Opini

Prof Azyumardi Azra, Jejak Prasasti Anak Bumi Segala Bangsa

Oleh : luska - Rabu, 21/09/2022 16:50 WIB

Oleh : Wina Armada Sukardi,* _wartawan senior_

 RUMAH di ujung Jalan Cireundeu, Puri Laras II, Ciputat, Tangerang Selatan itu, amat sering saya lewati. Sebagai penggemar lari, hari sabtu atau hari minggu tertentu, saya berlari di Situ Gintung, sebuah danau buatan seluas 21,4  ha yang terletak di Kecamatan Ciputat Timur, Kota Tangerang Selatan, Provinsi Banten. Jarak satu putaran di danau tersebut sekitar 4 Km. Nah, ketika lari di sana , pulang dan pergi saya bolak balik melewati bagian luar rumah itu, karena letaknya tak jauh dari sana. Itulah rumah almarhum Prof. Azyumardi Azra, ketua Dewan Pers 2022-2025 dan Guru besar serta Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada 1998 - 2006, yang wafat 18 September lalu di Malaysia.

Berbeda dengan hari-hari minggu sebelumnya, pada hari minggu sampai senin lalu, 18-19 Setember, di rumah itu dipenuhi jajaran bunga duka cita. Tidak tanggung-tanggung, dihitung  dari rumah itu, deretan bunga mencapai tidak kurang dari satu kilometer. Bunga didirikan memanjang keluar kompleks perumahan sampai ke tepi jalan.

Kiriman bunga datang dari mulai Presiden, Wakil Presiden, para menteri, pimpinan pers, wartawan sampai rakyat biasa. Ini menunjukkan pergaulan
dan pengaruh Azyumardi yang begitu luas. Selain itu bunga-bunga itu menunjukan pula penghargaan dan penghormatan orang terhadap kewibawaan sosok Azyumardi.

Kedatangan jenazah almarhum di rumah duka itu,  Senin, 19/9, sekitar pukul 23.30 disambut bagaikan jenazah seorang pahlawan yang pulang perang. Para pejabat tinggi dan rakyat berbaur menyambut kedatangan jenazah almarhun dalam peti yang diselimuti bendera merah putih diiringi shalawat.

Besoknya selasa, 20/9,  Azyumardi dimakamkan dengan kebesaran upacara militer di Taman Makam Pahlawan Kalibata dengan Inspektur Upacara Menko PMK, Muhadjir Effendy. 

Rupanya Azyumardi dihormati bukan hanya ketika dia masih hidup, melainkan juga ketika saat-saat terakhir bakal dikuburkan. Itu pertanda beliau memang orang luar biasa.

*Berita Menggetarkan*      

Sebelumnya , ada dua berita yang bagi saya menggetarkan. Pertama berita Jumat, 16/9, mewartakan Prof. Azyumardi Azra menderita sesak nafas di atas pesawat manakala menuju Kuala Lumpur dan harus diberi alat bantu nafas. Semula diduga almarhum juga terjangkit covid-19, namun pemeriksaan terakhir di rumah sakit di Malaysia menunjukan hasil negatif.

Dikabarkan juga anak keempat dari enam bersaudara kelahiran Lubuk Alung Padang Pariaman, Sumatra Barat, itu sampai di Malaysia bukan sekedar harus dilarikan ke rumah sakit,  tapi juga sampai “ditidurkan.” Saat itu hati saya sudah gelisah. Hanya sedikit pasien yang “ditidurkan” dapat _survive _ bertahan lebih panjang umur.  Meski begitu,  saya berharap dan berdoa semoga Pak Eddy, begitu dia biasa dipanggil orang atau kenalan lingkaran dekatnya, dapat melalui “pertarungan” itu dengan baik dan dapat sehat kembali.

Sebuah harapan yang sia-sia. Hanya dua hari kemudian, minggu,18/9, siang , saya menerima kembali berita yang sudah saya khawatirkan: Pak Eddy telah menghembuskan nafas terakhirnya rumah sakit  Serdang , Malaysia. Menurut keterangan dari rumah sakit di Malaysia tersebut , yang dikutip para pejabat dan handai tolan disana,  Pak Eddy wafat karena serangan jantung. _Inailahiwainailahirojiun._ Dari Sang Pencipta kembali kepada Sang Pencipta.

