Opini

Penjabat Kepala Daerah, Buah dari Logika yang Inkonsisten

Oleh : luska - Kamis, 09/06/2022 08:58 WIB

Penulis : Halilul Khairi 

Daerah adalah merujuk kepada sekelompok mesyarakat yang mendiami wilayah tertentu dan diberi hak untuk mengelola sendiri kehidupan bersama (pemerintahan), daerah bukanlah wilayah, tapi kesatuan masyarakat hukum. Dalam mengelola kehidupan bersama tadi, masyarakat membentuk lembaga yang mewakili mereka dan menujuk orang2 pada lembaga tersebut yang mewakili mereka untuk mengelola kehidupan bersama tadi. Lembega tersebut adalah lembaga perwakilan (DPRD) yg menjalankan fungsi membuat kesepakatan bersama (peraturan) yang mencerminkan kehendak masyarakat dan mengikat masyarakat setempat. Kemudian lembaga kepala daerah (gubernur, bupati/walikota) yg berfungsi menjalankan kesepakatn tadi dan memimpin pencapaian tujuan bersama. Karena kedua lembaga tersebut merupakan lembaga yg menjalankan mandat untuk mengelola kehidupan bersama masyarakat setempat, maka orang2 dalam lembaga tersebut harus dipilih oleh masyarakat setempat pula.

Kepala Daerah bukanlah kepala instansi atau kepala kantor seperti menteri atau kakanwil, pangdam atau kapolda. Kepala daerah adalah "kepala masyarakat" yang mempunyai tugas untuk mengelola mandat masyarakat. Sedangkan kepala instansi mempunyai tugas untuk melaksanakan perintah dari atasan yang menugaskannya. Oleh karena itu, kepala daerah dipilih oleh masyarakat, dan kepala instansi diangkat oleh atasannya.

Ketika kepala daerah kosong, idealnya harus kembali dipilih kepala daerah baru oleh masyarakat. Adanya kebijakan pemilihan KDH serentak mengakibatkan adanya kekosongan kepala daerah yang berakhir masa jabatannya sebelum pilkada serentak menghasilkan KDH baru. Kita sepakat bahwa prinsipnya tidak boleh ada satu haripun KDH itu kosong, tapi bagaimana cara mengisi kekosongan itu ?. Apakah kekosongan KDH masa transisi pilkada serentak ini merupkan keadaan darurat ?. Jawabannya pasti tidak, karena kekosongan itu sdh dapat diketahui sejak UU No 10/2016 disahkan 6 tahun yang lalu.

Menunjuk penjabat kepala daerah untuk mengisi kepala daerah merupakan logika yang inkonsisten dalam UU No 10/2016, karena pemerintahan daerah di Indonesia dibangun atas prinsip  otonomi (devolusi) dimana kepala daerah adalah kepala masyarakat bukan kepala instansi. Penunjukan penjabat kepala daerah menempatkan kepala daerah sebagai kepala instnasi. Sedangkan tugasnya tetap sebagai kepala masyarakat. Dia menetapkan Perda dan Perkada yang merupakan atribut kepala daerah sebagai pengelola mandat dan kehendak masyarakat. Sementara dia sendiri tidak pernah dikehendaki dan dimandatkan oleh masyarakat setempat. Disinilah inkonsistensi berpikir dan hilang penggunaan prinsip berpikir logis dalam kebijakan pengakatan penjabat KDH di Indonesia.

Mungkin lebih tepat pengangkatan kepala daerah yang kosong dengan durasi jabatan yang pendek dapat dilakukan melalui usulan dari DPRD sebagai representasi rakyat daerah. Setiap fraksi mengajukan calon, kemudian divoting di DPRD dan yang memeproleh 3 suara terbanyak diajukan ke pusat untuk dipilih salah satunya. Cara ini paling tidak masih memberikan kesempatan kepada rakyat setempat untuk memilih KDH melalaui perwakilan.

Artikel Terkait