Opini

Kemiskinan Sebagai Ladang Elektoral

Oleh : luska - Selasa, 27/02/2024 07:47 WIB

Penulis : Lutfhy Mutty

Republik Korea atau Korea Selatan merdeka pada 15 Agustus 1948. Dua tahun setelahnya, negara ini diinvasi oleh Korea Utara. Kedua negara sebangsa  kemudian terlibat perang selama 3 tahun (1950-1953). Membuat infrastruktur dan perekonomiannya hancur. Korsel menjadi negara agraris yg sangat miskin.  Pendapatan per kapita kurang dari $ 100. Keadaan itu jelas tidak lebih baik dari Indonesia yg setelah merdeka 1945, juga terlibat perang kemerdekaan hingga pengakuan kedaulatan 27 Desember 1949. Pendapatan per kapita Indonesia saat itu juga kurang dari $100. Artinya,  Korsel dan  Indonesia berangkat dari kondisi yg sama. Perkampungan kumuh, insrastruktur yg hancur, rakyat antri untuk mendapatkan bahan pokok, adalah pemandangan yg lumrah.

Tahun 1961  pemerintah Korsel meluncurkan program "Saemaul Undong". Yakni program pembangunan pedesaan yg penekanannya pada perubahan pola pikir masyarakat untuk memperbaiki nasib. Masyarakat diajak membangun kemampuan diri sendiri agar tumbuh rasa percaya diri akan potensi yg dimiliki. Bersamaan dengan itu, semangat kerjasama berdasarkan komunalisme tradisonal Korea yg mereka namakan "hyangyak"  dan "doorae" (semacam gotong royong) didorong dan ditumbuhkan. Harapannya agar  mentalitas, etos kerja keras, semangat kerjasama dan mau berhemat menjadi budaya kerja baru. Saemaul Undong tidak semata tertuju pada pembangunan fisik tetapi juga pembangunan mental spiritual  sebagai energi untuk kemajuan bangsa.  Suatu budaya kerja baru yg tidak melulu tergantung pada alam. 
Korea saat itu sadar betul belum mampu menyediakan beras yg cukup bagi warganya. Pemerintah lalu menghimbau rakyatnya hanya makan nasi satu kali sehari.  Selebihnya hanya boleh makan bubur. Dan itu berlaku mulai dari istana presiden hingga ke rumah2 rakyat. Termasuk saat presiden menjamu tamu2 negara. Dikisahkan, di masa itu bila warga Korea berjumpa, maka mereka saling bertanya apakah hari ini sudah makan nasi. 

Douglas Mc Arthur, jenderal yang memimpin pasukan Amerika dalam membantu pasukan Korsel semasa perang 1950-1953, meramalkan bahwa Korsel perlu waktu 100 tahun untuk pulih dari kehancuran akibat perang. Dan ramalan itu ternyata keliru. Ramalan Mc Arhtur yg keliru itu saat ini dibingkai dalam pigura dan dipajang di Musium Nasional Kontemporer Korsel. 

Kesungguhan pemerintah bekerja membangun negeri membuahkan hasil. 50 tahun kemudian Korsel menjadi negara industeri maju. Dibuktikan dgn pendapatan per kapitanya pada 2010 sebesar $22.151. Berada pada urutan 11 negara2 G20 dgn PDB 1.630,53. Bandingkan dgn Indonesia yg pendapatan per kapitanya pada 2010 hanya $3.004,9. Dengan PDB 1.058,42, berada pada urutan 16.
Dengan tingkat kemakmuran yg sudah mereka capai, maka jangan heran jika kita tidak akan menyaksikan Presiden Korsel berkeliling negeri membagikan aneka macam BLT kepada rakyatnya. 

PEMIMPIN PEMERINTAHAN ADALAH KUNCI KEMAJUAN

Bagi mereka yg pernah berkunjung ke Korsel, gambaran Korsel sebagai sebuah negara industri maju sungguh terlihat jelas. Setidaknya dapat kita saksikan di jalan2. Kendaraan yang menggelinding lalu lalang di jalan raya didominasi  produk Korsel dgn berbagai merek dan varian. Seperti KIA, Hyundai, Samsung dan Daewoo. Dengan jumlah terbatas, terlihat mobil mewah produk asing sekelas Rolls Royce, Mercy, BMW, Bently, dan Range Rover. Mungkin karena dendam masa lalu ketika Jepang menjajah negeri ini, maka mobil2 produk Jepang jarang dijumpai. Jika di Indonesia Alphard adalah tunggangan masyarakat kelas menengah atas, maka di Korsel hampir tidak ditemukan. Bahkan Landcruiser pun tak terlihat di jalan. Saya kemudian bertanya dalam hati. Kapan jalan raya di Indonesia dipenuhi mobil produk sendiri dgn merek sendiri? Semoga suatu saat mobil SMK akan manjadi raja jalanan di negeri ini?

Gambaran Korsel yg saya kemukakan di atas menunjukkan bahwa pemimpin pemerintahan adalah hal yg sangat krusial bagi kemajuan bangsa. Maka dibutuhkan kehadiran pemimpin pemerintahan pada semua tingkatan yg punya visi jelas,  yg berkarakter dan integritas, yg tulus bekerja utk rakyatnya, yg satunya kata dan perbuatannya, yg tidak sekedar pencitraan. Bukan pemimpin yg menipu rakyatnya dengan pencitraan. Bukan pemimpin yg memanfaatkan kebodohan dan kemiskinan rakyatnya sebagai ladang elektoral lewat berbagai macam BLT.

60 tahun lalu rakyat Korsel antri untuk mendapatkan bahan makanan. Hal yg sama juga terjadi di Indonesia. 60 tahun kemudian hal itu tidak dijumpai lagi di Korsel. Sementara di Indonesia kelangkaan bahan makanan membuat rakyat harus antri dan berebut untuk mendapatkannya, masih terjadi di mana mana. Bukan hanya antri bahan makanan. Tapi di berbagai daerah terjadi antri BBM. 

Atau memang kemiskinan sengaja dipelihara agar mudah dimanfaatkan untuk kepentingan politik? Wallahu 'alam. Sungguh memalukan dan memilukan.

Artikel Terkait