Nasional

Pedas! Formappi Kritik Kerja DPR: Hanya Formalitas

Oleh : Rikard Djegadut - Minggu, 14/08/2022 09:46 WIB

Peneliti Formappi, Lucius Karus (Foto: Ist)

Jakarta, INDONEWS.ID - Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) melayankan kritikan pedas terhadap kinerja Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI, terutama atas kepemimpinan Puan Maharani.

Dalam laporan yang dirilis pada Sabtu (13/8/22) berjudul "Serba Ngebut, Kerja DPR hanya Formalitas", Peneliti Formappi, Lucius Karus menilai di di tengah sorotan terkait kinerja DPR yang tidak bagus, Ketua DPR RI Puan Maharani masih mampu meluangkan waktu untuk menjadi juri pada ajang pemilihan Puteri Indonesia 2022 dan menonton Formula E.

"Fakta ini menunjukkan bahwa Ketua DPR tidak fokus dalam memperbaiki kinerja DPR yang terseok-seok. Performa DPR seharusnya menjadi perhatian utama Pimpinan DPR dari pada urusan lainnya," tegas Lucius dikutip dari keterangan tertulis yang diterima media ini, Sabtu (13/8/22).

Kedua, lanjut Lucius, pimpinan dan anggota DPR masih saja terlalu sering melontarkan kritik, masukan, dan komentar terhadap kinerja Pemerintah melalui media massa, baik cetak maupun elektronik.

Menurutnya, hal ini sesungguhnya tidak sepenuhnya salah. Akan tetapi ketika anggota DPR hanya sibuk berbicara di media saja, maka yang akan terlihat hanya semangat narcistik mereka. Sikap seperti itu sama sekali tidak efektif dan cenderung mubasir.

"Oleh karena itu, sebaiknya sikap-sikap tertentu sebagaimana yang disampaikan kepada media seharusnya dituangkan juga dalam rapat-rapat DPR yang menyertakan Pemerintah sehingga bisa membuahkan keputusan yang mengikat kedua belah pihak sebagaimana ketentuan Pasal 98 ayat (6) dan Pasal 231 ayat (3) UU Nomor 17 tahun 2014 tentang MD3," pungkas Lucius.

Ketiga, dalam penanganan kasus-kasus tindak asusila yang dilakukan oleh anggota DPR, MKD perlu lebih proaktif untuk memprosesnya. Sebab sikap proaktif dalam penanganan kasus asusila merupakan bentuk kepedulian MKD terhadap korban.

Dalam kasus dugaan pelecehan yang diduga dilakukan salah seorang anggota DPR, MKD nampak ingin menghentikan proses penyelidikan hanya karena korban tak menghadiri pemanggilan untuk pemeriksaan. Menurutnya, keinginan MKD itu cenderung mengekspresikan ketakpedulian mereka pada korban.

"Maka dari itu, tata beracara MKD semestinya disempurnakan untuk mengakomodasi prosedur baru yang memungkinkan MKD bisa berinisiatif dan proaktif dalam memulai atau melanjutkan proses penyelidikan etik terhadap anggota yang diduga melanggar kesusilaan maupun kasus pelanggaran etik lainnya," kata Lucius.

Keempat, lanjut Lucius, kinerja Komisi DPR selama MS V ini sedikit meningkat, baik secara kuantitas maupun dalam hal transparansi bila dibandingkan dengan MS IV. Walau demikian masih ada catatan mengenai ketertutupan yang sayangnya justru diperlihatkan oleh Komisi VIII yang sebagian (9 dari 16 rapat) rapatnya dilakukan secara tertutup.

Fakta ini seolah-olah mengonfirmasi dua kasus korupsi yang menjerat dua Menteri yang menjadi mitra Komisi VIII yakni Menteri Agama pada periode 2009-2014 dan Menteri Sosial yang belum lama ini menghadapi kasus korupsi terkait dana bansos.

"Pun sama halnya dengan Komisi, membaiknya kinerja Badan-Badan itu tidak disertai keterbukaan. Hal itu misalnya terlihat pada rapat BAKN yang sekali menyelenggarakan rapat secara tertutup," jelas Lucius.

Kelima, proses pengambilan keputusan di Rapat Paripurna cenderung menjadi sekedar formalitas. Bahkan prosedur standard sebelum pengambilan keputusan yang biasanya didahului dengan penyampaikan pendapat fraksi-fraksi tidak dilakukan pada saat Rapat Paripurna Penutupan MS V. Dimana DPR akan memutuskan perpanjangan proses pembahasan RUU dan memutuskan RUU sebagai
RUU inisiatif DPR.

Keenam, sejak awal FORMAPPI mengkritik penambahan Fungsi Diplomasi Parlemen sebagai fungsi keempat DPR setelah legislasi, anggaran, dan pengawasan. Pihaknya menilai, urusan diplomasi merupakan urusan pemerintah dan peran DPR tetap sebagai Pengawas.

Sayangnya, di MS V dan MS-MS sebelumnya diperiode ini, kesibukkan DPR menjalankan fungsi Diplomasi seolah-olah mengalahkan tugas dan fungsi pokok mereka di bidang legislasi, anggaran, dan pengawasan.

Pelaksanaan peran diplomasi yang selama ini dilakukan DPR tak jelas, pun demikian dengan hasilnya. Yang justru diekspresikan dari aktifitas diplomasi ala DPR itu adalah sikap narsis lain dari DPR.

"Karena itu, FORMAPPI mendesak agar DPR kembali fokus dengan fungsi pokok mereka yakni legislasi, anggaran, dan pengawasan. Jangan sampai peran diplomasi hanya sebagai pelarian karena ketidakmampuan melaksanakan ketiga fungsi itu," tutupnya.

Artikel Terkait