Nasional

Evaluasi 2022 dan Proyeksi 2023: Ketegangan HAM Antara Pandangan Separatif dan Solidaris

Oleh : very - Jum'at, 16/12/2022 12:20 WIB

HAM di Papua. (Foto: Tempo.co)

Jakarta, INDONEWS.ID - Dalam dunia diplomasi HAM selalu ada ketegangan antara pandangan Separatis dengan pandangan Solidaris.

Pandangan Separatis adalah pandangan yang melihat bahwa sebetulnya dalam diplomasi internasional negara-negara tetap mempunyai batas kedaulatan negara tertentu dengan negara lain, atau dibatasi oleh teritori antar negara.

Sedangkan pandangan Solidaris adalah pandangan yang melihat bahwa diplomasi itu tidak dibatasioleh batas-batas kedaulatan negara karena masalah HAM pada dasarnya sesuatu yang bersifat lintas batas negara, dan bersifat internasional-global, tanpa melihat atau mengenali asal usul kebangsaan, ras, kelamin, etnis, agama dan sebagainya.

“Kedua cara pandang di atas selama ini selalu menjadi perdebatan dalam dunia diplomasi HAM internasional,” ujar Ketua Komnas HAM, Dr Atnike Sigiro dalam Diskusi Publik Paramadina Graduate School of Diplomacy (PGSD) dan CIDE yang bertema “Evaluasi 2022 dan Proyeksi 2023 : Kebijakan Luar Negeri dan Diplomasi HAM, Politik dan Keamanan”, di Jakarta, Kamis (15/12).

Dosen Universitas Paramadina ini mengatakan, pandangan Separatis memandang bahwa HAM sesuatu yang sangat penting dan kuat. Karena itu, upaya untuk memperhatikan HAM sangat tergantung dari kepentingan nasional suatu negara. Jurisdiksi menjadi penting dalam pandangan Separatis ini. Namun pada akhirnya praktiknya sangat ditentukan oleh politik nasional atau kedaulatan suatu negara.

Sementara dalam pandangan Solidaris, hak asasi merupakan sesuatu yang tidak mengenal batasan gender, ras, etnis dan lain-lain. Karena itu, pandangan ini juga mendorong adanya satu pemikiran tentang solidaritas HAM di tingkat internasional. Dengan demikian kita bisa saja perduli dengan bangsa lain yang sedang tertindas, misalnya rohingya, Ukraine, Palestina, dan lain-lain.

“Jadi ada upaya untuk mendorong cara berpikir yang beyond nationality boundaries tetapi mengajak ke solidaritas internasional. Upaya penegakan HAM sebagai kepentingan dan tujuan bersama,” katanya.

Dia mencontohkan terkait persoalan migrasi. Dalam persoalan ini, seseorang WNI yang berada di Singapura misalnya, maka yang berhak mengatur hukum WNI tersebut adalah pemerintah Singapura. Begitu juga ketika di Indonesia seseorang harus mengikuti konstitusi Indonesia sebagai dasar hukum. Karenanya untuk menjembatani apabila seseorang berada di wilayah negara lain, ada perjanjian HAM internasioal bahwa setiap orang harus dilindungi, terlepas apa kewarganegaraannya. Hal itu dijembatani oleh konsep HAM internasional.

Dari sekian banyak pekerja migran di luar negeri, katanya, pasti menimbulkan berbagai macam persoalan. Dari soal status keimigrasian, visa kerja, paspor dan lain-lain. Banyak juga pekerja yang tertimpa kekerasan, penipuan, rentenir-gaji dipotong, anak terlantar ketika melahirkan di luarnegeri, gangguan jiwa, kehilangan/hilang, gaji tidak dibayar penempatan yang tidak sesuai. Hal itu adalah tanggung jawab pemerintah, dan juga dilindungi oleh hukum HAM internasional dan konvensi buruh migran.

“Negara-negara yang menerima buruh migran harus menjamin dan melindungi buruh migran. Paling tidak ada pengakuan secara administratif, misalnya ketika dia kehilangan paspor maka harus dicek betulkah dia WNI. Disitulah proses diplomasi terjadi,” ungkapnya.

 

Hanya Negara yang Memiliki Kepercayaan Diri Tinggi

Sementara itu, Dosen Universitas Paramadina, Al A’raf – mengutip pertanyaan Yuval Noah Harari – mengatakan, umat manusia di muka bumi kini harus siap karena akan menghadapi ancaman keamanan dalam bentuk Keruntuhan Ekologi, kerusakan lingkungan.

Contoh dari kemungkinan kerusakan ekologi ini, katanya, telah dilihat di Kalimantan pada proyek gagal Food Estate Kementerian Pertahanan.

“Pesan yang harus diingat dari kegagalan food estate Kalimantan itu adalah, jangan pernah kita mencoba lakukan upaya-upaya yang bukan menjadi domain pekerjaan kita. Kemenhan jelas tidak memiliki domain dalam urusan Ketahanan Pangan. Hal itu adalah domain Kementerian Pertanian. Akibatnya terjadi kerusakan lingkungan hidup,” ujar Ketua Badan Pekerja Centra Initiative itu.

Dia mengatakan, setelah era perang dingin usai, isu HAM menjadi isu utama yang menguat dan mendapat tempat dalam studi politik dan isu internasional. Tapi kemudian menjadi masalah karena banyak negara dunia ke-3 yang melakukan represi dan kekerasan melawan kemanusiaan. Hal itu seperti terjadi di Bosnia, Myanmar, Aceh dan Papua.

Al A’raf mengatakan, masalah HAM menjadi satu diskursus yang penting. Namun meski menjadi isu penting, kebijakan luar negeri adalah refleksi cermin politik dalam negeri suatu negara. “Hanya negara-negara yang memiliki kepercayaan diri yang tinggi terhadap kebijakan HAM di dalam negeri bisa confiden untuk melakukan politik luar negeri terkait HAM internasional,” ujarnya.

Indonesia, menurutnya, dinilai gagal dalam pendekatan substansial untuk menyelesaikan masalah Papua. Sejak 32 tahun di era Orba sampai sekarang, pendekatan yang dilakukan untuk masalah Papua selalu pendekatan keamanan, yang terbukti tidak efektif untuk pola penyelesaian. Korban-korban tetap berjatuhan dari semua kalangan, rakyat biasa, TNI-Polri dan pendatang.

Karena itu, dia mengusulkan untuk melakukan pendekatan dialogis seperti penyelesaian dialog yang dilakukan terhadap Aceh, Ambon dan Poso.

“Semuanya berhasil dengan pendekatan dialogis. Papua jangan dipandang enteng akan berhasil dengan pendekatan dana Otsus dan infrastruktur, selama proses dialog dan penghargaan terhadap mereka-mereka yang tersakiti perasaannya akibat pendekatan keamanan 32 tahun Orba sampai sekarang,” pungkasnya. ***

 

Artikel Terkait