Nasional

Survei SMRC: Mayoritas Penduduk Indonesia Tidak Toleran terhadap Agama Yahudi

Oleh : very - Jum'at, 08/07/2022 14:59 WIB

Mayoritas penduduk Indonesia tidak toleran terhadap Agama Yahudi. (Foto: Ist)

 

Jakarta, INDONEWS.ID - Intoleransi publik Indonesia terjadi terhadap warga Yahudi. Hal ini terjadi terkait sikap negara yang diskriminatif terhadpa para penganut agama ini.

Hasil survei Saiful Mujani Research and Consulting (Mei 2022) menunjukkan mayoritas masyarakat Indonesia yaitu 51 persen keberatan bertetangga dengan orang Yahudi. Sebanyak 57 persen keberatan orang Yahudi menjadi guru di sekolah negeri dan keberatan orang Yahudi menjadi pejabat pemerintah sebesar 61 persen.

Demikian pernyataan ilmuwan politik, Prof. Saiful Mujani, dalam program Bedah Politik bersama Saiful Mujani episode ‘Siapa Menoleransi Yahudi?’ yang disiarkan di kanal YouTube SMRC TV pada Kamis, 7 Juli 2022.

Video utuh pemaparan Prof. Saiful Mujani bisa disimak di sini: https://youtu.be/I70n0CXOZdg

“Mayoritas masyarakat kita tidak toleran pada agama Yahudi,” ungkap pendiri SMRC itu.

Menurut Saiful, penolakan ini sebagian terkait dengan sikap diskriminatif negara pada agama Yahudi. Walaupun agama ada di wilayah yang sangat privat, tapi di Indonesia, ada undang-undang yang menyatakan bahwa agama tertentu yang diakui secara resmi. Dan agama Yahudi, kebetulan, adalah agama yang tidak diakui secara resmi. Padahal berapa pun jumlah orang Yahudi di Indonesia, tidak ada yang membantah bahwa Yahudi adalah sebuah agama.

Bahkan yang menarik, lanjut Saiful, Konfusianisme diakui sebagai agama di Indonesia padahal pada hakikatnya Konfusianisme lebih merupakan filsafat dari pada agama. Ini terjadi, menurutnya, karena di Indonesia, penghargaan pada agama sangat tinggi. Sehingga dianggap bahwa para pengikut Konfusianisme akan lebih terhormat posisinya apabila statusnya dinaikkan menjadi agama. Maka di zaman Presiden Gus Dur, Konfusianisme kemudian diakui sebagai agama.

Pengakuan pada suatu agama, menurut Saiful, juga adalah bentuk proteksi negara.

“Kalau memang itu bisa menjadikan masyarakat bisa lebih menerima keragaman, yang lainnya juga diproteksi saja. Terima saja, kan positif. Itu kalau dasarnya kita mau melindungi pluralisme,” tegas Saiful.

Guru Besar Ilmu Politik Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta ini mengingatkan istilah Judeo-Kristiani yang menunjukkan kedekatan hubungan antara Yahudi dan Kristianitas. Namun demikian, dengan pengukuran yang sama, tingkat toleransi pada kelompok Kristen jauh berbeda dengan Yahudi.

Warga yang keberatan bertetangga dengan orang Kristen hanya 13 persen, yang keberatan mereka menjadi guru di sekolah negeri sebesar 19 persen, dan yang keberatan penganut Kristen atau Katolik menjadi pejabat pemerintah sebesar 26 persen.

Walaupun masih cukup tinggi, kata Saiful, tapi angka intoleransi terhadap penganut Kristen/Katolik masih jauh lebih rendah dari intoleransi pada kelompok Yahudi.

 

Negara Diskriminatif pada Orang Yahudi

Mengapa terjadi perbedaan padahal latar belakang kedua agama ini sangat dekat?

Saiful menilai bahwa salah satu faktor pembedanya adalah perilaku negara. Negara diskriminatif pada orang Yahudi, maka diikutilah oleh warga negara.

Lebih jauh Saiful menjelaskan bahwa pada masyarakat Indonesia, Israel dan Yahudi itu hubungannya sangat erat, bahkan dianggap sama. Dua hal ini tidak bisa dipisahkan dalam pandangan masyarakat Indonesia. Dan Indonesia sampai hari ini tidak mengakui Israel sebagai negara merdeka. Sentimen politik ini juga menjadi unsur yang penting dalam pembentukan opini masyarakat tentang agama Yahudi yaitu agama itu berbeda dengan Kristen.

“Mestinya Israel dan Yahudi bisa dibedakan, tapi bagi masyarakat Indonesia tidak mudah membedakan keduanya. Walaupun ada banyak sekali orang Yahudi yang menentang Israel,” terangnya.

Indonesia tidak mengakui agama Yahudi secara resmi, di satu sisi, dan di sisi lain juga tidak mengakui negara Israel. Kontribusi negara penting untuk membentuk keyakinan dan sikap toleran atau tidak toleran terhadap agama Yahudi.

“Tingkat intoleransi yang rendah pada agama Kristen dan Katolik terkait dengan faktor negara yang menerima mereka sebagai agama resmi di Indonesia,” lanjutnya.

Saiful menjelaskan bahwa dilihat dari sisi gender, penerimaan pada orang Yahudi tidak berbeda antara laki-laki dan perempuan. Dari sisi desa dan kota juga tidak berbeda. Sementara dari segi umur, kalangan anak muda lebih intoleran pada Yahudi. “Ini agak mencemaskan,” kata Saiful.

Sementara pada aspek agama, ada 56 persen orang Islam yang keberatan bertetangga dengan orang Yahudi, sedangkan yang bukan Islam hanya 14 persen yang menyatakan keberatan. Orang Islam yang keberatan jika seorang Yahudi menjadi guru di sekolah negeri sebesar 61 persen dan menjadi pejabat pemerintah sebanyak 66 persen. Sedangkan kalangan non-Islam yang keberatan orang Yahudi menjadi guru di sekolah negeri sebesar 27 persen dan pejabat publik 29 persen.

“Unsur agama sangat penting yang membuat masyarakat kurang toleran pada orang Yahudi,” tegas Saiful. ***

Artikel Terkait