Nasional

Rizal Ramli: Hentikan Kekerasan di Pulau Rempang, Evaluasi Kembali Konsesi Tanah

Oleh : very - Kamis, 14/09/2023 12:05 WIB

Rizal Ramli adalah mantan Menteri Koordinator Perekonomian Indonesia (2000-2001) dan mantan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman (2015-2016). (Foto: ist)

 

Jakarta, INDONEWS.ID - Tokoh Nasional, DR Rizal Ramli berbicara tentang kekerasan yang terjadi di Pulau Rempang, Batam, Kepulauan Riau, beberapa waktu lalu.

Kekerasan terjadi karena adanya penolakan masyarakat setempat terkait dengan rencana penggusuaran beberapa desa di wilayah setempat untuk pembangunan kawasan investasi terpadu Rempang Eco City.

Tokoh pergerakan itu meminta agar menghentikan kekerasan dan segera melakukan evaluasi terlebih dahulu terhadap konsesi tanah tersebut.

“Hentikan dulu kekerasan yang terjadi, distop dulu, sambil melakukan evaluasi terhadap konsesi tanah tersebut. Jika pembangunannya mau diteruskan maka semua rakyat harus sepakat dahulu. Dan jika rakyat tidak sepakat maka pembangunannya jangan diteruskan,” ujarnya dalam sebuah podcast yang dipantau pada Kamis (14/9).

Mantan Menko Perekonomian itu menegaskan bahwa investasi itu merupakan sesuatu yang penting namun tidak boleh melanggar hak-hak masyarakat.

“Investasi itu sesuatu yang penting namun tidak boleh melanggar hak masyarakat, hak adat masyarakat dan merusak lingkungan. Apalagi investasi yang menggunakan kekerasan untuk merebut harta dan tanah merupakan investasi yang jelek,” ujarnya.

Mantan Menko Kemaritiman itu mengatakan bahwa perusahaan-perusahaan dari Amerika Serikat misalnya, tidak mau berivestasi dengan melanggar hak masyarakat setempat. Pasalnya, konsumen di negara tersebut pasti akan memprotes tindakan kekerasan.

Bang RR – sapaan Rizal Ramli – mencontohkan konsumen “NIKE” melakukan protes gara-gara perusahaan tersebut melakukan pelanggaran terhadap hak buruh.

Mantan Kepala Bulog itu mengatakan, yang bisa menerima investasi namun dilakukan dengan cara kekerasan itu hanya negara seperti China, karena negara itu tidak peduli terharap protes rakyat. Namun, negara-negara seperti Jepang atau Korea, tidak bisa menerima investasi dengan menggunakan kekerasan karena mereka pasti akan diprotes oleh rakyatnya.

“Jadi dengan model kekerasan seperti itu (seperti di Pulau Rempang, red) hanya bisa menarik investor seperti dari China,” ujarnya.

Karena itu, anggota tim panel penasihat ekonomi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) bersama beberapa ekonom dari berbagai negara lainnya itu mengatakan bahwa rakyat harus memperoleh kembali hak-haknya atas tanah tersebut.

Kemudian, katanya, harus dilakukan studi amdal, yaitu studi terkait kelayakan dari sisi lingkungan maupun sosial budaya jika dilakukan investasi di sana.

“Harus dilakukan kembali negosiasi dengan rakyat. Kalau dilakukan pembebasan tanah yang wajar dan di atas rata-rata maka rakyat juga akan menerimanya,” ujarnya.

“Namun jika menggunakan aparat apalagi dengan cara kekerasan maka rakyat pasti akan melakukan penolakan. Saya kira rakyat di Riau itu sopan-sopan. Mereka itu santun-santun. Namun jika menggunakan kekerasan maka mereka pasti melakukan perlawanan,” pungkasnya.

 

 

Pulau Rempang dan Awal Konflik

Seperti diketahui, Pulau Rempang merupakan pulau kecil yang terletak di sebelah utara Pulau Batam. Pulau ini memiliki luas sekitar 2.600 hektar dan dihuni oleh sekitar 7.500 jiwa. Mayoritas penduduk Pulau Rempang adalah orang Melayu.

Seperti ditulis Radhar Tribaskoro (https://jakartasatu.com/), konflik tanah di Pulau Rempang, Batam, Kepulauan Riau, berkaitan dengan rencana penggusuran desa setempat yang notabene telah dilengkapi dengan semua fasilitas umum seperti puskesmas, masijid, jalan raya, pelabuhan, angkutan umum, lapangan sepakbola, voli, basket, jaringan listrik dan telpon, termasuk 10 unit SD, 3 unit SMP dan 1 unit SMA.

