-an, mantan Vice Chancellor (Rektor), Universiti Malaya, bersama Paul Knitter di lembaga pendidikan dinas luar negeri Malaysia.

Pada Milad 100 th Muallimin dan Muallimat Muhammadiyah Yogyakarta, 18 Desember 2018, saya sempat mendampingi Buya Syafii bersama Mbak Dr. Noordjannah Djohantini, Ketua PP 'Aisyiyah, yang juga alumni Muallimat. Ibu saya sendiri tammat dari Muallimat pada th 1942, ketika dipimpin oleh KHR Hadjid. Sebelum memberikan taushiyah, Buya Syafii sempat menyapa Lik Murdiyo, kawan sekelasnya di Muallimin dan bapak-bapak alumni lainnya. 

Menjelang acara puncak Milad 100 Muallimin, saya pernah diundang bersama Buya Syafii berpanel di Universitas Muhammadiyah Bengkulu, karena Rektor UMB dan Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah, Dr. Dahsan dan Dr. Saifullah, kedua-duanya alumni Muallimin.

Di akhir hayat Buya Syafii, saya bbrp kali bersama dalam pertemuan Panitia Pembangunan Kampus Terpadu Muallimin Muhammadiyah dengan BPH Muallimin dan Muallimat. Buya Syafii sangat besar jasanya dalam merenovasi gedung Muallimin di Jalan S Parman dan dalam pembangunan Kampus Terpadu Muallimin di Sedayu, Yogya barat, dengan masjidnya yang indah dan megah. Sebagai alumni Muallimin, Buya Syafii telah memberikan keteladanan sebagai kader persyarikatan, kader ummat, kader bangsa dan kade kemanusiaan.

Buya telah kembali ke haribaanNya Yang Maha Pengasih, tetapi jasa-jasa dan keteladanannya akan tetap kita kenang. Dan akan menjadi warisan bagi ummat, bangsa dan kemanusiaan yang abadi.

TAGS : habib chirzin

Artikel Terkait