Penulis: Elza Peldi Taher
Suatu hari pertengahan tahun 1985, saya dan Denny pergi ke Slipi. Kami naik bus dari Rawasari, tempat kami kost menuju arah Grogol. Tujuannya satu, mengambil honor nulis artikel dari sebuah harian. Ini adalah permulaan awal mulai menulis di koran. Berbeda dengan sekarang, dulu honor diambil ke kantor redaksi, dengan membawa identitas diri. Honor baru bisa diambil setelah dua minggu koran terbit.
Setelah sampai di kantor redaksi, menunggu beberapa saat, honorpun diterima. Jumlahnya cukup lumayan, lima belas ribu rupiah. Honor untuk dua tulisan. Lumayan banget. Jumlah itu sama dengan uang satu semester di kampus kami, Universitas Indonesia.
Pulang dari situ kami bergegas naik bus Mayasari ke Pancoran. Waktu jelang siang, sampailah kami di tujuan utama, KFC Pancoran. Waktu itu KFC baru buka di Indonesia, cabangnya belum banyak. Bisa dihitung dengan jari. Makan di KFC rasanya naik status sosial. Maklum, sehari hari di tempat kost kami rawasari, makan dengan harus irit, disesuaikan dengan kondisi kantong
Kamipun makan dengan lahapnya. Sambil makan Denny dengan bersemangat bercerita tentang Harland David Sanders, pendiri KFC, kakek berkumis yang gambarnya ada dalam tiap restosaji ini. “Sanders itu elza”, Kata Denny, adalah orang jatuh bangun dalam berbagai usahanya, nyaris gila karena beberapa kali bangkrut, tapi baru kemudian sukses di hari tuanya. Saya juga ingin sukses dan kaya seperti Sanders, tapi tidak perlu dalam usia tua, kata Denny.
Saya mendengar cerita Denny ibarat mendengar khutbah Jum’at dengan khusyuk. Terasa api semangat Sanders itu dijiwai betul oleh Denny. Nampaknya Denny baru baca biografi Sanders ini dan perjuangan Sanders memberi isnpirasi banyak baginya.
Sejak percakapan tentang Sanders di KFC itu, tiap kali kami bicara Denny sering bercerita tentang keinginannnya menjadi orang kaya. Denny makin bersemangat bercerita tentang cita citanya ketika suatu hari kami mendatangi seorang peramal terkenal. Kata sang peramal, satu diantara kami nanti, Yaitu Denny, akan menjadi orang kaya di usia 40 tahun. Mendengar ramalannya itu kami cuma mesem mesem, tapi Denny agaknya amat senang. Berulang kali ia menyebut ramalan itu dengan senang hati di kemudian hari .
Ternyata, alam semesta yang maha luas ini mengabulkan keinginan seorang Denny JA. Puluhan tahun kemudian, saat ia memasuki usia 40 tahun, harapannya terkabul, menjadi orang kaya. Pulang sekolah dari Amerika, ia melakukan ijtihad mendirikan Lembaga survei. Melalui Lembaga ini ia sukses mengkapitalisasi imu social yang semula “kering” menjadi “ basah” . Namanya menjulang tinggi sebagai konsultan politik. Dalam sekejap, Denny pun jadi orang kaya.
Bagi Denny untuk berbuat kebaikan tak ada pilihan lain kita harus menjadi kaya. Jika kaya berbuat baik dampaknya akan teras dibanding tidak kaya. Hidup akan jauh lebih bebas jika pertama tama kita sudah bebas secara finansial, serba cukup bahkan berlebih secara materi. Kita tak perlu lagi bekerja mencari nafkah, karena kita sudah memiliki mesin uang untuk membiayai kehidupan kita sehari- hari.
Dalam berbagai kesempatan Denny mengatakan ingin menjadi seperti “sufi modern,” yaitu tokoh yang mendapatkan pencerahan spiritual tapi juga kaya raya, sehingga ia juga dapat memberikan charity untuk menolong orang lain. Bagi Denny , intelektual dan pencari kebenaran tak lagi harus hidup sederhana. Bahkan jika bisa, intelektual justru harus kaya raya sejauh kekayaannya dibangun dengan cara yang benar. Jika intelektual kaya raya, ia dapat membuat perpustakaan, membangun universitas, memberikan beasiswa kepada banyak orang, memberangkatkan rombongan untuk naik haji, membangun rumah ibadah, menyumbangkan dana untuk riset, dan membuat keluarganya berkecukupan untuk mengenyam pendidikan setinggi mungkin.
*Pensiun jadi Konsultan*
Sejak tahun 2014, Denny sering mengatakan dua hal yang menjadi keinginannya. Pertama, Kembali ke khittahnya menjadi penulis dan kedua pensiun jadi konsultan Politik. Pensiun dari LSI yang didirikannya. Selanjutnya LSI dikelola oleh para professional muda. Ia berencana turun gunung setelah ikut memenangkan Jokowi tahun 2014. Tapi sampai kini keinginannya untuk pensiun belum jadi kenyataan.
Kini Denny diambang memenangkan lima Pilpres sebagai Konsultan. Satu prestasi yang luar biasa. Cuma sayangnya calon yang didukung Denny kali ini adalah Prabowo, seorang pelanggar HAM berat, terlibat penculikan, labil jiwanya, kesehatannya dan komitmennya pada demokrasi sangat diragukan. Miris rasanya melihat para aktivis yang selama ini membully Prabowo puluhan tahun, kini joget gemoy dengan gembira bersama Prabowo, tanpa beban sama sekali.
Meskipun demikian saya amat senang Denny mewujutan keinginannya yang lain, kembali ke habitatnya sebagai penulis. Banyak hal yang ia lakukan, mengembangkan puisi Esai, geraka anti diskriminasi, dan terakhir jadi Ketua Umum Satupena. Hampir tiap hari ia menulis, share ke berbagai media, tanpa kenal Lelah. Tulisannya jernih, enak dibaca dan yang penting, selalu menggunakan data. Inilah rumah Denny yang sesungguhnya, rumah yang telah menghantarkan namanya menjadi pesohor di negeri ini. Rumah idamannya sejak saat masih jadi mahasiswa.
Sekali lagi, selamat milad ya Denny. Teruslah menulis, karena itulah habitatmu yang sesungguhnya..
Pondok Cabe Udik 4 Januari 2024