Opini

Pemilu Sebagai Penyerahan Kedaulatan Rakyat

Oleh : very - Selasa, 13/02/2024 22:50 WIB


Ferlansius Pangalila adalah Wakil Sekjen ISKA periode 2022-2026. (Foto: Jendelanasional.id)

Oleh: Ferlansius Pangalila*)

Jakarta, INDONEWS.ID - Mohammad Hatta (1902-1980) pernah menyampaikan bahwa “Kedaulatan Rakyat berarti Pemerintahan Rakyat, yang dilakukan oleh para pemimpin yang dipercaya oleh Rakyat”.

Pernyataan salah satu bapak Proklamasi ini mengingatkan Rakyat Indonesia akan tugas utamanya sebagai warga negara adalah membentuk (memilih) pemimpin yang akan menjalankan kedaulatan rakyat melalui Pemilihan Umum (PEMILU).

Sebenarnya PEMILU merupakan Penyerahan Kedaulatan Rakyat secara Langsung, Umum, Bebas dan Sukarela kepada wakil yang dipilih untuk menjalankan pemerintahan baik di eksekutif (presiden dan wakil presiden) maupun di legislatif (DPRRI, DPDRI, DPRD Prov./Kab./Kota), dan bersedia karena selama lima tahun ke depan rakyat akan kehilangan kedaulatannya.

Jean-Jacques Rousseau (1712-1778), mengingatkan kita bahwa “kedaulatan adalah kemauan umum rakyat yang menjelma dalam perundang-undangan”. Bagi Prof. Jimly Asshiddiqie (Mantan Ketua MK) mendefinisikan “kedaulatan sebagai konsep mengenai kekuasaan tertinggi dalam suatu negara.” Lalu apa yang menjadi kedaulatan rakyat Indonesia yang kekuasaan tertinggi itu dijalankan oleh Pemimpin/Wakil yang dipilih oleh rakyat pada setiap PEMILU?

PEMILU adalah sarana manifestasi kemerdekaan rakyat Indonesia, PEMILU sebagai perwujudan kehendak bebas masing-masing rakyat Indonesia untuk membentuk suatu Pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial (Alinea ke-4 UUD NRI Tahun 1945).

Inilah yang menjadi kedaulatan rakyat yang diserahkan kepada Pemerintah untuk dijalankan setelah terpilih. Jadi makna dan tujuan dari PEMILU adalah sebagai Sarana Demokrasi (rakyat bebas yang memerintah) dan sebagai Sarana Penyerahan Kedaulatan Rakyat yang disebut sebagai Sarana Pembentukan Pemerintahan yang menerima dan menjalankan kedaulatan rakyat.

Jika merujuk pada Alinea ke-4 tersebut, maka sangat jelas bahwa kedaulatan rakyat harus dijalankan oleh setiap pemerintahan yang terbentuk melalui PEMILU harus tertuang secara jelas dalam VISI setiap kontestan dalam PEMILU (baik calon Presiden dan Wakil Presiden serta calon Anggota Legislatif). Lalu VISI tersebut akan dijabarkan dalam MISI masing-masing dalam bentuk Program Kerja NYATA.

Jadi visi dan misi ini bersumber dari UUD NRI Tahun 1945, bukan hanya sekadar janji-janji politik atau program kerja utopis yang sering lebay, transaksional atau bahkan terlalu mengecilkan makna dan tujuan PEMILU tersebut.

Hendaknya para calon ini bertarung ide dan gagasan yang saling membangun dan saling memperkuat apa yang dimaksud oleh UUD NRI 1945 baik dalam Pembukaan maupun Batang Tubuhnya, karena mereka berjuang untuk menjadi Pemerintah Republik Indonesia bukan Pemerintah Negeri Konoha.

Bagi Rakyat, PEMILU pada Rabu 14 Februari 2024 bukanlah pesta pora, namun hendaknya sebagai kegiatan sakral “Penyerahan Kedaulatan Rakyat”, jadi tidak main-main, apalagi transaksional sesaat seperti jual beli suara dan lain sebagainya.