Warga desa tersebut akan dipindahkan ke tempat baru yang terletak di Pulau Galang, sekitar 10 kilometer dari Pulau Rempang. Tempat tinggal baru tersebut akan dibangun oleh pemerintah Indonesia.

Pulau Rempang akan dibangun kawasan investasi terpadu Rempang Eco City. Rencana tersebut diprakarsai oleh Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam (BP Batam).

Warga Pulau Rempang menolak rencana penggusuran tanah tersebut karena mereka merasa bahwa tanah mereka adalah milik mereka secara turun-temurun dan mereka memiliki hak untuk tinggal di tanah tersebut. Mereka juga khawatir bahwa penggusuran tersebut akan membuat mereka kehilangan mata pencaharian dan tempat tinggal.

Untuk diketahui Pulau Rempang mulai dihuni jauh sebelum Republik Indonesia berdiri, yaitu pada sekitar abd ke-16. Ketika itu Rempang masih manjadi wilayah kekuasaan Kesultanan Johor.

BP Batam mengklaim bahwa tanah di Pulau Rempang adalah milik negara dan bahwa mereka memiliki hak untuk menggunakannya untuk kepentingan pembangunan. BP Batam juga menawarkan ganti rugi kepada warga yang terkena penggusuran, tetapi warga menolaknya karena mereka menilai ganti rugi tersebut tidak adil.

Konflik tanah di Pulau Rempang semakin meruncing pada bulan Agustus 2023, ketika warga memblokade jembatan yang menghubungkan Pulau Rempang dengan Pulau Batam.

 

(Demo masyarakat Melayu Rempang tolak relokasi terus berlanjut. Foto: JakartaSatu.com)

 

Kawasan Investasi Terpadu Rempang Eco City

Kawasan investasi terpadu Rempang Eco City akan dibangun oleh PT Rempang Eco City, sebuah perusahaan yang dimiliki oleh PT. Makmur Elok Graha, salah satu perusahaan di grup usaha Artha Graha yang dimiliki oleh Tommy Winata. Nilai investasi yang dijanjikan adalah Rp381 triliun. Izin investasi diberikan oleh Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) pada tahun 2022.

Luas lahan yang diklaim oleh PT Rempang Eco City adalah sekitar 1.990 hektar, atau sekitar 76% dari luas Pulau Rempang. Luas ini meliputi lahan pemukiman penduduk, lahan pertanian, dan lahan hutan.

Di lahan seluas itu Rempang Eco City akan membangun kawasan industri, perdagangan, wisata dan pembangkit energi terbarukan. Kawasan industri akan menjadi fokus utama dari pengembangan Rempang Eco City. Kawasan ini akan menjadi tempat berdirinya berbagai pabrik dan industri, termasuk industri manufaktur, industri pengolahan, dan industri jasa.

Kawasan perdagangan akan menjadi tempat berdirinya berbagai pusat perbelanjaan, perkantoran, dan hotel. Adapun kawasan wisata akan menjadi tempat berdirinya berbagai objek wisata, termasuk pantai, hutan, dan taman. Sedangkan kawasan energi terbarukan akan menjadi tempat berdirinya berbagai pembangkit listrik tenaga surya, angin, dan air.

BP Batam menawarkan ganti rugi kepada warga Rempang yang terkena penggusuran. Ganti rugi tersebut berupa uang tunai, rumah, dan lahan. Untuk rumah, warga akan diberikan rumah tipe 45 dengan luas tanah 500 meter persegi. Nilai rumah tersebut diperkirakan sekitar Rp120 juta. Untuk lahan, warga akan diberikan lahan seluas 500 meter persegi. Nilai lahan tersebut diperkirakan sekitar Rp50 juta. Selain itu warga juga diberi uang tunai, sebesar Rp50 juta/keluarga. Bila ditotal setiap keluarga diperkirakan akan menerima Rp.220 juta/keluarga. Untuk sekitar 2000 keluarga, biaya ganti rugi PT Rempang Eco City adalah sekitar Rp.440 milyar.

Namun, warga Rempang menolak ganti rugi tersebut karena mereka menilainya tidak adil. Mereka meminta ganti rugi yang lebih tinggi, yaitu rumah tipe 70 dengan luas tanah 1.000 meter persegi, serta uang tunai sebesar Rp200 juta. Jika permintaan warga Rempang dikabulkan, maka nilai keseluruhan dari ganti rugi tersebut akan menjadi sekitar Rp520 juta per keluarga. Dengan perhitungan itu pihak PT Rempang Eco City mengeluarkan setidaknya Rp.1,04 trilyun. ***

Artikel Terkait