Nasional

Proyek IKN Abaikan Roh Historis Metafisis, Rizal Ramli: Memang Tak Pantas

Oleh : very - Jum'at, 17/02/2023 17:37 WIB

Rizal Ramli (Mantan Menteri Koordinator bidang Ekonomi era Presiden Abdurrahman Wahid/Gus Dur). (Dok: Radarbangsacom)

Jakarta, INDONEWS.ID - Pemerintah menargetkan Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara di Kalimantan Timur mulai ditempati pada 2024 mendatang. Karena itu pula, IKN Nusantara akan resmi menjadi ibu kota negara pada pertengahan 2024.

Ekonom senior DR Rizal Ramli menegaskan bahwa IKN mengabaikan roh historis metafisis, karena itu tidak pantas menjadi ibu kota negara.

“Proyek IKN mengabaikan historis metafisis karena itu tidak pantas menjadi ibu kota negara. Titik pandang Prof Sri Edi Swasono tentang IKN sangat historis dan komprehensif, termasuk aspek ketahanan dan sosiologis,” ujar Rizal Ramli di Jakarta, Jumat (17/2).

Pernyataan mantan Menko Ekuin pada era Presiden Gus Dur tersebut menanggapi hasil analisis Prof Dr Sri Edi Swasono.

"Titik pandang dan argumen Prof Sri Edi Swasono tentang IKN menarik, tidak hanya argumen teknis, tetapi komprehensif. Historis, kebudayaan dan sosiologis. Memang IKN tidak pantas," tandas Rizal seperti dikutip dari Ketik.co.id

Rizal Ramli sudah sejak awal mengkhawatirkan bahwa jika proyek IKN dilaksanakan maka Indonesia hanya akan menjadi ‘Vassal State’, yaitu negara yang sepenuhnya berada di bawah kekuasaan negara lain secara internasional. 

Hal tersebut diungkapkan Rizal Ramli dalam diskusi dengan sejumlah ulama dan tokoh dalam acara Kajian Pakar dan Pernyataan Sikap NU Khittah 1926 Tentang IKN Ibu Kota Negara pada awal 2022 lalu. 

Seperti diketahui, pakar Ekonomi Universitas Indonesia Prof Dr Sri Edi Swasono mengungkapkan sejumlah dampak pemutusan rantai fundamental dalam sejarah bangsa. 

Prof Sri Edi menilai pembangunan IKN mengabaikan aspek historis metafisis. “Karena roh Indonesia ada di Jakarta. Sebuah roh perjuangan sampai bangsa ini berdiri,” ujar Prof Sri Edi Swasono. 

Arsip sejarah mengungkap sejumlah aksi heroik perjuangan merebut kemerdekaan hingga mematangkan konsep bernegara di kota yang dulu bernama Batavia tersebut. 

Seperti keberanian Sultan Agung Mataram meluruk Benteng VOC pada tahun 1628 dan 1629 untuk merebut Batavia yang dikuasai oleh Jan Pieterzoon Coen. Meskipun tentara Sultan Agung gagal merebut Jakarta karena dikhianati antek-antek VOC pribumi, tetapi mereka berhasil meracuni virus kolera yang menewaskan Jan Pieterzoon Coen.

Kemudian Sumpah Pemuda 1928, Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI dan PPKI), lahirnya Pancasila 1 Juni 1945, Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, Pengesahan Konstitusi UUD 1945, penyerahan kedaulatan dari Gubernur Jenderal Hindia Belanda Tuan Loving kepada Sri Sultan HB IX berujung pada turunnya bendera Merah-Putih-Biru dan berkibarnya Sang Saka Merah-Putih pada 27 Deseber 1949 dan didirikanya Monumen Nasional (Indonesia`s Statue of Liberty). 

"Ruh Indonesia historis-metafisis berada di Jakarta. IKN di Kalimantan Timur tanpa ruh kemerdekaan Indonesia. Barangkali hanya ber-ruh homo-solo`ensis sebagai the Schiller`s eine kleines Geslecht von Solo," ungkap Prof Dr Sri Edi Swasono, Rabu (15/2/2023). 

Dampak lain pemindahan ibu kota ke IKN, katanya, adalah tekanan psikologis para abdi negara maupun swasta karena disintegrasi sosial.  "Ayah atau ibu PNS, TNI dan polisi, pejabat negara, pegawai non-pemerintah, akan terpisah dari anak-anak atau keluarganya," kata dia. 

