Nasional

Warga Perdesaan Kurang Toleran Dibanding Warga Perkotaan

Oleh : very - Jum'at, 08/07/2022 15:40 WIB

Saiful Mujani, Guru besar ilmu politik Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta. (Foto: Beritasatu.com)

 

Jakarta, INDONEWS.ID - Warga yang tinggal di perdesaan lebih kurang toleran pada orang Kristen dan Katolik dibanding warga yang tinggal di perkotaan. Ada 20 persen warga yang tinggal di perdesaan keberatan bertetangga dengan orang Kristen atau Katolik, sementara yang tinggal di perkotaan hanya 8 persen.

Demikian hasil Survei Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) pada Mei 2022 yang diungkapkan dalam program Bedah Politik bersama Saiful Mujani episode ‘Siapa Menoleransi Yahudi?’ yang disiarkan di kanal YouTube SMRC TV pada Kamis, 7 Juli 2022.

Sedangkan yang keberatan orang Kristen/Katolik menjadi guru sekolah negeri di perdesaan mencapai 25 persen, dan di perkotaan sebesar 13 persen. Dan yang keberatan orang Kristen/Katolik menjadi pejabat pemerintah di perdesaan mencapai 32 persen, sedangkan di perkotaan sebesar 19 persen.

Saiful menyimpulkan bahwa warga perdesaan lebih punya prasangka negatif. “Di kota mungkin orang sudah biasa hidup dengan tetangga yang beragama berbeda,” ujarnya.

Sementara dari sisi agama, antara yang beragama Islam dan selain Islam memiliki sikap yang berbeda. Ada sebanyak 16 persen warga Muslim yang keberatan bertetangga dengan orang Kristen atau Katolik, sementara yang beragama Budha, Hindu dan Konghucu hanya 7 persen.

Orang Islam yang keberatan warga Kristen dan Katolik menjadi guru di sekolah negeri sebanyak 21 persen, sementara kalangan Budha, Hindu dan Konghucu 0 persen yang keberatan. Ada 29 persen warga Muslim keberatan jika orang Kristen dan Katolik menjadi pejabat pemerintah, sementara keberatan dari kalangan Budha, Hindu dan Konghucu hanya 3 persen.

“Ada faktor perbedaan agama yang mempengaruhi toleransi terhadap orang Kristen atau Katolik,” kata Saiful.

Dilihat dari segi etnik, ada 42 persen orang Minang yang tidak terima bertetangga dengan orang Kristen dan Katolik. Untuk orang Kristen atau Katolik menjadi guru di sekolah negeri, ada 34 persen warga Minang yang keberatan. Sementara keberatan untuk menjadi pejabat pemerintah juga 34 persen.

Dari sisi pendidikan, warga yang memiliki pendidikan lebih rendah cenderung lebih intoleran pada orang Kristen dan Katolik. Ada 20 persen warga yang berpendidikan SD keberatan bertetangga dengan orang Kristen atau Katolik, sementara yang berpendidikan tinggi 9 persen. Yang keberatan orang Kristen atau Katolik menjadi guru di sekolah negeri dari kalangan pendidikan SD sebesar 25 persen, sementara yang berpendidikan tinggi 12 persen. Dan yang keberatan warga Kristen atau Katolik menjadi pejabat publik dari kelompok pendidikan SD sebanyak 30 persen, sementara yang dari perguruan tinggi sebesar 20 persen.

Untuk kasus Kristen dan Katolik, pendidikan memiliki efek pada sikap toleransi. Menurut Saiful, ini terkait dengan sikap negara yang memang menerima Kristen dan Katolik sebagai agama resmi yang artinya mendapatkan perlindungan.  

Dia mengatakan, ada dua hal yang berpengaruh pada sikap intoleransi warga. Pertama adalah paham keagamaan. Kedua adalah sikap resmi negara yang diskriminatif terhadap agama Yahudi.

Agama kurang inklusif dalam memperlakukan keberagaman pada paham-paham keagamaan dan agama-agama yang benar-benar ada di dunia. “Adalah tantangan bagi kita untuk menciptakan masyarakat yang lebih toleran dan menghargai pluralisme,” katanya.

Menurut Saiful, hal yang bisa dilakukan adalah mengubah kebijakan negara terkait agama Yahudi. “Akui mereka sebagai agama resmi seperti agama-agama yang lain. Ini bisa menumbuhkan sikap yang lebih positif dari masyarakat,” ujarnya.

Survei ini dilakukan secara tatap muka pada 10-17 Mei 2022. Populasi survei ini adalah seluruh warga negara Indonesia yang punya hak pilih dalam pemilihan umum, yakni mereka yang sudah Berusia 17 tahun atau lebih, atau sudah menikah ketika survei dilakukan. Dari populasi itu dipilih secara random (stratified multistage random sampling) 1220 responden. 

Response rate (responden yang dapat diwawancarai secara valid) sebesar 1060 atau 87%. Sebanyak 1060 responden ini yang dianalisis. Margin of error survei dengan ukuran sampel tersebut diperkirakan sebesar ± 3,07% pada tingkat kepercayaan 95% (asumsi simple random sampling). ***

Artikel Terkait