Opini

Pilpres 2024: Pesta Tapi Sedih

Oleh : very - Sabtu, 17/02/2024 19:22 WIB

Abdul Mukti Ro`uf, Kolumnis, Tinggal di Bintaro, Tangerang Selatan. (Foto: Ist)

Oleh: Abdul Mukti Ro’uf*)

Jakarta, INDONEWS.ID - Pesta demokrasi telah usai. Hasilnya sedang ditunggu. Paslon yang unggul suaranya sedang menunggu dan memestakan kemenengan. Paslon yang rendah suaranya sedang mengamati dan mengumpulkan bukti dugaan kecurangan dalam proses dan hasil. Fenomena ini seperti pengulangan persitiwa lima tahunan. Pemilu, dalam kenyataannya, selalu berkutat pada dua masalah, masalah “pasal” (aturan hukum) dengan seluruh implementasinya dan masalah “pasar” (kenyataan masyarakat) dengan seluruh dinamikanya.

Di pilpres 2024, banyak fariabel pasal dan pasar yang belum pernah terjadi pada pemilu-pemilu sebelumnya. Yang mencolok, pasal-pasal hukum tentang pencalonan capres-cawapres diperdebatkan di Mahkamah Konstitusi (MK) dan menghasilkan keputusan hukum dengan catatan pelanggaran etis ketua MK. Begitu juga dengan “pasar pemilih” yang menjadi target suara para paslon. Mereka digerakkan oleh aneka konsep dan strategi oleh semua paslon.

Namun, nalar masyarakat yang masih bertumpu pada realitas sosial yang masih serba kekurangan (sandang, pangan, dan papan) masih belum mampu menyerap isu-isu demokrasi yang dianggap elitis dan menjadi konsumsi kelas menengah. Berjaraknya antara nalar dan perasaan “kelas terdidik” dan “kelas bawah” mengabarkan tentang kenyataan adanya jurang pengetahuan dan ekonomi masyarakat Indonesia.

Sayangnya, jurang ini seringkali dimanfaatkan sebagai “modal elektoral”. Usaha pemerintah untuk menggelembungkan anggaran bantuan sembako di tahun politik terduga sangat kuat sebagai “strategi kesejahteraan” untuk paslon yang didukung pemerintah. Memang ada alibi yang bersifat faktual dengan mengajukan pertanyaan, “apa salahnya membantu masyarakat yang sedang membutuhkan”?

Tetapi, narasi itu mengandung makna secara tersirat dan tersurat sebagai upaya penggiringan pilihan elektoral. Personalisasi bantuan sembako sebagai upaya penggiringan pilihan elektoral oleh pejabat negara itu memang menyedihkan dari sisi keadilan masyarakat. Bagaimana mungkin uang yang bersumber dari rakyat dikonversi menjadi alat politik untuk paslon tertentu. Pestanya telah usai, tetapi ada banyak kesedihan menjelang pesta itu diselenggarakan.

 

Suasana Jelang Pesta

Pesta demokrasi tahun 2024 memang berbeda. Banyak drama-drama politik yang mengejutkan yang kelak mempengaruhi suasana pesta.

Dua aktor utama, Presiden Jokowi dan Ketua Umum the rooling party PDIP, Megawati Soekarno Putri berselisih jalan politik. Sang Presiden tengah berjuang melengkapi mimpi-mimpi politiknya dengan pengalaman sembilan tahun menahkodai kapal Indonesia. Sang Ibu memiliki mimpi dan agenda politik yang sama dengan panduan Soekarnoisme. Pisah jalan ini semakin berjarak hingga pesta itu dilangsungkan. Hasilnya, untuk sementara, Sang Presiden memenangkan angka elektoral sementara Sang Ibu bertahan pada posisi moralnya.

Jelang pesta berlangsung, banyak tokoh bangsa turun gunung untuk mengingatkan pemerintah, wabil khusus Sang Presiden untuk menjaga moralitas dan kualitas demokrasi yang telah ditebus dengan darah dan air mata bahkan nyawa. Para begawan dan intelektual melihat tanda-tanda yang nyata terhadap penyimpangan nilai-nilai luhur demokrasi yang dilakukan oleh rezim berkuasa. Tetapi, lagi-lagi, juga atas nama demokrasi, pemerintah hanya dapat menjawab, “serahkan kepada rakyat dan pada aturan yang berlaku”.

