Nasional

Mencari Solusi Masalah Papua Adalah Tugas Bersama, Namun Pilihannya Bukan Perpisahan

Oleh : very - Kamis, 29/06/2023 20:17 WIB

Diskusi di Roma tentang Papua. (Kiri ke kanan) Atase pertahanan KBRI di Roma, pastor Sandro dan Esthy Putri. (Foto: Ist)

Roma, INDONEWS.ID - Wakil Ketua Presidium Pusat Ikatan Sarjana Katolik Indonesia (ISKA), Prasetyo Nurhardjanto mengatakan bahwa dinamikan politik di Papua harus menjadi perhatian bersama.

Dia mengibaratkan Papua seperti sebuah rumah tangga. Sebesar apapun masalahnya, perpisahan bukanlah solusi.

Hal itu disampaikannya dalam diskusi terbatas yang diselenggarakan di  Roma, Italia baru-baru ini.

“Kalau diibaratkan rumah tangga, maka upaya mencari upaya damai adalah tugas kita bersama. Tetapi bercerai bukanlah pilihan, “ tegas Prasetyo.

Menurutnya, apa yang dilakukan pemerintah pasca orde baru sudah mengarah pada perbaikan-perbaikan dalam mencari upaya damai di tanah Papua.

Prasetyo hadir dalam diskusi tersebut disela-sela kesibukannya menghadiri annual council meeting di Roma, Italia. Ia yang merupakan salah satu VP International Catholic Movement for Intellectual and Cultural Affairs (ICMICA Paax Romana) adalah representasi ISKA di komunitas inteletual katolik dunia itu.

Diskusi tersebut menghadirkan tiga pembicara, yaitu RD Meki Mulait, seorang Imam Projo Keuskupan Jayapura, yang saat ini sedang belajar Filsafat di Universitas Antonianum, Roma, RP Alexandro Ranga OFM, SKPKC Fransiskan Papua, serta Budi Tjahjono, Fransiscan International.

Dalam paparan sebagai pemantik diskusi, Budi menekankan masih banyak kejadian pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi di Papua.

“Situasi tidak damai di Papua bisa saja dianggap sebagai dinamika. Tetapi jika sampai ada yang meninggal, baik dari pihak TNI/Polri maupun mereka (warga Papua yang dianggap pemberontak), karena itu di sana terjadi pelanggaran HAM. Hal sederhana misalnya, apakah kita mampu memahami perasaan penduduk lokal yang justru banyak dihuni oleh penduduk pendatang. Misalnya, apa yang akan terjadi jika di desa saya di Grobogan dipenuhi oleh orang Papua. Tentu ada perasaan tidak nyaman dan untuk itu perlu terus-menerus dilakukan upaya mencari damai. Begitu pula yang dirasakan masyarakat Papua saat ini,” ujar Budi.

Sementara RP Alexandro secara tegas menggambarkan bahwa sebenarnya Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) sejak 2011 telah memaparkan empat akar masalah yang ada di Papua. Sayangnya itu belum menjadi fokus pembangunan di sana.

“Ada 4 akar masalah di Papua. Pertama, masalah sejarah dan status politik integrasi Papua ke Indonesia. Kedua, masalah operasi militer yang terjadi karena konflik tersebut di atas yang tak terselesaikan. Ketiga, semua hal di atas membuat masyarakat Papua timbul stigma sebagai orang yang termarjinalisasikan dan keempat, kegagalan pembangunan Papua,” ungkap Rm Sandro.

Pemantik diskusi ketiga, Romo Meki melihat bahwa banyak pembangunan yang tidak tepat sasaran. Kalaupun ada pembangunan fisik, banyak yang diperuntukkan justru untuk kepentingan para pendatang.

Diskusi juga dihadiri oleh Atase Pertahanan KBRI di Roma, Kolonel Laut (P) Aminuddin Albek yang menyatakan sependapat dengan Prasetyo, bahwa perpisahan bukan solusi diterapkan di Papua. Apalagi tidak dapat dipungkiri bahwa banyak pembangunan fisik di Papua yang pasti akan dapat berguna bagi perkembangan jangka panjang di sana.

“Saya melihat diskusi semacam ini baik untuk diadakan, sehingga upaya-upaya yang dilakukan pemerintah dan belum tepat, dapat terus diperbaiki,” ujarnya.

Demikian pula, perwakilan dari KBRI untuk Tahta Suci yang hadir, Esthy Putri Muryanti berpendapat bahwa KBRI Indonesia untuk Tahta Suci memiliki misi menyampaikan berbagai upaya menjaga kesatuan NKRI.

“Bahkan Bapa Suci Paus Fransiskus mendukung Papua untuk tetap menjadi bagian dari NKRI,” tegas Esthy.

Deni Iskandar, aktivis Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) yang sedang belajar di Roma misalnya mengkritik secara keras bahwa banyak pihak yang punya kepentingan di Papua. “Pembangunan yang banyak di Papua itu sebenarnya untuk siapa?” ujar Deni lantang.

Diskusi yang dilakukan lebih dari tiga jam tersebut diakhiri dengan penyerahan sebuah buku karya Romo Alexandro kepada perwakilan KBRI di Roma dan KBRI untuk Tahta Suci.

Diskusi yang dihadiri sekitar 25 orang dari berbagai latar belakang itu berjalan sangat dinamis. Kritik dan upaya yang lahir dari beragam sudut pandang tersebut diharapkan mampu melahirkan upaya solutif damai di Papua. ***

 

Artikel Terkait