*Kawan Lama*

Pak Eddy merupakan kawan lama saya. Dia senior saya di pers mahasiswa. Umur kami selisih empat tahun. Lelaki beranak empat ini kelahiran 4 Maret 1955. Pada masa itu kami sama-sama mengikuti berbagai pelatihan pers mahasiswa. Oleh lantaran itu tak aneh penggagas dan pengelola  jurnal Ilmiah _Studia Islamika,_ sejak awal sudah sangat menguasai teori-teori jurnalistik termasuk kaedah-kaedah bagaimana praktek menulis features dan opini. Makanya sampai menjelang akhir hayatnya almarhum piawai membuat kolom opini. Isinya Singkat. Padat. Namun mengalir lancar dan enak dibaca. Beliau antara lain penulis tetap di Kompas.  Sebelumnya juga pernah menjadi penulis kolom tetap di harian Republika.

Itulah sebabnya kendati mantan wartawan majalah _Pandji Masyarakat_ ini  menjadi anggota dan Ketua Dewan Pers dari unsur masyarakat, hakekatnya jiwa lulusan sarjana di Fakultas Tarbiyah IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 1982 ini, adalah jiwa wartawan.

Pada awal-awal terpilih sebagai ketua Dewan Pers, beliau sering berkata kepada para wartawan, ”Saya ini juga dari kalangan wartawan. Saya kawannya Wina Armada dan Wikrama dari dulu zaman pers mahasiswa atau pers kampus.” Saya mengetahui pengakuan peraih beasiswa Fullbright  saat mengambil Master of Art (MA) tersebut justru dari kawan - kawan wartawan yang bercerita kepada saya. 

Bagi saya, hal ini bukan untuk membangga-banggakan diri, melainkan ingin menunjukkan kerendahan hati dan kesetia kawanan almarhum. Dia tidak segan-segan mengungkapkan dengan siapa dia bergaul dan tak pernah melupakan kawan-kawan lama.

*Pertemuan Terakhir*

Saya bertemu terakhir dengan almarhum setelah acara syukuran atas “kemenangan” Dewan Pers di Mahkamah Konstitusi (MK). Sebenarnya permohonan judicial review (JR) bukan ditujukan kepada Dewan Pers, melainkan kepada pemerintah dan DPR sebagai pihak yang membuat UU Pers No 40 Tahun 1999. Dewan Pers hanyalah Pihak Terkait. Itupun setelah bersama konstituen Dewan Pers mengajukan diri ke MK.

Dalam keputusannya, MK dengan suara bulat dan mutlak menegaskan pasal-pasal tentang Dewan Pers dalam UU Pers No 40 Tahun 1999, khususnya  pasal 15 ayat (2) huruf “f” dan ayat (5), sama sekali tidak bertentangan dengan UUD 1945. UU Pers dipandang MK sebagai tonggak reformasi di Indonesia. Tegasnya, tak ada norma dalam UU Pers No 40 Tahun 1999 yang bertentangan dengan norma Konstitusi dalam hal ini UUD RI Tahun 1945.

Ahli sejarah Islam di Indonesia ini menyebut keputusan MK ini “pro rakyat  dan menjadi _land mark_ kemerdekaan pers Indonesia.”

Sebagai konsekuensi logisnya dari keputusan MK, eksistensi Dewan Pers beserta peraturan-peraturan yang dikeluarkan Dewan Pers otomatis terbukti sah dan dapat dijalankan. Dalam perkara ini, saya ditunjuk menjadi koordinator advokat Dewan Pers.

Untuk itulah kami bersyukur dan Dewan Pers melakukan acara syukuran di lantai 7 Gedung Dewan Pers. 

Pada syukuran itu ayah empat orang anak ini memberikan potongan tumpeng, antara lain, kepada saya mewakili advokat Dewan Pers.

Setelah acara tersebut selesai,  saya khusus “menghadap”  beliau di ruang kerja almarhum yang juga terletak di lantai 7 Gedung Dewan Pers. Sebuah ruangan yang sederhana.

