Opini

Beyond the Limit

Oleh : luska - Jum'at, 01/12/2023 18:37 WIB

Oleh: Swary Utami Dewi 

Hari Kamis ini, 30 November 2023, aku belajar "beyond the limit". Dengan kondisi kaki kiri yang belum pulih sehabis terkilir, aku mesti berjalan sangat jauh mencari tempat pengambilan tanda pengenal untuk Conference of Parties (COP) 28 Dubai. Aku dan dua kawan agak tersesat dan kebingungan dengan Expo City Dubai yang maha luas ini, dengan bangunan yang berjauhan satu dengan yang lain. Sempat kami bertanya ke beberapa petugas lokal lokasi tempat mengambil tanda pengenal, namun jawaban mereka berbeda-beda. Akhirnya kami tiba di ekor antrian yang benar. 

Ternyata, antrian tersebut sangat-sangat panjang. Saat itu tepat tengah hari. Aku pikir, wah bisa semaput nih... Tapi ternyata, terik tidak terasa meski ketika itu tepat tengah hari alias siang bolong. Cuaca sejuk berkisar 29 derajat dan sesekali angin berhembus. Keringat tidak keluar karena tingkat humidity yang tidak seberapa. Tapi terus-terang,  kaki satu nyut-nyutan. Antrian ini kujalani sekitar dua jam. Tidak ada pilihan lain selain menjalani. Setiap orang harus mengambil ID Card sendiri-sendiri dan mengalami hal yang sama. Mungkin hanya para kepala negara dan menteri yang mendapat keistimewaan tidak mengambil sendiri. Terus-terang aku merasa sistem registrasi dan pengambilan tanda pengenal di COP 27 Mesir tahun 2022 lalu jauh lebih baik. Di sana dibuka banyak gate, yang membuat antrian tidak mengular seperti di Dubai. 

Di antrian Dubai ini ada cerita menarik, saat seorang perempuan Arab beberapa kali mau menerobos masuk ke antrian. Beberapa spontan menunjuk ke belakang, memintanya pergi ke ekor antrian yang entah di mana ujungnya. Ia juga mencoba masuk ke depan kami, menunjukkan surat yang ada di map plastiknya. "Saya dari kementerian," ujarnya. Seorang kawan menjawab, semua yang di sini juga dari kementerian. Ia terlihat bingung dan akhirnya berbicara dengan penjaga lokal. Entah ke mana kemudian ia melangkah.

Di antrian akhir menuju proses keluarnya ID Card, aku terpisah dengan dua kawan tadi. Ups... Untunglah aku terhibur dengan layanan dari petugas PBB yang mengecek bar code yang  tertera di Acceptance Letter (AL) yang khusus dikeluarkan PBB. Mau pakai foto tahun lalu? Pria ini tersenyum ramah. Mungkin ia melihat wajahku yang tertekuk karena  kelelahan. Aku mengiyakan. Foto digital tahun lalu pun kembali terpampang di ID Card-ku sekarang.

Aku berjalan sangat perlahan keluar dari ruang kecil tersebut menuju bangku-bangku semen di halaman Expo City Dubai yang terbentang luas. Sesudah berjuang mendapatkan tanda pengenal itu, aku bersyukur bisa duduk, sembari melihat kibaran bendera negara-negara peserta COP28, di antara deretan pohon-pohon kurma yang berdiri teratur. Botol air di tas kukeluarkan beberapa kali untuk kureguk. Alhamdulillah, letihku perlahan berkurang. Di sebelahku, yang semula duduk perempuan Dubai, sudah berganti dengan pria Senegal, yang juga nampak letih sesudah antri kartu pengenal.

