Nasional

Pembukaan Sekolah Demokrasi LP3ES, Pemilu 2024 dan Pertaruhan Demokrasi di Indonesia

Oleh : very - Jum'at, 24/06/2022 22:29 WIB


Sekolah Demokrasi LP3ES. (Foto: Ist)

Jakarta, INDONEWS.ID - LP3ES bekerja sama dengan Universitas Diponegoro (Undip), PPI Leiden dan KITLV kembali membuka Sekolah Demokrasi yang keempat (IV). Sekolah demokrasi ini diadakan secara hybrid yang terdiri dari luring dan daring selama tiga hari dari 23 – 25 Juni 2022 di Universitas Leiden.

Jika sebelumnya Sekolah Demokrasi ini digelar di dalam negeri, maka untuk Sekolah Demokrasi kali ini digelar di luar negeri. “Sasaran utamanya adalah kaum terpelajar di Eropa. Mereka adalah creme de la creme berisi orang-orang terpilih yang telah melalui proses seleksi yang ketat. Mereka adalah para calon pemimpin Indonesia di masa depan. Kontribusi gagasan dan pikiran jernih mereka dinantikan untuk ikut mengawal arah bangsa pasca 2024,” ujar Direktur Pusat Media dan Demokrasi LP3ES, Dr. Wijayanto melalui siaran pers yang diterima di Jakarta.

Dia mengatakan, periode 2024 – 2025 adalah masa paling kritis dalam perkembangan demokrasi di Indonesia. Di tengah kemunduran kualitas demokrasi yang sangat serius dalam beberapa tahun belakangan, proses pemilu 2024 yang telah dimulai harus terus dikawal dan dijaga agar hasil pemilu tetap mencerminkan berinteraksinya gagasan-gagasan segar mengatasi berbagai permasalah krusial bangsa. “Jadi pemilu sebaiknya tidak melulu berbicara terkait koalisi parpol, quick count dan sebagainya,” ujarnya.

Wijayanto mengatakan, masalah besar bangsa ini berada di depan mata yaitu antara lain ketimpangan ekonomi, kesenjangan lahan, oligarki yang merusak, politik uang, bagaimana mengatasi korupsi dengan pelemahan pada KPK, represi yang terjadi pada ruang-ruang kebebasan sipil untuk berpendapat, dan banyak lagi.

Karena itu, sekolah demokrasi LP3ES merupakan satu diantara berbagai upaya masyarakat sipil untuk sejak sekarang melakukan refleksi tentang nasib bangsa ke depan, terutama periode krusial 2024-2025. “Hal itu berbarengan dengan rencana LP3ES untuk melakukan kolaborasi dengan pemerintah dan lembaga lain dalam menyusun peta jalan demokrasi ke depan,” katanya.

 

Beberapa Persoalan Krusial

Sementara itu, Ketua Dewan Pengurus LP3ES Prof Dr Didik J Rachbini membeberkan beberapa persoalan ekonomi krusial yang terjadi di dalam negeri.

Pertama adalah dampak pandemi covid 19 yang masih terasa dan terus mempengaruhi perkembangan perekonomian dalam negeri.

Rektor Universitas Paramadina ini mengatakan penanganan pandemi sampai sekarang masuk dalam dana Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) sebesar Rp700 triliun. Setiap tahun, dampak covid 19 harus menelan subsidi pemerintah sebesar Rp500 triliun.

Masalah lainnya yaitu terkait APBN, utang dan subsidi pemerintah yang semakin membengkak.

“Persoalan serius pada pemerataan pendapatan dan kesenjangan ekonomi yang luarbiasa serta stabilitas sosial. Kesenjangan sampai sekarang harus disubidi dengan dana luarbiasa. Sementara melonjaknya utang akan berdampak pada presiden Indonesia berikutnya,” ujarnya.

Hal lain yang tidak kalah serius, kata Didik, adalah persoalan kesinambungan pertumbuhan ekonomi yang belum mencapai 6,5 % seperti masa lalu. Pertumbuhan ekonomi saat ini yang mencapai 5 % tertolong oleh naik tingginya harga batubara dan CPO di pasar dunia.

Dampak berikutnya adalah krisis energi dan pangan. Banyak negara kini menahan untuk tidak mengekspor pangan terutama beras ke luar negeri, dan lebih mementingkan kebutuhan domestiknya akibat pengaruh geopolitik perang Ukraina vs Rusia dan dampak pandemi covid 19. Harga pangan diperkirakan terus meninggi, demikian pula inflasi dalam negeri.