Kami  ngobrol sekitar dua jaman. Sama sekali tidak ada tanda-tanda kelelahan, apalagi gejala serangan  jantung. Dosen  terbang dari berbagai universitas dalam dan luar negeri ini  masih kelihatan penuh semangat. Masih energi.

Dalam pertemuan itu kami banyak membahas rencana pers ke depan. Saya mencatat setidaknya ada lima gagasannya kala itu.

Pertama,  Pak Eddy menghendaki agar Dewan Pers tidak eksklusif tapi juga dapat merangkul semua pihak, bahkan terhadap yang bukan pers sekali pun, termasuk media sosial. Menurutnya media-media itu pun perlu diperhatikan Dewan Pers.  

Di matanya saat ini media sosial tak dapat dipungkiri memiliki peranan dan pengaruh yang luar biasa luas, sehingga tidak boleh dibiarkan berkembang tanpa arah. Untuk itu, kami setuju dan bersepakat bakal membuat semacam pedoman penayangan informasi di media sosial.  Tentu saja pada awalnya pedoman ini hanya berlaku bagi yang mau mengikatkan diri saja. Kendati begitu, kelak diharapkan dapat semakin banyak yang mau mengikutinya. Kemudian akhirnya dapat menjadi “norma” standar dalam penayangan di media sosial.

Kedua, almarhum ingin agar pers mahasiswa memperoleh perhatian yang lebih besar dari Dewan Pers.  Penerima penghargaan Order of Rising Sun: Gold and Silver Star, dari Kaisar Jepang ini, menghendaki tradisi pers kampus dihidupkan kembali. Dia mengingatkan, sebagian dari jumlah wartawan dan pimpinan pers sekarang ini pun berasal dari kalangan  pers mahasiswa. 

Pak Eddy sendiri berasal dari pers mahasiswa dan kemudian sempat akif di majalah _Pandji Masyarakat_.
Ketiga, almarhum menegaskan ingin mempercepat pembentukan lembaga pertimbangan Dewan Pers sebagaimana telah diatur dalam statuta Dewan Pers sendiri. Dengan begitu, katanya,  jika ada masalah internal perilaku anggota Dewan Pers, dapat lebih dahulu ditangani lembaga ini. “Surat Keputusannya sudah kami siapkan,” katanya.

Saya mendukung penuh hal ini. Saya jelaskan, kebetulan, pegaturan lembaga ini di statuta Dewan Pers merupakan salah satu gagasan saya juga sewaktu dibuat.
Keempat, dia sudah merencanakan mengadakan “safari”ke berbagai daerah untuk menjelaskan keputusan MK dan berbagai peraturan Dewan Pers. Penjelasan di tiap daerah bakal diberikan kepada para pejabat tinggi seperti Gubernur, Kapolda termasuk masyarakat pers, sampai kepada publik seperti guru dan sebagainya.

Topik  terakhir, kelima, hari itu Prof Eddy ingin agar kualitas dan integritas pers harus benar-benar dijaga. Di era seperti sekarang, menurut beliau kehadiran pers yang independen dan berkualitas sangat diperlukan untuk menunjang demokrasi.

Selesai minum teh, keluar ruang kerjanya, lantas kami berpisah. “Saya mau jemput istri dulu,” katanya enteng. 
Dari dulu Pak Eddy memang terkenal sebagai “family man.” Baginya keluarga sangat penting dan memberikan ketenangan dan dukungan kepadanya. Dari sini tak perlu heran jika beliau mengerjakan urusan sehari-hari rumah tangga dengan senang hati.

*Tak Pernah Berprasangka Buruk*

Azyumardi termasuk tipikal manusia agak langka.  Sepanjang pengetahuan saya, dosen tamu di banyak perguruan tinggi dalam dan luar negeri ini,  tidak pernah berprasangka buruk kepada orang lain. Ketika membicarakan kenalannya, temannya atau kerabatnya hampir selalu beliau berucap,”dia orang baik!”

Semua orang pers selalu dikatakan sebagai orang baik. Sepanjang interaksi saya dengan beliau , dia tidak pernah mengucapkan kata-kata yang buruk terhadap kenalan.

