Nasional

RR Minta Bung Hatta Dianugerahi Doktor Honoris Causa Bidang Ekonomi

Oleh : very - Sabtu, 17/12/2022 13:03 WIB

Rizal Ramli dalam diskusi “Transformasi Koperasi Indonesia Menuju Indonesia Emas 2045”, yang digelar Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, di kampus Dipatiukur, Bandung, Jumat (16/12). (Foto: Ist)

Jakarta, INDONEWS.ID - Tokoh nasional Dr Rizal Ramli mengatakan bahwa Bung Hatta merupakan Bapak Koperasi dan peletak dasar perekonomian nasional di Undang-undang Dasar ’45. Namun, selama ini, Bung Hatta belum mendapatkan penghargaan dalam bidang koperasi.

“Karena itu pada kesempatan ini saya juga meminta Fakultas Hukum dan Fakultas Ekonomi Universitas Padjadjaran memberikan gelar Doktor Honoris Causa bidang ekonomi kepada Bung Hatta sebagai penghormatan. Ini penting, supaya kita tidak salah arah seperti saat ini,” kata Bang RR – sapaan Rizal Ramli dalam diskusi “Transformasi Koperasi Indonesia Menuju Indonesia Emas 2045”, yang digelar Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, di kampus Dipatiukur, Bandung, Jumat (16/12).

Seperti diketahui, selama ini anugerah Doktor Honoris Causa bidang ekonomi belum pernah diberikan kepada Bung Hatta. Gelar Honoris Causa  pernah didapatkan Wakil Presiden pertama RI itu dari Universitas Gajah Mada pada tahun 1950-an dan dari  Universitas Indonesia pada tahun 1975, namun bukan untuk bidang ekonomi, melainkan bidang hukum.

Mantan Menko Kemaritiman ini menjelaskan bahwa Bung Hatta menjadikan koperasi sebagai pilihan tepat dan menjadi konsep dasar perekonomian nasional. Hal tersebut, katanya, berdasarkan pengalaman Bung Hatta saat bermukim di Eropa selama sebelas tahun.

Selain menyelesaikan studi ekonomi di Belanda, Bung Hatta yang juga tokoh pergerakan itu berkecimpung di dalam pergaulan di Eropa dalam rangka perjuangan mewujudkan cita-cita kemerdekaan bangsa.

Pada tahun 1920-an, saat berada di Eropa itulah Bung Hatta merasakan langsung dampak dari depresi ekonomi dahsyat yang melanda negara itu, yang waktu itu disebut pula zaman Malaise, sebagai akibat praktek kapitalisme yang ugal-ugalan.

Bung Hatta tidak ingin mencontoh sistem yang tidak membawa keadilan ekonomi dan kesejahteraan bagi rakyat seperti itu. Ia lebih memilih mengadopsi sistem welfare state (negara kesejahteraan), seperti di negara-negara Skandinavia yang mengedepankan koperasi.

Lebih jauh mantan Kepala Bulog itu mencontohkan kebijakan ekonomi yang dilakukan oleh Kanselir Jerman Otto Von Bismarck pada pertengahan abad ke 19. Otto tidak menginginkan rakyat Jerman kala itu terseret ke dalam sistem ekonomi komunisme.

Bismarck lalu membuat kebijakan berupa social security system atau sistem jaminan sosial untuk rakyatnya. Sehingga sampai kini Jerman dikenal sebagai salah satu negara dengan jaminan sosial yang tinggi.

 

Koperasi Wajib Beri Laporan Berkala

Ekonom senior itu mengibaratkan koperasi dalam sistem perekonomian nasional seperti “kembang pemanis” atau “peran pembantu” serta “figuran” dalam cerita film.

Hal tersebut lantaran koperasi tidak pernah mendapatkan peran yang besar. Atau juga pelaksanaanya hanya sebatas pidato dan harapan dari atas mimbar.

“Koperasi dibesarkan bukan dengan aturan-aturan atau dengan melibatkan lembaga pengawasan yang lebih gede lagi, seperti OJK,” ujarnya seperti dikutip Kedaipena.com.

Bang RR menegaskan bahwa lembaga koperasi yang ada di Indonesia kurang profesional dan kurang transparan.

Karena itu mantan Menko Perekonomian itu menyarankan semua koperasi untuk menunjukkan transparansi kepada publik. Caranya, kata Bang RR, dengan menyampaikan laporan keuangan secara berkala, yaitu tiga bulan sekali di media massa. Hal tersebut, katanya, agar anggota dan masyarakat umum mengetahui.

Selain itu, katanya mantan Menko Kemeritiman itu, harus ada target bagi lembaga koperasi. Misalnya terkait kontribusi untuk perekonomian nasional, terhadap lapangan kerja, bagaimana total kreditnya, dan beberapa hal lain.

Karena itu, mantan Kepala Bulog ini meminta para pemimpin bangsa ini untuk terus membesarkan koperasi.

“Tidak ada kata terlambat untuk membesarkan koperasi, yang ada hanya pemimpin yang berpikir lambat,” ujarnya. ***

Artikel Terkait