Nasional

Visi-Misi Capres Terkait Pemberantasan Korupsi Masih Sangat Standar

Oleh : very - Sabtu, 06/01/2024 18:40 WIB

Diskusi “Menggugat Visi Capres tentang Pemberantasan Korupsi di Tengah KPK Limbung” Kamis (4/1/2024). Acara yang diselenggarakan oleh Paramadina Public Policy Institute secara daring ini dipandu oleh Dr. Fatchiah E. Kertamuda, M.Sc. (Foto: Ist)

Jakarta, INDONEWS.ID - Pendekatan terhadap perilaku antikorupsi harus dinyatakan secara eksplisit dalam bidang hukum dan penegakan hukum dengan kontrol internal yang kuat melalui mekanisme akuntabilitas untuk menjaga indepensi dan integritas kelembagaan.

Demikian disampaikan Dr. Dra. Prima Naomi, M.T. dalam acara Paramadina Democracy Forum (PDF) bertajuk “Menggugat Visi Capres tentang Pemberantasan Korupsi di Tengah KPK Limbung” Kamis (4/1/2024). Acara yang diselenggarakan oleh Paramadina Public Policy Institute secara daring ini dipandu oleh Dr. Fatchiah E. Kertamuda, M.Sc.

Prima mengatakan penguatan kelembagaan dengan aliansi antar lembaga anti korupsi, lembaga negara, warga negara, media massa, masyarakat sipil, dan aktor internasional merupakan hal yang sangat penting.

“Lembaga antikorupsi dapat menunjukkan keuntungan jangka panjang ketika mereka melaksanakan insisiatif pencegahan korupsi, menghancurkan jaringan koruptor, dan pendidikan masyarakat untuk membentuk norma dan harapan masyarakat,” katanya.

Rektor Universitas Paramadina, Prof. Didik J. Rachbini mengungkapkan bahwa Indonesia sedang bermasalah dengan lembaga anti korupsi yang paling tinggi yaitu Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

“KPK punya tantangan yang sangat berat setelah Undang-undangnya di amandemen. Masalah pada masa transisi pergantian kekuasaan yang justru akan sangat menentukan. Sebab, jika hukum sedang ada masalah, maka akar masalahnya ada pada kekuasaan dan demokrasi,” ujarnya.

Dia mengatakan, ketika demokrasinya bermasalah, maka hukumnya pun akan mengalamai masalah berat. “Tentunya hal itu adalah ujian bagi para calon presiden (capres) yang ada. Ketiga capres memang mempunyai visi tentang pemberantasan korupsi tapi berbeda-beda,” kata Didik.

Dikatakannya, pasangan calon presiden nomor urut 1, Anies Baswedan dan Muhaimin Iskadar (AMIN) berkeinginan untuk mengembalikan KPK seperti asalnya. Capres No 2, Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka dan pasangan nomor urutu No 3, Ganjar Pranowo-Mahfud MD, juga terlihat memiliki komitmen terhadap pemberantasan korupsi.

“Kalau pemerintahan sekarang mengklaim mereka juga komit terhadap pemberantasan korupsi, tapi kenyataan berbicara sebaliknya,” jelasnya.

 

Tren Kepuasan pada Pemberantasan Korupsi Menurun

Sementara itu, Milda Istiqomah , S.H., MTCP, Ph.D Dosen Universitas Brawijaya memaparkan hasil Survey Tren Kepuasan Pemberantasan Korupsi dan Penegakan Hukum di Indonesia yang dilakukan pada 6-12 November 2023.

Yang menarik, katanya, ternyata tren kepuasan publik terhadap upaya pemberantasan korupsi telah menurun sejak Juni 2023 sebesar 7,23%, yaitu dari 60,48% menurun menjadi 53,3%.

“Tren kepuasan terhadap penegakan hukum di Indonesia juga menurun sejak Juni 2023 sebesar 11,61% atau 64,68% menjadi 53.07%. Sementara itu Tren kepuasan terhadap pelaksanaan demokrasi di Indonesia juga menurun sejak Juni 2023 sebesar 6,29%. Dari 74,11% menjadi 67,82%,” ungkapnya.

Milda juga menyoroti visi-misi Capres dalam pemberantasan korupsi yang dinilainya masih terlihat standar. “Terlalu normatif, belum menyentuh akar persoalan, dan tidak ada terobosan baru yang ditawarkan kepada pemilih. Juga masih sangat menggantungkan nasib bangsa kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan seolah-olah mengerdilkan lembaga hukum lainnya,” ujarnya.

Menurut Milda seharusnya yang menjadi pemikiran hukum para Capres adalah bagaimana mendorong agar kinerja kepolisian dan kejaksaan dapat bekerja secara profesional, kredibel, transparan dan akuntabel dalam pemberantasan korupsi.

“Saat ini ditengarai telah tumbuh despotisme baru menggabungkan teknologi, media, hukum serta pendekatan keamanan. Potensi ancaman demokrasi khususnya terkait pelanggaran terhadap kebebasan dasar (civil liberties). Alih-alih mengejar supremasi hukum, pemerintah melegitimasi tindakan melalui pembentukan atau perubahan hukum,” ungkapnya.

Milda juga mengkritik revisi UU KPK menjadi UU No 19 Tahun 2019 yang meletakkan KPK di bawah rumpun eksekutif. Dalam pengesahaan UU KPK ini, dalam waktu kurang lebih 14 hari, DPR menggelar rapat paripurna yang hanya dihadiri oleh 70 orang anggota DPR dan menghasilkan pengesahan UU No 19 Tahun 2019.

Dosen Universitas Paramadina, Asriana Issa Sofia M.A, mengatakan bahwa pendekatan ketiga Capres 2024 pada penindakan korupsi dan masa depan KPK berfokus pada penegakan hukum yang tidak tebang pilih. Selain itu, ketiganya menargetkan pengesahan RUU Pengembalian Asset.

“Ketiga capres juga menginginkan penguatan kembali KPK dengan merevisi UU KPK dan pemulihan independensi KPK, memperkuat sinergitas KPK, POLRI, Kejaksaan, memperkuat integritas pegawai dan kepemimpinan KPK dengan memperketat seleksi dan melibatkan partisipasi publik, penegakan dan proses hukum, sebagai pemulihan reputasi KPK,” ungkapnya.

“Dalam pendidikan dan kampanye antikorupsi terlihat belum ada terobosan kurikulum pendidikan, edukasi pemimpin, edukasi generasi muda, supaya korupsi menjadi nilai tabu,” pungkasnya. ***

Artikel Terkait