Sembari menyeret satu kaki, aku memutuskan masuk ke kafe terdekat. Aku ingin duduk di dalam menikmati segelas cafe latte dingin, yang ternyata berharga sekitar seratus ribu rupiah. Saat antri, di belakangku ada seorang ibu asal Nigeria. Saat gilirannya tiba, ia ingin membayar dengan USD, tapi ditolak kasir. Ia juga tidak membawa kartu kredit atau debit. Dengan senyum meringis ia memilih mundur. Aku yang berada di samping, saat sedang menunggu minuman disiapkan barista, merasa tidak tega. Alhamdulillah, si Ibu bersedia kubayari. Ia tersenyum riang, sembari berdiri mengatur nafas yang masih tersengal. Beberapa kali ia berterima kasih. Senyumnya mampu mengurangi lelahku. Kami berbincang sesaat dan ia mengaku pernah ke Bali.

Dubai nan mahal. Kaki memang lelah. Aku bersyukur senyum ibu tadi mampu mengurangi penatku. Aku lalu duduk di bagian depan. Regukan kopi dingin dan suara musik di kafe ini membuatku sedikit bergoyang sembari duduk. Sang manajer mendekatiku, memulai sapaan dengan mengatakan, "I like your vibe..." Aku tersenyum sembari terus menikmati lagu dan kopiku.

Sesaat kemudian aku melangkah pelan mencari pavilion Indonesia, yang terletak di B5 nomor 56. Aku menyapa beberapa kawan di sana. Nampak dua kawanku yang tadi terpisah sedang berbincang dengan yang lain.

Tidak lama, lewat sore, kami memutuskan ke stasiun metro. Untung jaraknya lumayan dekat dari venue. Masing-masing dari kami mendapatkan kartu metro gratis selama dua minggu, juga tumbler cantik bertuliskan COP 28 Dubai. Kami berpisah kembali di stasiun metro karena mereka berdua punya meeting berbeda.

Di metro, aku duduk di gerbong depan khusus perempuan. Aku bertegur sapa dengan beberapa perempuan Filipina yang mengaku bekerja di Dubai. Sekilas aku mencuri dengar obrolan mereka dengan bahasa ibu, yang kadang bercampur Inggris. Ada yang kudengar bercerita tentang keharusannya membayar hutang. Seru mendengar obrolan mereka tentang pekerjaan dan hidup mereka di tanah gurun yang disulap menjadi "tempat impian" ini.

Di sepanjang perjalanan, aku menyaksikan banyaknya pencakar langit, berpadu dengan bangunan-bangunan berbentuk kotak lainnya. Dubai dari metro cukup menarik. 

Turun dari metro, perjuanganku berlanjut. Kali ini untuk mencari taksi ke apartemen, yang ternyata memakan waktu hampir satu jam. Aplikasi taksi lokal, Kareem, tampak tidak merespons dengan baik pesananku. Tiga kali gagal. Mungkin macet yang lebih dari biasa membuat taksi online enggan menyapaku.

Akhirnya aku naik sebuah taksi gelap, yang juga mengangkut seorang perempuan Iran, ke arah yang sama dengan tempatku menginap. Sang supir, yang berasal dari Bangladesh, ternyata sangat ramah. Ia memuji negara Iran yang menurutnya berani melawan Amerika. Aku berpendapat yang sama. Laki-laki ini juga berkisah tentang sisi lain Dubai, yang menurutnya menyimpan perputaran uang gelap.

Sang perempuan Iran, yang memiliki rambut panjang tergerai itu, lebih berkomentar tentang perempuan muslim di Indonesia, yang menurutnya tidak dipaksa untuk menutupi rambut. Aku kembali berkomentar iya, lalu menceritakan pilihan berpakaian perempuan muslim Indonesia yang beragam. "Aku iri pada kalian," ujarnya.

Sampai di depan kompleks apartemen, aku memutuskan masuk ke supermarket kecil. Aku membeli beberapa pisang matang, belasan buah plum ranum berwarna merah kehitaman - blood plum, seliter jus jeruk dan tiga bungkus besar kripik kentang. Dan ternyata aku cukup membayar lebih kurang seharga satu gelas iced-cafe latte tadi. Aku beruntung menikmati harga diskon dengan produk berkualitas.

Alhamdulillah, akhirnya aku tiba di apartemen cozy ini. Kini saatnya untuk kembali makin menyayangi diri. Ah Dubai...

Artikel Terkait