Opini

Representasi Dewan Perwakilan Daerah

Oleh : luska - Senin, 01/08/2022 16:59 WIB

Oleh :  Muhadam Labolo

Penolakan MK atas gugatan sejumlah anggota DPD soal angka _presidential treshold_ menarik dipelajari. Alasannya simpel, DPD tak punya _legal standing_ dalam perkara dimaksud. DPD dinilai tak dirugikan secara langsung terkait wewenang, tugas dan fungsinya. Tampaknya kita perlu mengevaluasi kembali eksistensi dan _positioning_ Dewan Perwakilan Daerah (DPD-RI) pasca amandemen konstitusi terakhir, 2002.

Pasal 2 ayat (1) UUD 1945 pasca amandemen terakhir menyebutkan, _MPR terdiri dari atas anggota DPR dan anggota DPD yang dipilih melalui pemilu._ Ayat ini menunjukkan bahwa majelis yang dulu ditinggikan itu hanyalah kumpulan orang-orang dari dua institusi, DPR dan DPD. Ayat itu tak serta-merta menegaskan posisi DPD termasuk sistem parlemen yang dianut, bikameral atau trikameral.

Untuk melihat eksistensi DPD sebagai salah satu lembaga negara yang tumbuh sejak reformasi, ada baiknya kita meminjam teori Lawrence M Friedman (1986) terkait _structure of law, substance of law_ dan _legal-cultur._ Struktur, berkaitan dengan legalitas organ DPD dibanding MPR dan DPR. Substansi, berhubungan dengan tugas dan fungsi yang diemban. Kultur, sejauhmana representasi dan akseptabilitas publik terhadap DPD.

Bila dibandingkan struktur organ DPD dengan DPR tampak jomplang. Eksistensi DPD tak sama sebagaimana praktek di Amerika dan Inggris. Di kedua negara tersebut, kongres (MPR) terdiri dari senat yang mewakili negara bagian dan majelis rendah _(house of representative)_ yang mewakili rakyat pada umumnya _(article 1, section 1)._ Bila disepadankan, senat diasumsikan DPD, majelis rendah DPR. Keduanya dipilih lewat parlemen tingkat lokal.

Sekalipun jumlah anggota senat minoritas, namun undang-undang memberi kewenangan strategis dalam hal _impeachment,_ pertahanan, dan otoritas bank sentral. Disitu eksistensi senat yang jumlahnya hanya 100 orang dibanding majelis rendah yang berjumlah 435 orang memiliki posisi tawar seimbang. Kongres sendiri adalah gabungan kedua institusi tersebut _(bicameral system),_ dan bukan sekedar kumpulan orang-orang.

Terkait substansi, senat (DPD) memiliki wewenang, tugas dan fungsi yang sepadan bahkan lebih dibanding majelis rendah (DPR). Dengan kewenangan yang cukup, majelis rendah tak berkutik dalam pengajuan rancangan undang-undang jika ditolak mentah-mentah oleh senat (DPD). Equalitas tersebut menjadikan DPD dihargai sama dan sebangun dengan DPR, bahkan MPR (kongres). Disini dengan sendirinya tercipta _chek and balance system._

Dari aspek kultural, senat (DPD) merupakan representasi kemajemukan vertikal dan horisontal. Mereka di pilih di tingkat lokal guna mengartikulasikan kepentingan daerah yang tak tersentuh oleh perwakilan rakyat (partai politik). Jadi, DPD secara faktual bukan saja mewakili ruang, juga minoritas kultural dalam masyarakat.

Bagaimana eksistensi DPD di Indonesia? Secara struktural posisi DPD sekalipun bagian dari MPR namun bukanlah lembaga bikameral atau trikameral dimaksud. Pasal 2 ayat (1) jelas menyatakan bahwa MPR terdiri dari kumpulan orang-orang DPR dan DPD, bukan lembaga negara sebagaimana kongres di Amerika yang secara tegas menyatakan terdiri dari senat (DPD) dan majelis rendah (DPR). Dalam konteks ini pun MPR hanya wadah dan _joint session_ (Kaelan, 2022).

Dari aspek substansi, DPD tak memiliki kewenangan, tugas dan fungsi yang seimbang dengan DPR. Kecuali ikut membahas isu otonomi daerah, pemekaran wilayah dan soal-soal perbatasan, DPD tak memiliki kekuatan imperatif yang efektif mengontrol tirani DPR. Dalam konteks inilah kita dapat memaklumi mengapa DPR dewasa ini sangat mendominasi dibanding DPD _(legislative heavy)._

DPD secara kultural merupakan reinkarnasi dari utusan golongan yang hidup sesuai konstitusi lama. Mereka diangkat dan merepresentasikan kelompok minoritas dalam masyarakat (ormas, ABRI, toga, tomas, toda). Sebagaimana di Amerika, Inggris dan Perancis, mereka diangkat mewakili kelompok bangsawan dan minoritas tertentu. Maknanya, DPD adalah representasi _socio-cultural_ sekaligus _heritage_ bangsa yang patut diakomodir.

Masalahnya, mekanisme pemilihan DPD dipaksa oleh amandemen konstitusi untuk dipilih secara langsung (Pasal 22C). Dampaknya, yang terpilih tak mewakili kelompok minoritas dalam masyarakat, tapi dikuasai mantan anggota partai politik, kepala daerah & _local strongman_ yang ingin memperpanjang durasi kekuasaan. Disini perlunya perubahan mekanisme sebagaimana sejumlah anggota Majelis Rakyat Papua (MRP) yang berasal dan diangkat mewakili minoritas kultural (UU 21/2001, Otsus Papua).

Mekanisme pemilihan anggota DPD yang dilakukan sama dengan DPR menunjukkan kealpaan amandemen (Pasal 22C). Pemilihan DPD secara langsung (liberalisasi), selain mendistorsi sejarah dan pakem yang digunakan selama ini, juga mengkerdilkan DPD dibanding DPR. Lebih lagi wewenang dan fungsinya tak sebanding _(powerless)._ Jadi, tak ada cara lain kecuali mengembalikan eksistensi DPD sesuai konstitusi lama, agar tetap konsisten dan memiliki koherensi dari pembukaan, batang tubuh, hingga penjelasan konstitusi.

Menyadari realitas itu, menjadi paham bahwa DPD tak memiliki _legal standing_ terkait hal ikhwal pencalonan presiden, apalagi berniat melakukan _impeachment_ sebagaimana wewenang majelis tinggi (senat/DPD) di negara-negara yang konsisten mempraktekkan _bicameral system._ Akseptabilitas DPD dipandang tak signifikan mewakili. Tampaknya kita bukan sedang menerapkan sistem bikameral. Bukan pula sistem trikameral. Mungkin ini pula yang di sebut Arbi Sanit, sistem yang bukan-bukan.

Artikel Terkait