Opini

Pro-oligarki atau Pro-Rakyat

Oleh : luska - Selasa, 09/08/2022 11:26 WIB

Jejak-Jejak Basuki (3)

Penulis :  Anifpunto Utomo

Jumpa pers yang digelar Kementerian PUPR pada 4 Desember 2018 itu lain dari pada biasanya. Menteri PUPR Basuki Hadimulyono yang biasanya setiap jumpa pers selalu menyisipkan joke-joke segar, kali itu tidak. Bahkan suaranya sempat sedikit tercekat.  

‘’Saya atas nama pimpinan Kementerian PUPR, Kementerian BUMN, dan PT Istaka Karya menyampaikan duka cita yang mendalam,’’ ucap Basuki. Duka cita disampaikan atas wafatnya 31 karyawan Istaka Karya yang ditembak mati saat membangun jembatan di Distrik Yigi, Kabupaten Nduga, Papua pada 2 Desember 2018. Mereka dibunuh secara sadis oleh kelompok yang menginginkan Papua merdeka.

Basuki merasa terpukul. Ketika pemerintah bertekad membangun dari pinggiran dan menjadikan Papua sebagai prioritas justru disambut dengan tembakan peluru dari kelompok pembunuh tersebut. Namun peristiwa itu tak menyurutkan langkah. Apalagi atasannya terus membesarkan hati. ‘’Peristiwa ini membuat tekad makin membara untuk melanjutkan tugas besar kita membangun tanah Papua,’’ kata Jokowi yang terus menyemangati Basuki.

Papua sebelumnya banyak disebut sebagai anak tiri. Pembangunan hanya ala kadarnya. Hubungan antarkota terutama yang di pegunungan tidak bisa diakses lewat darat. Distribusi barang mengandalkan transportasi udara sehingga harganya menjadi sangat tinggi. Ironis, pendapatan per kapita rendah, tetapi biaya hidup tinggi. 

Trans Papua sudah lama dirancang, tetapi meskipun telah melewati lima presiden tetap belum tuntas. Basuki mendapat tugas untuk menuntaskannya, ditambah jalan perbatasan Papua-Papua Nugini.  

Trans Papua melintas provinsi Papua dan provinsi Papua Barat, menyambungkan tiga kota utama yakni Merauke di ujung selatan (bawah), Jayapura di ujung utara (atas) dan Sorong di ujung barat (kiri). Jalurnya Merauke, Tanah Merah, Oksibil, Kenyam, Wamena, dari Wamena satu ke arah Jayapura satunya ke Mulia kemudian berlanjut ke Enarotali, di sini terbagi dua satu ke Timika satunya ke Nabire, terus ke Bintuni, Manokwari dan berakhir di Sorong. 

Total panjang trans Papua sekitar 4.331 km (3.260 km di Papua Barat dan 1.071 di Papua), Sampai pada 2014, dari panjang jalan yang sudah dibangun 3.314 km (2.395 km di Papua dan 920 km di Papua Barat), dengan catatan yang 1.678 km masih jalan tanah. Jadi trans Papua yang belum tembus dan harus diselesaikan Basuki adalah 1.016 km (865 km di Papua dan 151 km di Papua Barat), plus pengaspalan 1.678 km.

Menyelesaikan sisa 1.016 km tidak mudah karena medan yang sungguh berat. Banyak pegunungan terjal dengan batuan keras, sehingga terkadang harus meliuk di lereng atau terpaksa meliuk-liuk puncak pegunungan dengan jurang di kiri-kanan. Sesekali perlu memotong perbukitan. Menembus hutan lebat. Belum lagi melintasi wilayah konflik.  Untuk   keamanan dan kelancaran Basuki melibatkan TNI-AD ketika membuka jalan di lokasi rawan. 

Untuk jalan perbatasan Indonesia-Papua Nugini total target panjang 1.105 km. Jalur tersebut memanjang dari Merauke sampai ke JayapuraSeparuh lebih beririsan dengan jalan trans Papua, yakni dari Merauke sampai Oksibil sepanjang 670 km. Selebihnya dari Oksibil ke Yetti dibangun baru sepanjang 302 km. Berikutnya dari Yetti ke Jayapura sudah ada jalan eksisting sepanjang 133 km. Medan yang ditempuh sama sulitnya dengan trans Papua, namun juga sama-sama menyuguhkan pemandangan yang sangat indah. 

Ada yang keberatan dengan pembangunan jalan trans Papua dengan alasan menyebabkan puluhan ribu hektar tutupan hutan hilang. Keberatan diterima, tapi itu konsekuensi yang sulit dihindari. Pilihannya kehilangan puluhan ribu hektar (dari jutaan hektar yang ada) demi memberikan keadilan bagi masyarakat Papua, itu harus diambil. 

Biarlah rakyat Papua menikmati harga barang yang relatif sama dengan wilayah lain. Dengan akses jalan yang baik, tak ada lagi keterisoliran sehingga pergerakan ekonomi lancar, pendidikan dan kesehatan lebih merata. Jika ditemukan kasus kelaparan di pegunungan bisa segera diatasi. Betul infrastuktur tidak menyelesaikan segalanya, namun setidaknya menjadi bekal mengikis diskriminasi dan marginalisasi yang menjadi akar permasalahan Papua.   

Pembangunan trans Papua pernah membuat deg-degan Basuki. Bukan karena target tidak tercapai atau karena dihadang para kriminal bersenjata, tetapi lantaran Jokowi ingin mengecek progres naik sepeda motor. 

Ceritanya bermula ketika Basuki dan Jokowi di mobil yang sama meninjau waduk Jati Gede di Bandung. Di tengah perbicangan tentang bendungan, Basuki menyampaikan rencana ke Papua. 