Terhadap orang yang dalam beberapa bagian berbeda pendapat dengannya pun, Pak Eddy tetap
menghormatinya, serta tak pernah menganggapnya buruk. “Iya dia sebenarnya orang baik, hanya sudut pandangnya aja berbeda dengan saya,” katanya ketika disinggung nama seseorang yang berbeda pendapat dengannya. 

Tidak ada kekesalan,  apalagi dendam, kepada orang tersebut.
Tentu, sebagai manusia ciptaan Tuhan, dia juga bukan tak pernah marah. Dalam marah sekalipun, Azyumardi tetap terkendali. Sebab musabab kemarahannya juga dapat dijelaskan dengan rasional,sehingga orang dapat menerima atau memaklumi. Setelah itu semuanya kembali harmonis.
Ya, Pak Azyumardi ini mirip seorang sufi yang sangat bijak dalam pemahaman semesta yang luas.

*Radja Membaca*

Sekesaksian saya, sejak mahasiswa Pak Eddy sudah gemar membaca. Kebiasaan ini dia pertahankan sampai akhir hayatnya.   

Dia memiliki keistimewan dapat membaca cepat namun tetap teliti. Kemampuan membaca ini tak terlepas dari pengalaman hidupnya. Dia berasal dari keluarga sederhana. 

Arti namanya  “Permata Hijau”. Banyak yang menduga “Azra” adalah nama ayahnya, padahal tidak demikian.

 Azyumardi merupakan anak ketiga dari enam bersaudara, dan anak lelaki pertama dari pasangan Azikar dan Ramlah. Nah nama “Azra” rupanya singkatan dari “anak Azikar dan Ramlah.”
Ayahnya seorang tukang kayu dan pedagang kopra dan cengkeh. Ibunya seorang guru agama. Darah guru dalam diri lulusan Universitas Colombia ini jelas turunan dari ibunya.

Sebagai keluarga yang sederhana, tak semua fasilitas anak-anak dapat diperoleh Azyumardi di keluarganya. Dia gemar membaca sejak dini, tetapi bacaan yang diperoleh di keluarganya sangat terbatas. Walhasil dia banyak belajar membaca dari sobekan-sobekan koran pembungkus yang ada di rumahnya.

Tak hanya itu, doktor filosofi dengan disertasi berjudul berjudul “The Transmission of Islamic Reformism to Indonesia: Network of Middle Eastern and Malay-Indonesian ‘Ulama in the Seventeenth and Eighteenth Centuries,” juga belajar membaca dari tulisan-tulisan dari dan yang ada di badan bis! Jika bisnya melaju kencang, Pak Eddy harus mampu pula membaca tulisan itu dengan cepat. Nah, kebiasaan inilah yang kemudian hari membawanya mampu membaca dengan cepat. 

Adapun yang dibaca beliau semasa hidupnya bukan saja buku-buku akademis yang berat, tapi juga artikel-artikel populer, dan bahkan postingan orang yang dikenalnya.
“Saya baca dan mengikuti tulisan Bung Wina selama puasa. Bagus itu,” katanya suatu saat ketika kami ketemu setelah lebaran lalu. Memang selama bulan puasa itu saya menulis kisah-kisah human interest di media sosial selama sekitar 29 hari. Hemat saya, ketimbang saya mewartakan atau menguraikan ayat-ayat kitab suci, yang belum tentu sepenuhnya saya kuasai juga, lebih baik menulis human interest bertendes. Kisah yang mengandung nilai-nilai  kebesaran kemanusiaan melalui hal-hal sehari-hari. Rupanya almarhum mengikuti tulisan itu.

Waktu tak lama setelah itu, saya menulis ada tuntutan jiwa pribadi dalam memakai sarung waktu sholat subuh, beliau pun mengikutinya pula.
“Hal-hal seperti itu perlu dibukukan !” katanya memberi saran. Saya langsung menyatakan setuju dan bakal melaksanakan sarannya.

Dengan kemampuan membaca yang cepat Pak Eddy dapat  banyak membaca dalam waktu singkat, dan bahkan membaca sambil melakukan kegiatan kegiatan lain. Luar biasa.

