Opini

Korban Perundungan(bullying), Orangtua-Sekolah-Masyarakat Harus Apa??

Oleh : luska - Jum'at, 07/10/2022 21:09 WIB

Jakarta, INDONEWS.ID - Webinar YPUI menjelaskan Perundungan yang terjadi, biasanya dilakukan dengan sengaja, berulang dan dilakukan oleh pihak yang dianggap lebih lemah, yang disebabkan oleh rasa benci, iri, dendam atau adanya hirarkhi tidak resmi disekolah, seperti misalnya jenis kelamin, ras, budaya, agama, Anak Berkebutuhan Khusus ataupun prestasi akademis / non akademis.

Biasanya anak TK dan SD mengadu pada orang tuanya bila mengalami perundungan tetapi anak remaja, tidak demikian.

Dampak dari perundungan bagi korban perundungan bisa sangat parah, mulai dari merasa tertekan dan ketakutan, trauma, konsentrasi belajar terganggu, tidak mau sekolah, psikosomatis, malu, harga diri hancur, tidak percaya diri, menarik diri dari pergaulan, marah pada diri sendiri dan lingkungan, sampai pada depresi dan bunuh diri.

Namun dampaknya pada  si perundung sendiri pun tak kurang negatifnya.
Pada perundung, bisa terbentuk kepercayaan diri semu dan menganggap kekuasaan adalah segalanya. Mereka cepat marah dan sulit mengendalikan emosinya terutama bila keinginannya tidak terpenuhi, bahkan bisa berkembang pada perilaku agresif lainnya yang mana akan merugikan masa depannya. Kecakapan sosial dan prososialnya rendah. Biasanya mereka bisa tidak mempunyai empati, toleransi dan rasa mengharhai orang lain. Prestasi belajarnyapun bisa terganggu karena terobsesi pada keunggulan fisik dan popularitas.

Hal tersebut dikemukakan oleh *Dharmayati B Utoyo Lubis, MA, Ph.D,Psikolog* dengan judul  "Bagaimana orang tua menyikapi perundungan (bullying) baik anak yang menjadi korban maupun yang menjadi pelaku",  dalam seri webinar ke2 tentang perundungan, yang diselenggarakan oleh *Yayasan Psikologi Unggulan Indonesia(YPUI)*, pada hari Jumat tanggal 7 Oktober 2022.

Ia mengatakan bahwa cara orang tua menyikapinyapun bervariasi, mulai dari tidak percaya, acuh tak acuh karena menganggap itu adalah urusan sekolah, tidak bisa membedakan antara bercanda dan perundungan, sampai pada menyalahkan korban atau bahkan marah pada semua pihak. 

Menghadapi kasus perundungan dimana anaknya yang menjadi korban, sebaiknya orang tua jeli menangkap perubahan perilaku, sikap dan emosi anaknya. Sikapi perundungan dengan kepala dingin, tidak emosional dan obyektif. Cari kebenaran beritanya sehingga yakin apakah memang betul kasus perundungan, bukan hanya pertengkaran ataupun perkelahian. Jangan lupa juga untuk melakukan introspeksi, apakah orang tua selama ini sudah menjadi model perilaku yang tepat bagi anaknya. 

Orang tua perlu melakukan *coping* yang tepat terhadap masalah perundungan ini, pertama adalah dengan bicara hati ke hati dengan anaknya. Untuk itu orang tua harus mau mendengar anak.. *Listening bukan hearing*, yaitu mendengarkan verbalisasi anak, melihat ekspresi anak, melakukan parafrase, mencerna kata kata anak dan menangkap perasaan anak. Jadi dengarkan perasaan  anak ketika dirundung dan beri dukungan agar anak dapat mengeluarkan uneg unegnya. Jangan marah, mengecam atau menyalahkannya. 
Orang tua anak yang melakukan perundunganpun, jangan  marah, mengecam dan langsung menyalahkannya. Dengarkan dulu apa motivasinya, mengapa ia merasa perlu menunjukkan otoritasnya melalui kekerasan fisik, verbal dan emosional. Dengarkan juga, mengapa ia memilih target si korban. 

Sebagai *strategi coping*, orang tua perlu mendukung keterus terangan anaknya, beri dukungan emosi pada anak, usahakan untuk mengurangi stress anak. Bangkitkan self esteem dan perilaku prososial anak. Hindari bersitegang dengan anaknya. 

Dari hasil penelitian DR, Dipl Psych Ratna Djuwita, F. Psikologi UI, tahun 2016, ternyata para orang tuapun membutuhkan adanya wadah dimana mereka bisa saling sharing, bisa mendapatkan bantuan dan saran serta berkomunikasi dengan orang tua lain dan guru, agar mereka bisa menyikapi masalah perundungan dengan lebih bijak. 
Masih dari hasil penelitian inipun,  orangtua merasa peran guru dan sekolah sangat besar dalam meminimalisir dan menghilangkan perilaku  perundungan. Oleh karena itu dibutuhkan kerjasama antara *orang tua-sekolah-masyarakat* dalam penanggulangan 
masalah perundungan. 