Ini juga bukan pertaruhan antar calon untuk merebut kekuasaan rakyat sehingga para calon mesti mengemis-ngemis atau membeli suara (menukar dengan minyak goreng dan beras 5 kg) dan bahkan melakukan berbagai kegiatan negatif lainnya, seakan PEMILU adalah pertarungan kalah menang para calon dengan menganggap lawan sebagai musuh yang harus dikalahkan dengan cara apapun.

Setidaknya, PEMILU itu semacam kontrak konstitusional, yang mana rakyat sebagai pihak (pemilih) yang memiliki hak asasi (kedaulatan) menitipkan kedaulatannya selama 5 tahun kepada salah satu pihak (calon) untuk menjalankan kedaulatannya dengan cara memenuhi harapan rakyat (pemilih) melalui misi atau program kerja calon yang dapat memenuhi harapan rakyat tersebut.

Oleh karenanya menjadi kewajiban konstitusional calon yang terpilih bekerja untuk mempresentasikan dan mewujudkan harapan-harapan yang merupakan kemauan umum rakyat Indonesia selama 5 tahun ke depan. Dan jika dianggap tidak layak, maka rakyat berhak untuk tidak memilihnya (lagi) untuk 5 tahun yang akan datang.

Idealnya, PEMILU seperti yang digambarkan di atas terwujud melalui demokrasi prosedural dan substansial (berbeda namun tidak terpisah), yang mana secara Prosedural, PEMILU itu harus dijalankan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku terutama sesuai dengan UUD NRI Tahun 1945 dan UU Pemilu serta peraturan teknisnya, di mana semua tahapan dan persyaratan (baik sebagai Pemilih maupun Calon) secara prosedural harus didasari pada ketentuan hukum tersebut. Jika tidak demikian, maka kepastian hukum tidak ada dan bahkan institusi penyelenggaranya menjadi tidak berwibawa.

Ketidakpastian hukum dan ketidakberwibawanya institusi penyelenggara akan berdampak pada demokrasi substansial, yang mana PEMILU itu secara substansi adalah penyampaian suara rakyat untuk membentuk lembaga perwakilan dan pemerintahan yang akan menjadi Penyelenggara Negara akan tidak tercapai sebagaimana mestinya, dan akhirnya validitas dan legalitas Pemerintah yang terbentuk menjadi tidak demokratis.

Mestinya rakyat yang telah berpengalaman setidaknya telah mengikuti PEMILU sebanyak 5 kali di era Reformasi telah mengetahui dengan benar bahwa kegiatan sakral 5 tahunan ini adalah Perwujudan Kedaulatan Rakyat yang akan DISERAHKAN kepada wakilnya dengan cara Pemungutan suara.

Pengalaman ini menjadikan kita sadar bahwa setiap kali kita melakukan Pemungutan Suara berarti kita telah menyerahkan kedaulatan kita kepada orang yang kita percaya dapat menjalankan kedaulatan kita. Oleh karena itu pada saat memilih nanti kita perlu mawas diri yang tinggi.

Kita harus memiliki Kesadaran dan Kewarasan Politik sehingga pada saat pemungutan suara kita tidak hanya memilih para calon karena emosional sesaat atau karena berbagai manipulasi politik, tetapi kesadaran politik termasuk juga dengan berani dan secara bebas untuk TIDAK MEMILIH KEMBALI para calon yang tidak layak atau yang telah mengingkari Demokrasi, mengingkari Reformasi dan Kedaulatan Rakyat selama 5 tahun ini.

Di antara mereka (para calon) pasti ada yang lebih baik, karena menurut Prof. Franz Magnis Suseno, SJ: “PEMILU bukan untuk memilih yang terbaik, tetapi untuk mencegah yang terburuk berkuasa.”

Selamat Memilih !!!

*) Ferlansius Pangalila adalah Wakil Sekjen ISKA periode 2022-2026

Artikel Lainnya