Nasional

Jangan Tabu Akui Penyebaran Radikalisme Agama Terjadi di Rumah Ibadah

Oleh : very - Kamis, 23/06/2022 22:39 WIB

Direktur Jaringan Moderat Indonesia, Islah Bahrawi. (IG @moderat.indonesia`s)

Jakarta, INDONEWS.ID - Radikalisme dan terorisme itu tidak ada agamanya. Pasalnya tidak ada agama yang mengajarkan kekerasan, intimidasi, apalagi terorisme kepada para pemeluknya.

Namun yang terjadi ada penunggangan radikalisme, ekstremisme, dan terorisme yang mengatasnamakan agama.

Direktur Eksekutif Jaringan Moderat Indonesia Islah Bahrawi mengungkapkan, dengan terjadinya penunggangan radikalisme, ekstremisme, dan terorisme atas nama agama tentu akan terjadi penyebaran paham-paham tersebut.

“Otomatis penyebaran itu bergerak di pusat dan simpul kegiatan keagamaan masyarakat, tidak terkecuali di pesantren atau masjid,” kata Islah di Jakarta, Kamis (23/6/2022).

Ia mengatakan, bagaimanapun kegiatan keagamaan Islam epicentrumnya di masjid. Pun dengan kegiatan berbasis infiltrasi ideologis yang ingin menginjeksi dengan agama juga akan masuk masjid dan pesantren.

“Kita jangan pernah tabu mengatakan itu. Tidak hanya di Islam, ekstremisme dan radikalisme di agama Kristen, juga bergerak di gereja. Begitu juga dengan Hindu dan Budha, akan bergerak di kegiatan masyarakat di pura dan wihara,” jelas Islah.

Intinya, tegas Islah, polarisasi radikalisme dan ekstremisme itu ada di semua agama. Dan pasti mereka ingin menguasai simpul aktivitas masyarakat dari tempat ibadah.

“Kita tidak boleh berat hati atau malu mengatakan itu. Karena polanya memang seperti itu,” tukasnya.

Hari ini, lanjut Islam, di Amerika Serikat kekuatan ekstremisme dan radikalisme Kristen bergerak di sekolah Kristen dan literasi Kristen. Contohnya peledakan di Oklamhoma yang menawaskan ratusan orang dan penembakan massal di New York beberapa waktu lalu. Menurutnya, para pelaku teror itu terpapar ekstremisme di kegiatan keagamaan, termasuk literasi keagamaan mereka.

“Artinya kalau ada gerakan radikal yang menunggangi Islam bergerak di masjid yang masjid itu masuk akal. Justru tidak masuk akal kalau aksi radikal atas nama Islam bergerak dari gereja,” kata Islam.

Islah juga mengajak semua pihak mengakui, bahwa memang ada terakan teror atas nama Islam di Indonesia. Menurutnya itu harus diakui karena faktanya sudah banyak kejadian teror yang selalu membawa-bawa agama Islam.

Tetapi, ungkapnya, ekstremisme agama tidak hanya terjadi di Indonesia. “Apakah di India juga Islam, tentu saja tidak, itu ekstremisme Hindu. Juga di Myanmar, ekstremisme agama Budha dibawah pimpinan Ashin Wiratu,” tuturnya.

Artinya, Islah memastikan, bahwa pola gerakan radikal selalu menunggangi agama pemeluk mayoritas di suatu negara dan bergerak dalam jalur agamanya. Kalau ingin menunggangi Islam, pasti melewati jalur keagamaan Islam, entah itu pesantren atau masjid. Begitu juga dengan Kristen, pasti melalui gereja atau sekolah Kristen.

Islam mengaku seluruh masyarakat untuk terbuka mengakui fakta itu. Buktinya banyak ceramah di masjid mengajarka bughat, bahkan pernah terungkap sebuah masjid di Banjarmasin jadi tempat merakit bom.

Ia mengkritik kelompok-kelompok penunggang Islam yang sedikit-sedikit menuding pemerintah Islamafobia. Yang ada malah masyarakat harusnya fobia terhadap gerakan-gerakan radikal yang menunggangi Islam.

“Tidak mungkin kita takut pada agama yang kita anut sendiri. justru kita takut pada penungang islam yang hanya ingin merusak dan mencemari nilai-nilai Islam itu sendiri,” tegas Islah.

Dalam hal ini, Islah memuji upaya pemerintah dalam menanggulangi penyebaran radikalisme dan ekstremisme, terutama yang mengatasnamakan agama merangkul tokoh agama dan mensterilkan rumah ibadah dari kelompok-kelompok tersebut. Ini yang membuat kelompok-kelompok itu selalu mencari celah untuk melakukan propaganda.

“Karena kalau kita berhasil menyadarkan masayrakat, mereka tidak laku. Mereka hanya numpang atas nama agama, membangun kekuasan atas nama agama. Mereka takut masyarakat pintar dan menjadi sadar sehinga gerakan mereka ditolak masyarakat.  Itu yang takuti,” urainya.

Islah menegaskah, kelompok itu hanya penipu yang berjubah agama. Dan demi cita-cita politiknya mereka selalu membangun narasi seorang apa yang dilakukan selalu Islamofobia, radikal-radikul.

“Perjuangan tidak boleh berhenti. Intinya titik puas kita itu bukan pada bukan titik sadar masyarakat, tapi berhenti pada ketika mereka sudah betul-betul mati, gerakan mereka tidak bangkit lagi. Itu titik kinerja itu," tandas Islah. ***

 

Artikel Terkait