Menyambung harapan orang tua terhadap peran sekolah dan masyarakat, *Prof. Dr Juke R Siregar, M. Pd, Psikolog* memaparkan mengenai "Bagaimana menciptakan Rasa Aman dan Menyikapi Perundungan Anak dan Remaja di Sekolah" 

Menurut beliau, perundungan itu selalu ada, namun tidak bisa di biarkan, karena bila intensitasnya meningkat maka akan berkembang kearah yang lebih negatif. Oleh karena itu memang Orang tua- Sekolah - Masyarakat harus bekerjasama untuk memenuhi salah satu kebutuhan dasar anak, yaitu kebutuhan akan *rasa aman*. Setiap anak *berhak* untuk dipenuhi kebutuhannya akan rasa aman. 
Karena sebagian besar waktu anak berada di sekolah, maka sekolah memegang peranan yang sangat penting. 

Sekolah merupakan wadah anak dan remaja mengejspresikan diri dan belajar hidup berkelompok. Sekolahpun merupakan kumpulan orang dewasa yaitu personil sekolah yang mampu mengembangkan potensi, keterampilan sosial, emosi, nilai serta mampu bahkan wajib menciptakan lingkungan yang aman.

Untuk mengembangkan itu semua, sekolah secara *internal* bertujuan memantapkan norma sosial, mengembangkan tingkah laku prososial dan menghentikan perundungan. 
Untuk itu, sekolah dapat membentuk tim prevensi, tim guru yang terlatih seperti misalnya counselor atau guru yang nengerti tentang perkembangan anak dan tentang perundungan. Selain itu juga dibentuk tim agen perubahan yang terdiri dari anak ( peer group) yang mempunyai pengaruh, dan kwalifikasi tertentu, yang dipilih teman temannya melalui jejaring sosial / sociometric. Mereka diberi pelatihan terlebih dulu, tentang bagaimana mereka bisa membantu teman temannya dan mencegah perundungan 

Sekolahpun bisa membuat Program Edukasi tentang perundungan bagi personil sekolah, orang tua juga siswa. 

Kebijakan tentang menghadapi perundungan, pengembangan nilai nilai sekolah disusun bersama dengan melibatkan siswa. 

Evaluasi tentang kondisi lingkungan sekolah juga perlu dilakukan,seperti melakukan pengawasan di area sekolah yang sepi bila tidak sedang di gunakan, seperti misalnya gudang, toilet, hall Olah Raga. 

Secara *Eksternal* sekolah perlu melakukan kolaborasi dengan masyarakat ataupun organisasi terkait, seperti misalnya dengan Pusat Pembelajaran Keluarga yang berada dibawah koordinasi Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Anak Sekolahpun bisa bekerjasama dalam kegiatan atau berkolaborasi dengan sekolah sekolah yang berdekatan lokasinya, untuk melakukan kompromi tentang nilai nilai yang berujung pada nilai kasih sayang, toleransi dan saling menghargai. 
Sekolahpun bisa mengundang tokoh yang di idola kan anak untuk berbagi pengalaman yang pada dasarnya adalah penanaman nilai positif anti perundungan. 

Bila ditinjau lebih dalam lagi, maka pendidikan dan penanaman nilai yang lebih intens dapat dilakukan dalam tataran *kelas*. Guru dan siswa sama sama menggali nilai nilai utama anti perundungan. Nilai nilai tersebut kemudian diturunkan dalam bentuk perilaku, yang setelah disepakati oleh semua siswa, dijadikan policy yang kemudian dibuat slogan tertulis yang bisa di tempel di kelas dan ruang sekilah. 
Guru dan muridpun sama sama menciptakan iklim anti perundungan dengan melakukan tugas tugas kelompok  yang mementingkan kerjasama dan menonjolkan sikap saling menghargai. 

Sebagai role model, guru harus menjaga sikap dengan tidak memberi label  pada siswa ataupun meng anak emaskan siswa, karena hal tersebut rawan menjadi target perundungan. 

Guru juga harus jeli menangkap gejala perilaku anak di kelas, bagaimana men supportnya dan bagaimana mengintervensi anak yang bermasalah
Siswa perlu didorong untuk berani bercerita kepada guru bila terjadi sesuatu dan juga berani bersikap bila ada hal hal yang mengarah ke perundungan. 

Dalam tataran *Individu* siswa perlu dilatih untuk mengembangkan *"I statement"  /   *saya* dalam mengekspresikan pikiran dan perasaannya sehingga menunjukkan kepercayaan dirinya. Mereka perlu diajarkan bagaimana menampilkan diri dan ketubuhannya, sehingga tidak rawan menjadi target perundungan. Siswa perlu mengembangkan keterampilan sosialnya untuk problem solving ataupun sebagai peace maker.
Mereka perlu diajarkan untuk mengelola emosinya, juga untuk bereaksi secara wajar bila menghadapi gangguan atau konflik, seperti misalnya tidak cengeng, marah marah atau memukul, karena hal tersebut sangat rawan menjadi target perundungan. 

Para siswapun perlu mengetahui dan sadar bahaya perundungan sehingga mereka tidak ikut-ikutan atau bersikap pasif. 

Prof  Juke  menutup paparannya dengan harapan agar anak bangsa Indonesia menjadi generasi CEKATAN:
Cerdas nemiliki berpikir
   kritis, inovatif, kreatif, 
   kontekstual
Emosi positif memiliki
   kemampuan resiliensi. 
Kolaborasi dalam relasi 
   sosial
Asli Teknologi master 
   dalam teknologi
Adaptif terhadap per-
  ubahan  secara cepat 
  dan fleksibel. 
Nilai memiliki nilai - nilai 
  kehidupan sebagai pe-
  doman hidup


 

TAGS : Webinar YPUI

Artikel Terkait