*Tak Pernah Menolak*

Kendati menyandang gelar guru besar dan pernah menjadi rektor dua kali, kemudian menjabat sebagai ketua Dewan Pers, Azyumardi Azra jika diminta memberikan ceramah, pelatihan dan wawancara tidak pernah menolak. Dibayar tidak dibayar, institusi besar atau kecil, selalu dilayani dengan sabar.

Para wartawan dapat bercerita, nomer telepon seluler beliau boleh diketahui oleh siapa saja. Wartawan yang memintanya wawancara senantiasa dilayani dengan baik.

 Azyumardi nampaknya menganut prinsip, jika diundang dan tak ada halangan, wajib datang, termasuk undangan ceramah, pelatih atau wawancara. Walaupun sesibuk apapun, dia tidak mau mengecewakan para pengundangnya. Dia membagi ilmu bagian dari ibadah. Jadi, dia tak pernah pelit ilmu bahkan untuk menyebarkan ilmu almarhum bersedia mengorbankan waktu dan kepentingan pribadinya yang lain.   

Pak Eddy sosok teladan bukan hanya sebagai guru, namun juga sebagai sosok manusia yang berhati mulia dan bijak. 

*Mengakui Peran Orang Lain*

Pernah tanpa saya sangka-sangka Azyumardi mengirim WA ke saya,”Dewan Pers berhutang budi kepada Bung Wina!” Jelas saya tersanjung disebut demikian oleh manusia berilmu dan manusia budiman ini.

Saya tidak faham mengapa dia sampai pada kesimpulan  itu. Dalam suatu perbincangan santai  berdua, di sela-sela acara Dewan Pers , di sebuah hotel, kembali dia mengemukakan hal itu, kali ini langsung kepada saya.

Saya cuma tersenyum saja dan mengira itu basa-basi hubungan sosial belaka. Lalu saya tanya kenapa begitu?

Lantas orang yang sangat sederhana tetapi berilmu tinggi ini menjelaskan, dia mendapat laporan dari semua para staf sekretariat yang sudah lama di Dewan Pers, dan juga dari beberapa anggota  lama Dewan Pers, lewat pemikiran dan kerja saya, Dewan Pers dapat menjadi memiliki peranan seperti sekarang. Dia menjelaskan, memperoleh informasi, sayalah yang “menghidupkan” dalam Praktek klausul  dalam UU Pers yang mengatur Dewan Pers memfasilitasi organisasi pers dalam pembuatan di bidang peraturan-pers, termasuk merancang sebagian konsep konsep Peraturan Dewan Pers pada masa-masa awal. 

Pak Azyumardi juga mengungkapkan, dia memperoleh laporan, awalnya atas upaya dan “lobby” saya pula Mahkamah Agung (MA) mau mengeluarkan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA)  yang mengharuskan pengadilan dalam memutuskan terkait perkara pers harus mendengarkan Ahli dari Dewan Pers. Begitu pula MoU atau Kesepahaman pertama antara Polri dan Dewan Pers diawali dari hasil kerja saya. 

Saya terperanjat bukan main, bagaimana dalam waktu singkat Azyumardi sudah memperoleh begitu banyak informasi. Meski demikian dihadapan Ketua Dewan Pers yang rendah hati ini, saya pun tetap merendah.”Ya hasil kerja bersamalah,Pak Eddy,” jawab saya.

 “Saya tahu semuanya kok,” tandasnya.

Kali ini saya cuma cengar-cengir aja. Waktu itu saya pikir hal itu cuma dikatakan dihadapan saya saja, setidaknya untuk “menyenangkan” hati saya sebagai sahabatnya, tapi rupanya dia juga menyebutnya dalam banyak kesempatan, bahkan melalui WA ke beberapa koleganya.

Saya terkejut makanala seorang ilmuwan perempuan dan UI mengirim WA
ke saya:

“Slmt sore juga Prof ……(nama asli saya hilangkan) Bung Wina itu pejuang/pembela Dewan Pers yg luarbiasa. Slm sehat bu.”
  Kemudia ilmuwan yang dosen itu menjelaskan  dalam WA setelah itu,”selamat sore pak Wina, di atas komentar dari Prof Azra.”

Waduh, ternyata Azyumardi memang orang yang tulus ikhlas dan ketika memuji tidak sekedar berbasa-basi.