‘’Pak nanti saya mau ngecek pembangunan trans Papua di Wamena naik motor,’’ kata Basuki.

‘’Oya..kalo begitu saya ikut,’’ kata Jokowi. 

Sudah begitu saja percakapannya. Basuki mengira Jokowi basa-basi. 

Beberapa hari kemudian ketika bertemu Iriani Jokowi, disampaikan bahwa Jokowi sudah siap naik motor di Papua. Pangdam yang akan mengatur pengamanannya. Basuki sedikit kaget, ternyata presiden serius. Mau mencegah tak ada guna. Basuki sudah paham karakter Jokowi yang jika sudah punya keinginan kuat sulit dihentikan, ditambah nyalinya dobel pula. 

Meskipun sudah ada pengamanan ekstra, namun tetap saja muncul kekhawatiran Basuki karena melintas wilayah rawan (terbukti delapan bulan setelah Jokowi bermotor terjadi pembunuhan terhadap karyawan Istakarya). Bukan khawatir terhadap dirinya sendiri melainkan pada keselamatan presiden, orang nomor satu di negeri ini. 

Akhirnya hari itu 10 Mei 2017, Jokowi benar-benar melintas trans Papua dengan motor trail 150cc, nomor polisi RI-1. Jokowi memakai jaket hijau, di lengan kanan tertempel bendera merah putih dan di kiri emblem Zeni TNI-AD. Selain helm yang dipasang kamera, Jokowi juga memakai kaos tangan, maklum jalur 7 km yang dilalui itu berketinggian 3.200-3.400m DPL sehingga hawanya cukup dingin. 

Terlihat 13 motor beriringan, Jokowi paling depan dan Basuki dalam satu momen berada di  di sebelah kanannya. ‘’Dengan naik motor kita bisa merasakan langsung sulitnya membangun trans Papua,’’ kata Jokowi usai bermotor ria. Basuki pun merasa lega.

Bagi Basuki, membangun Papua seperti membangun rumahnya sendiri yang lama tak ditinggali. Ya, ia memilki kenangan indah di Papua karena usia remajanya dilewatkan di Papua, yakni ketika masa SMP dan sebagian SMA. ‘’Saya merasa dekat dengan Papua, dan saya juga mengenal dekat anak-anak Papua karena saya memang tinggal lama di sana,’’ kata Basuki.

Selain di Papua, jalan perbatasan juga dibangun di Kalimantan yang panjangnya hampir dua kali lipat jalan perbatasan Papua, yakni 1.832 km. Jalan tersebut melintasi tiga provinsi mulai dari Kalimantan Barat (Kalbar), Kalimantan Timur (Kaltim), sampai Kalimantan Utara (Kaltara). 

Di Kalbar jalan perbatasan 811 kilometer sudah tembus seluruhnya pada akhir 2021 dengan kondisi jalan tanah 277 km, agregat 172 km, dan aspal 363 km. Di Kaltim jalan perbatasan 406 km juga telah tembus dengan kondisi jalan tanah 155 km, agregat 165 km, dan aspal 86 km. Di Kaltara jalan perbatasan 614 km kondisinya jalan tanah 452 km, agregat 118 km dan aspal 9 km, sisanya 36 km belum tembus. 

Sebetulnya Basuki juga membangun jalan perbatasan dengan Timor Leste sejauh 179 km, tetapi tampaknya jauh dari hingar bingar pemberitaan. Pembangunan jalan perbatasan di Papua dan Kalimantan lebih seksi untuk diekspose karena selain panjangnya ribuan kilometer juga persepsi bahwa pemerintah sejak dulu hanya mengeksploitasi sumber daya alam di kedua pula tersebut. 

Membangun jalan perbatasan pada hakekatnya adalah melaksanakan keinginan membangun Indonesia dari pinggiran yang terkonsep dalam 3T (tertinggal, terluar, dan terdepan). Konsep ini mengedepankan pemerataan pembangunan yang berkeadilan. Tertinggal adalah wilayah yang secara ekonomi dan sosial tertinggal dibanding wilayah lain, terluar berarti wilayah yang jauh dari pusat kekuasaan, dan terdepan adalah wilayah depan yang berbatasan langsung dengan negara lain. 

Bersamaan dengan itu, Basuki juga membangun kembali 11 Pos Pemeriksaan Lintas Batas (PPLB) yang kondisinya menyedihkan. Filosofinya PLBN adalah beranda Indonesia, sehingga harus terlihat bermartabat. PLBN dibangun dengan konsep yang terintegrasi, memiliki fasilitas yang lengkap, bangunan komersial, fasilitas umum, tempat ibadah, pasar, jalan pedestrian, area parkir, dan infrastruktur lainnya. Nantinya PLBN akan menjadi pusat pertumbuhan ekonomi yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat perbatasan.

Pembangunan jalan di perbatasan di Papua, Kalimantan, dan NTT menjadi bagian dari pembangunan jalan nasional yang telah diselesaikan Basuki sepanjang 4.600 km (termasuk jalur Pansela Jawa yang banyak diperbincangan di kala mudik lebaran). Di akhir periode jabatannya total panjang jalan yang dibangun diperkirakan 5.650 km.

Selama ini muncul tuduhan bahwa Basuki pro-oligarki karena dinilai hanya mementingkan pembangunan jalan tol. Basuki tidak pernah merespon. Namun jika melihat data, sampai saat ini jalan tol yang dibangun (2.000 km) tak sampai separuh dari pembangunan jalan ‘gratis’ untuk rakyat yang 4.600 km. Jadi: pro-oligarki atau pro-rakyat?

 

Artikel Terkait