Bisnis

Ekosistem Kopi Nasional yang Berkeadilan Dapat Menumbuhkan Agribisnis Kopi Sebagai "Indonesia Renewable-Black Gold"

Oleh : very - Selasa, 28/03/2023 20:40 WIB

Prof Rachmat Pambudy dalam webinar Kajian Baitul Izzah dengan tema ‘Membangun Ekosistem Kopi Nasional’ pada Jumat (24/03). (Foto: Ist)

Bogor, INDONEWS.ID - Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Manajemen IPB University, Prof Rachmat Pambudy menjelaskan bahwa diperlukan pembangunan ekosistem kopi nasional agar industri kopi dapat tumbuh menggeliat secara berkelanjutan dan berkeadilan.

Ia mengistilahkan visi pengembangan agribisnis kopi ke depan dengan ‘Indonesia Renewable-Black Gold’ yang dapat memakmurkan petani kopi di seluruh wilayah nusantara.

“Indonesia memang terkenal dengan kopinya karena keragamannya dan digemari oleh masyarakat global. Saya menilai bahwa kopi Indonesia akan merajai dunia bukan dari jumlahnya, tetapi dari aneka rasanya yang khas,” ujarnya dalam Webinar Kajian Baitul Izzah dengan tema ‘Membangun Ekosistem Kopi Nasional’ pada Jumat (24/03).

Rahmat mengatakan, ekosistem kopi nasional dapat dibangun dengan menggabungkan kemampuan di hulu, on farm dan hilir. Upaya tersebut akan menjadikan bisnis kopi nasional unggul, dalam arti bisa menghasilkan efisiensi teknis, ekonomi dan lingkungan sosial yang terbaik.

"Kalau kita ingin membangun ekosistem harus ada keadilan untuk petani, para penangkar dan pengolah," jelasnya.

Tren dan kepopuleran kopi saat ini masih terus menanjak. Menurut International Coffee Organization (ICO) setidaknya ada tiga miliar cangkir kopi yang dikonsumsi setiap hari. Kopi menjadi komoditas perkebunan ketiga terbesar setelah kelapa sawit. Nilai ekspor kopi Indonesia mencapai 849 juta US dollar.

“Tidak kurang dari 7,8 juta petani kopi atau sekitar 98 persen produksi kopi berasal dari perkebunan rakyat. Dalam 10 tahun terakhir, industri kopi juga mengalami pertumbuhan mencapai 250 persen,” ungkap Rachmat.

Menurutnya, kopi merupakan harapan baru karena pertumbuhannya dapat dilihat dari sektor on farm dan hilir. Namun demikian, Indonesia masih kalah dari Brazil dan Vietnam. “Kita masih memiliki permasalahan di aspek bibit, pemupukan dan good agricultural practices," terangnya.

Permasalahan tersebut, lanjut dia, perlu diatasi dari sisi produksi dan kualitasnya. Industri kopi nasional juga menghadapi tantangan global seperti pandemi dan persaingan rekayasa teknologi. Pandemi telah mengubah kebiasaan konsumen sehingga perlu cara baru dalam memproduksi dan menyajikan kopi.

“Dari kacamata domestik, industri kopi juga menghadapi tantangan berupa rendahnya produktivitas, panjangnya rantai pasok, rendahnya konsumsi kopi per kapita nasional, dan minimnya rekayasa teknologi. Ditambah juga oleh tantangan perubahan iklim sehingga perlu adanya bibit kopi yang tahan terhadap berbagai cekaman lingkungan,” ujarnya.

Menurutnya, sebenarnya rantai pasok kopi nasional sudah nyaris sempurna dari hulu hingga hilir. Namun, hal itu masih perlu didukung dengan digitalisasi untuk meningkatkan pertanian presisi.

"Pertanian presisi ini sangat penting karena berkaitan erat dengan kebutuhan air, pupuk dan bibit. Jika presisi ini ditingkatkan sampai mendekati ketepatan tinggi, maka otomatis akan meningkatkan produksi dan kualitas biji kopi nasional," jelasnya.

Ia menegaskan, peningkatan presisi dalam rantai pasok kopi nasional ini sangat penting agar industri kopi yang berkeadilan dapat terwujud. Nilai tambah kopi juga dapat lebih ditingkatkan.

"Memang teknologi butuh investasi besar dan kebijakan juga rumit, tetapi kalau kita ini berbagi dan semua orang terlibat, maka nilai tambah ekosistem kopi nasional yang melalui jalan rumit itu bisa dimudahkan," pungkasnya. ***

Artikel Terkait