Negara, lanjutnya, akan terpisah dari rakyat-banyak. "Pindah ke pulau seberang, akan terjadi kehebohan besar personalia dan administrasi pemerintahan," ucap Guru Besar Ekonomi Universitas Indonesia tersebut. 

 

Ibarat Jual Rumah Hasil Perjuangan dan Memilih Kontrak Rumah Baru

Sebelumnya, hasil pemaparan materi dari sejumlah pakar dan kiai merumuskan 12 pernyataan sikap permintaan KKNU 1926 tentang Kebijakan IKN Ibu Kota Negara Baru yang dibacakan oleh Gus Wachid Muin. 

Pertama disebutkan jika Ibu Kota Jakarta adalah sebuah proses perjalanan sejarah panjang. Sejarah ini diawali oleh Fatahilah sebagai salah seorang tokoh ulama Wali Songo. Kehadiran IKN dinilai akan menghapus identitas Jakarta sebagai tonggak terpenting sejarah kemerdekaan Indonesia. 

Bahkan lebih jauh lagi dirunut ke belakang dapat menghilangkan sejarah pembebasan oleh Fatahillah atau Sunan Gunung Djati atas penjajahan Portugis di Jakarta di mana dulu bernama Jayakarta. Jayakarta adalah simbol kemenangan dunia, sedangkan Fatahillah adalah simbol kemenangan Nusantara.  "Ini sangat ditekankan oleh kiai-kiai tersebut," terang Rizal Ramli. 

Pemerintah dan DPR RI telah mengesahkan Rancangan Undang-Undang (UU) Ibu Kota Negara (RUU IKN) menjadi Undang-Undang (UU) hanya dalam tempo 42 hari.  Waktu penyusunan UU tersebut dinilai sangat cepat.

Para ulama dan pakar menilai lahirnya UU tanpa partisipasi publik yang memadai. Kemudian mereka juga menelaah setiap aspek mulai sosial, kesejarahan, ekonomi, lingkungan dan politik. 

Rizal Ramli menambahkan bahwa dirinya sangat tergugah bahwa ternyata NU Khittah betul-betul dapat merasakan keresahan rakyat terhadap rencana pindah Ibu Kota Negara dari Jakarta ke Penajam Paser, Kalimantan Timur.  Upaya pindah IKN itu, jelasnya, dapat menghilangkan hubungan sejarah dengan Jakarta. Kota Batavia yang dulu direbut Sunan Gunung Jati. 

"Pindah ibu kota itu memutuskan hubungan sejarah dan sosiologis dengan Wali Songo, dengan sejarah Jawa secara umum. Ibu kota pindah, ngolah-ngalih, wong bikin bingung tercabut dari sejarah bangsanya," ujar RR. 

Bahkan dia melihat upaya pemindahan IKN baru bukan untuk rakyat dan bangsa. Namun hanya demi ambisi pribadi kelompok tertentu.  "Akankah bermanfaat, fungsional atau hanya jadi monumen kegagalan? Bagaimana pembiayaannya? Jangan-jangan hanya bakal jadi Ibu Kota Baru `Vassal State`. Kok tega amat sih," tandasnya. 

Kota Jakarta bagi Rizal merupakan aset bernilai sangat tinggi bagi Bangsa Indonesia  dan sudah menjadi  `melting pot’. Sebuah kota kesatuan dan kebersamaan seluruh Bangsa Indonesia. 

Rizal Ramli mengatakan, penggunaan APBN sebagai dana mewujudkan IKN disebut membebani rakyat dan menimbulkan dampak multi bidang bersifat sistemik terutama kesulitan ekonomi rakyat. 

Rizal Ramli semakin khawatir apalagi saat ini hutang Pemerintah RI sudah mencapai ribuan triliun sementara pendapatan negara jauh lebih rendah dari belanja negara.  Kondisi tersebut bisa berujung pada kesulitan likuiditas.

Apalagi ditambah dengan perkiraan biaya tahap pertama ibu kota baru mendekati Rp500 trilliun. Total bisa mencapai Rp1500 trilliun.

"Karena tidak punya uang dan ‘koppig’ tetap ingin bangun ibu kota baru, maka hal yang akan terjadi adalah bagaikan orang diberikan mandat mengelola rumah warisan dari hasil perjuangan tapi memilih  menjual rumah hasil perjuangan tersebut dan memilih mengontrak di rumah yang baru demi mewujudkan keinginan pribadi yang spekulatif," pungkas Rizal Ramli. ***

Artikel Terkait