
Oleh: Defiyan Cori
Ekonom Konstitusi
(Sebuah Catatan Atas Pendirian BPI Danantara)
Lembaga keuangan dan perbankan sangat rentan terhadap kasus permainan kredit yang berujung menjadi skandal. Sebagai lembaga perantara (intermediary institution) yang mengelola Dana Pihak Ketiga (DPK) melalui tabungan, deposita, saham dan jenis lain, jelaslah sektor industri keuangan dan perbankan harus menjaga kepercayaan publik (public trust). Tidak terkecuali dengan Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (BPI Danantara) yang telah diresmikan oleh Presiden RI Prabowo Subianto pada Senin 24 Februari 2025 merupakan lembaga pengumpul laba dan atau dividen Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Lembaga yang ditujukan untuk mendukung investasi (pembiayaan) berbagai proyek embangunan bangsa dan negara, khususnya program hilirisasi industri tidaklah jauh berbeda dengan lembaga perbankan pemberi kredit.
Akan halnya, kasus pemberian kredit kepada debitur memang berpotensi menjadi skandal atau kejahatan para bankir (criminal banker) apalagi yang memiliki skala usaha besar atau korporasi taipan. Telah banyak kasus skandal kredit perbankan yang dilatarbelakangi oleh adanya permainan para bankir dengan debitur sebagai pihak yang mengajukan pinjaman. Bahkan, tidak jarang terjadi perdagangan terselubung (insider trading) dalam proses pengajuan kredit ini, yangmana pemilik bank sekaligus memiliki perusahaan lain sebagai penerima kredit. Apalagi, pasca paket kebijakan Oktober 1988 atau dikenal dengan Pakto 88 yang merupakan paket kebijakan ekonomi deregulasi dan debirokratisasi sektor keuangan dan perbankan.
Adapun kebijakan paling liberal dari Pakto 88 dalam rentang sejarah Indonesia, yaitu hanya dengan modal Rp10 miliar (pada tahun 1988) siapapun dapat mendirikan bank baru sehingga terjadilah skandal yang berdampak pada krisis ekonomi tahun 1997. Salah satu contoh kasus skandal besar kala itu, yaitu terjadi di Bank Bali dengan diawali oleh pengalihan hak tagih Bank Bali yang menjerat Djoko Tjandra. Skandal ini bermula pada saat bank tersebut kesulitan menagih piutang dengan nilai total Rp3 triliun yang tertanam di Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI), Bank Umum Nasional (BUN), dan Bank Tiara pada 1997. Dan, kasus ini merupakan salah satu permainan perdagangan terselubung (insider trading) melalui pemberian kredit dalam jumlah besar kepada perusahaan yang pemiliknya juga pemegang saham perbankan.
Lalu, bagaimana halnya dengan kasus kredit pemberian kepada perusahaan tekstil besar PT. Sritex oleh Bank Pembangunan Daerah Jawa Barat dan Banten Tbk (BJBR) atau BJB? Sebab, Direktur Utama (Dirut) BJB Yuddy Renaldi telah dibebastugaskan berdasar keputusan Dewan Komisaris per tanggal 7 Maret 2025? Benarkah yang bersangkutan tersangkut dengan skandal kredit yang disalurkan ke PT. Sritex sejumlah Rp662 miliar dan debiturnya kemudian mengalami kebangkrutan? Jika potensi kebangkrutan PT. Sritex telah diketahui sejak dini melalui laporan keuangannya, maka dapat dipastikan bahwa keputusan pemberian dan penyaluran kreditnya bermasalah. Keterlibatan para direksi atau tidak hanya Dirut BJB patut ditelisik apalagi keputusan diambil secara kolektif kolegial, kecuali yang terjadi tidak demikian.
Hal ini perlu dilakukan penyelidikan lebih lanjut oleh pihak aparat penegak hukum (APH), diantaranya mulai dari proses pengajuan kredit, penilaian kredit (credit appraisal) oleh tim analis kredit BJB sampai proses pencairannya. Melalui tahapan proses penilaian kredit inilah akan dapat diketahui dengan jelas apakah persetujuan kredit layak dan sesuai peruntukannya. Termasuk, apakah terjadi kongkalikong dalam proses penilaian kredit dan persetujuan jumlah nominal pencairan serta adanya perdagangan terselubung (insider trading). Proses hukum di pengadilan nanti yang akan memutuskan apakah terdapat tindakan penyimpangan dalam proses penilaian dan persetujuan kredit sejumlah Rp662 miliar. Seharusnya, kasus seperti ini tidak akan terjadi lagi apabila Otoritas Jasa Keuangan (OJK) memainkan peran pentingnya di bidang pengawasan sektor industri lembaga jasa keuangan dan perbankan.
Oleh karena itu, mengacu pada berbagai kasus atau skandal kredit perbankan tersebut mampukah BPI Danantara membangun kepercayaan publik atas pengelolaan laba dan atau dividen berbagai BUMN tersebut. Tidak hanya soal potensi terjadinya perdagangan terselubung (insider trading) sebagaimana banyak kasus terjadi pada lembaga keuangan dan perbankan swasta maupun BUMN/BUMD. Lebih dari itu, penunjukan pengelola BPI yang memiliki rekam jejak (track record) bersih menjadi sinyal bagi munculnya kepercayaan publik diawal pendirian. Sebaliknya, apabila para pengelola justru bagian dari masalah dan berpotensi melakukan perdagangan terselubung atas tata kelola yang baik (Good Corporate Governance/GCG) BPI Danantara. Maka, BPI Danantara akan seperti kata pepatah akhirnya layu sebelum berkembang, apalagi jajaran dewan pengawasnya tidak independen.