*Tokoh Teladan*

Prof Azyumardi Azra layak menjadi tokoh teladan buat kita semua. Hampir semua aspek kehidupan dan penghidupannya dapat menjadi tauladan kita.

Kegigihannya untuk meraih ilmu pengetahuan dan pendidikan tinggi patut ditiru. Sejak kecil dia memanfaatkan apa saja yang dapat dipakainya untuk membaca dan menambah pengetahuan. Ketika kuliah dia menyambi juga menjadi wartawan sampai memperoleh beasiswa dan akhirnya memperoleh gelar akademis tertinggi. 

Produktifitasnya berkarya yang tinggi patut pula menjadi contoh bagaimana seorang akademisi dan wartawan melalui kerja keras terus menerus.

Almarhum menyadarkan kita untuk mencapai hasil maksimal harus selalu optimis, memanfaatkan segala peluang yang ada serta mengelola waktu dengan sebaik-baiknya.

Demimikian pula  kerendahan hati almarhum patut dipuji. Dia tidak berbesar kepala dengan segala atribut dan capaian prestasi. Azyumardi semasa hidupnya senantiasa membumi dan meletakkan penghargaan kepada sesama tanpa rasa sombong.  Dengan begitu dia bukan saja  mudah bergaul, tetapi juga malah menjadi lebih dihargai.

Jejaringnya yang luas menjadikan dirinya memiliki begitu banyak akses dari para pejabat tinggi, orang-orang penting sampai rakyat kebanyakan. Prinsipnya yang selalu berbaik sangka kepada orang lain, menyebabkan dirinya diterima di semua kalangan.

Demikian pula Pak Eddy yang merupakan ahli sejarah dan pemikir islam, serta orang yang taat kepada agama Islam, dapat merespresentasikan Islam ke semua kalangan dengan cair, lancar dan tentu saja juga tepat. Dia dapat menjadi saksi betapa Islam itu penuh toleransi sosial, menghargai kemajemukan dan mendorong manusia untuk memperoleh ilmu pengetahuan setinggi mungkin.

Tak kurang Ratu Elizabeth terpesona dengan sosok keislaman Azyumardi, sehingga tak ragu menganugerahkan gelar “Sir” (Commande of the order of British Empire)  kepada Azyumardi. Tak hanya oleh kalangan Islam manapun Pak Eddy diterima, tapi juga oleh kalangan non muslim dipercaya dan dihormati. 

Pak Eddy sudah bermetafora, tak lagi sekedar ahli bahasa dan sejarah peradaban Islam, tapi sudah menjadi pemikir dan pejuang kemanusiaan. Pak Eddy juga sudah bermetafora dari seorang penulis dan wartawan yang handal menjadi sebuah contoh bukti konkrit pemberi kehidupan dan penghidupan yang rendah hati, sejuk dan damai. Dia juga sudah tak lagi hanya cendekiawan milik kalangan Islam, juga bukan hanya milik Indonesia, tapi juga diterima, diakui sebagai cendikiawan, pemikir peradaban milik dunia. Inggris, Jepang, Malaysia dan masih banyak bangsa-bangsa lain mengakuinya. 

Pak Eddy lahir untuk mempertegas, mengangkat dan memperjuangkan nilai-nilai kemanusiaan manusia.

Jika almarhum menyebut keputusan MK yang menempatkan Dewan Pers menjadi kuat sebagai _land mark_ kemerdekan pers Indonesia, maka sejatinya Azyumardi Azra sendiri adalah _land mark_ jejak pemikiran dan perjuangan penegakkan nilai-nilai kemanusiaan di bumi.

Azyumardi Azra adalah prasasti itu sendiri yang bercerita kegigihan seorang anak manusia menjelaskan dan memperjuangkan kemanusian segala bangsa. Azyumardi bukan hanya meninggalkan jejak di negeri Indonesia tetapi juga di seluruh dunia. Dia bermetafora bukan lagi sekedar anak yang dibatasi wilayah Indonesia melainkan juga sudah menembus menjadi anak bangsa-bangsa seluruh dunia.

Ya, Azyumardi Azra sudah menjadi Anak Bumi Segala Bangsa.***

TAGS : Wina armada

Artikel Terkait