Prof Didik mengatakan, perekonomian Indonesia tidak akan bernasib sama seperti Srilanka dan Pakistan karena ekonomi domestik saat ini berada pada ranking 15 dari 200 negara di dunia, dengan PDB lumayan tinggi. “Tetapi wajah perpolitikan Indonesia akan tetap terbelah,” ujarnya. 

Masalah lain yaitu adanya kesenjangan kepemilihan lahan dalam indeks gini ketimpangan lahan telah mencapai angka tinggi 0,64. Sesuatu yang jika terjadi di Amerika Latin akan membuat revolusi sosial.

Terakhir, adanya problem serius dalam perpolitikan nasional yaitu adanya banyak bandit dalam sistem demokrasi modern. “Sistemnya memang modern, tetapi perilaku yang muncul adalah perilaku bandit,” ujarnya sembari mengutip pernyataan Mancur Olson bahwa dalam sejarah transisi kekuasaan/pemerintahan terjadi evolusi dari era anarkhi, lalu ke tirani dan akhirnya pada sistem demokrasi dan rule of law.

 

Usulan: Smart Reform

Direktur KITLV Dr Diana Suhardiman mengatakan praktek korupsi yang melembaga di Indonesia bertumpu pada berbagai jenis hubungan sosial dan proses pertukaran barang dan jasa.

Menurutnya, kepala proyek memainkan peranan yang cukup penting dalam praktek korupsi yang melembaga berkaitan dengan fungsi dan tanggung jawabnya dalam penggunaan dana proyek.

“Proses seleksi kepala proyek akan dilakukan dengan mempertimbangkan kemampuan dan kebersediaan dari future-to-be kepala proyek untuk menjadi service point untuk upeti delivery,” katanya.

Dikatakannya, sistem upeti berhasil mengalahkan wacana publik anti korupsi karena praktek korupsi yang melembaga disini bukan saja berlandaskan politik namun juga tertanam di dalam budaya dan kinerja birokrasi.

Karena itu, diperlukan adanya pendekatan kritis terhadap korupsi menuju pembentukan strategi anti korupsi yang lebih berlandaskan politik dan budaya.

Selanjutnya, menurutnya, yaitu adanya penempatan ide dan gagasan keadilan sosial sebagai landasan pembentukan strategi antikorupsi.

“Untuk itu, perdebatan pikiran dan persepsi tentang korupsi, idealnya harus disertai dengan perubahan struktural yang sesuai dalam sistem politik yang ada,” ujarnya.

 Terakhir, peneliti KITLV Ward Barenschot mengatakan bahwa tingkat korupsi yang terjadi di Indonesia sangat tinggi. Salah satu buktinya yaitu adanya “serangan fajar” pada pemilu yang sudah sangat umum terjadi dan adanya “vote buying” dalam politik pemilu.

“Vote buying di Indonesia berada pada posisi ke-3 dunia paling tinggi,” ujarnya.

Karena itu, katanya, harus ditemukan cara untuk mengurangi tingkat korupsi (money politik) di Indonesia. “Jika terus terjadi vote buying, maka hal tersebut akan berbahaya untuk perkembangan demokrasi di Indonesia,” katanya.

Menurutnya, terdapat jebakan informalitas (informality trap) pada birokrasi. Politisi, dan birokrat misalnya semuanya ingin berperilaku berbeda. Namun mereka menghadapi insentif negatif yang memaksa mereka untuk berkontribusi pada pemerintahan yang buruk.

Politisi akhirnya merusak tata pemerintahan. Kampanye pemilu yang sangat mahal memaksa politisi berbuat korup dan men-support bantuan kepada aturan-aturan kepada donor kampanye.

Sementara birokrasi menghadapi tekanan yang kuat disertai insentif untuk melemahkan implementasi kebijakan dan Undang-undang. Akibatnya pemilih memilih insentif dan berperilaku klientalistik serta meminta serangan fajar.

Karena itu, Barenschot memberi usulan perbaikan yaitu dengan melakukan “Smart Reform” yaitu menganalisis dan mengubah struktur insentif yang dihadapi politisi. “Kekuasaan Bawaslu harus diperkuat untuk mengurangi vote buying. Reformasi sistem pemilu dapat membuat kampanye pemilu lebih murah. Para ilmuwan politik harus ditugaskan membuat proposal reformasi sistem pemilu,” pungkasnya. ***

 

Artikel Lainnya