Jawaban yang tetap terkesan demokratik, tetapi tetap menyimpan motif politik partisan dalam banyak tindakan. Pernyataan Sang Presdien bahwa dirinya boleh berkampanye dalam satu frame dengan salah satu capres, kunjungan kerja Sang Presiden sambil makan bakso berdua dengan salah satu capres adalah bagian dari kampanye pencitraan diri. Situasi ini bagian dari “kesedihan demokrasi” jika dipandang dari aspek kesetaraan dan netralitas. Artinya, ungkapan netralitas Sang Presiden tidak berbanding lurus dengan tindakannya.

Dan sekarang, pestapun sudah usai. Namun sejumlah dugaan kecurangan dalam proses penghitungan suara masih bergema. Lagi-lagi, secara normatif, bagi paslon yang dinyatakan unggul sementara, seluruh dugaan bahkan tuduhan harus disalurkan kepada lembaga berwenang, ke KPU, Bawaslu, dan MK.

Pengalaman pilpres 2019 dengan polarisasi yang tajam, MK menjadi medan pertarungan sengketa hasil suara. Prabowo, sebagai capres yang menuntut dugaan kecurangan saat itu harus menyerah keputusan MK. Kekecewaanya segera dikubur dan bersedia menjadi bawahan pemenang Pilpres sebagai pebnatu Sang Presiden. Kini, mereka berdua bersatu dan diduga kuat memenangkan kompetisi dan bersiap menghadapi laporan kecurangan dari paslon penantangnya. Akankan suasana pilpres 2019 akan berualang di Pilpres 2024, yaitu bersatu kembalinya para kontestan demi persatuan Indonesia?

 

Kemenangan Elektoral, Kekalahan Moral

Disetujui atau tidak, pilpres 2024 menyediakan anomali antara demokrasi substansial dan demokrasi prosedural. Langkah-langkah politik rezim berkuasa, karena alasan elektoral, melupakan banyak dimensi etis demokrasi. Fakta ini memicu kalangan intelektual tertentu untuk menyuarakan pentingnya gagasan dan gerakan pemakzulan Sang Presiden.

Meskipun ide ini sulit diwujudkan, narasi ini diduga akan mewarnai pemerintahan 2024-2029 dengan kekuatan parlemen yang berbanding sama kuat. Jika kekuatan politik parlemen non koalisi Indonesia Maju solid menjadi kekuatan oposisi, maka kekuatan parlemen akan menjadi kekuatan kritis yang signifikan. Begitu pula dengan kekuatan civil society dan perguruan tinggi yang belakangan menggelisahkan parktik-praktik keculasan demokrasi.

Kemenangan elektoral hanya akan berujung pada dilantiknya presiden dan wakil presiden dengan seluruh perangkat kabinetnya. Sementara kekalahan moral akan berimbas pada bangkitnya kekuatan sosial kritis yang selama era kepemimpinan Presiden Jokowi makin hilang. Situasi ini akan berdampak positif bagi kehidupan demokrasi, yaitu dikembalikannya kekuatan penyeimbang sebagai kontrol kekuasaan. Tetapi, jika ajakan persatuan Paslon pemenang  dimaknai sebagai semata pragmatisme politik—apapunn alasannya—maka idealisme demokrasi untuk menciptakan kekuatan penyeimbang akan kembali sirna.

Akhirnya, kemenagan elektoral adalah kenyataan dari suatu pesta demokrasi meskipun dengan sejumlah kesedihan. Pada saat yang sama, kekalahan moral juga suatu kenyataan yang harus diterima sebagai konsekuansi dari kompetisi dalam demokrasi. Karena demokrasi sendiri tidak selalu ideal dalam kenyataan bahkan di negara pencetus demokrasi sendiri, Yunani.

*) Kolumnis, Tinggal di Bintaro, Tangerang Selatan

Artikel Terkait