Nasional

Ahmad Basarah: Film G30S/PKI Merusak "Nation dan Character Building" Generasi Muda Indonesia

Oleh : very - Sabtu, 23/09/2017 12:13 WIB

Ketua Fraksi PDI Perjuangan MPR RI, Ahmad Basarah. (Foto: ist)

Jakarta, INDONEWS.ID - Isu PKI kembali menghangat seiring datanganya peringatan tragedi gerakan 30 September 1965 (versi pemerintahan Orde Baru) atau Gerakan Satu Oktober (Gestok) yang terjadi pada 1 Oktober 1965 (versi Soekarno). Sekelompok orang sengaja membangkitkan kembali “ular mati” tersebut untuk kepentingan politiknya masing-masing.

Terakhir, muncul diskusi hangat terkait perlu tidaknya menonton film “Pengkianatan PKI”, sebuah film yang diproduksi pada 1984, saat era kekuasaan Presiden Soeharto masih berjaya.

Ketua Fraksi PDI Perjuangan MPR RI, Ahmad Basarah mempertanyakan relevansi pengangkatan isu PKI, termasuk penayangan film tersebut dengan mempropagandakan narasi sejarah G30S/PKI hanya mengikuti cerita yang dibuat rezim Orde baru.

“Apakah masih relevan lagi jika saat ini bangsa Indonesia masih ingin memprogandakan kembali narasi sejarah G.30S/PKI hanya mengikuti cerita yang dibuat oleh rezim Orde Baru melalui pemutaran Film G30S/PKI. Selain rezim tersebut sudah tiada dan dijatuhkan rakyat dengan membawa stigma sebagai rezim koruptor sebagaimana TAP MPR Nomor XI/MPR/1998, juga narasi Film G30S/PKI bukanlah fakta yang obyektif dan komprehensif tentang sejarah bangsa Indonesia di tahun 1965-1967,” ujar Basarah melalui siaran pers seperti dikutip Liputan6.com.

Film tersebut, menurut Basarah, secara konten mengandung unsur kekerasan dan hanya mempertontonkan perpecahan ditubuh TNI dan pertikaian politik para pendahulu bangsa yang sangat merusak nation and character building generasi muda bangsa Indonesia.

Karena itu, jika konsisten untuk menjaga persatuan bangsa dengan sungguh-sungguh, Basarah mengimbau semua pihak untuk mengakhiri sisa-sisa konflik para pendahulu bangsa tersebut.

“Masih banyak hal-hal positif yang telah diperbuat para pendahulu bangsa Indonesia yang dapat kita jadikan suri tauladan bagi generasi bangsa berikutnya. ‘Marilah Kita Warisi Api Perjuangan Para Pendahulu Bangsa Bukan Mewarisi Abunya’,” ujarnya.

Membicarakan kebangkitan PKI dan komunisme dalam sistem negara hukum Pancasila, kata Basarah, merupakan hal yang tidak berguna. Selain tiap-tiap bangsa wajib bertuhan menurut falsafah sila Ketuhanan dalam Pancasila sebagaimana dipidatokan Bung Karno tanggal 1 Juni 1945, PKI juga sudah mati permanen di Indonesia.

Basarah mengatakan, TAP MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 tentang Pembubaran PKI dan Sebagai Partai Terlarang di Indonesia sudah final karena berdasarkan ketentuan pasal 2 ayat (1) TAP MPR Nomor I/MPR/2003 Tentang Peninjauan Terhadap Materi dan Status Hukum TAP MPRS/MPR sejak Tahun 1960-2002 telah dinyatakan masih berlaku. Sementara, lembaga MPR RI pasca perubahan UUD Tahun 1945 menjadi UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pada tahun 1999-2002, sudah tidak lagi memiliki kewenangan apapun untuk membuat ketetapan MPR yang bersifat mengatur keluar (regeling).

“Dengan demikian tidak ada lagi celah hukum apapun bagi bangkitnya PKI di Indonesia karena TAP MPR Nomor XXV/MPRS/1966 sudah tidak dapat lagi cabut oleh siapapun dan lembaga negara manapun termasuk oleh MPR RI sendiri,” ujarnya.

 

Konsekuensi Gelar Pahlawan Nasional

Basarah mengatakan, rezim Orde Baru sebagai sang pemenang peristiwa pemberontakan politik tahun 1965 tersebut telah ditumbangkan rakyat melalui gerakan Reformasi tahun 1998 dengan epilog ditetapkannya mantan Presiden Soeharto sebagai Pahlawan Orde Baru sebagai Tersangka Korupsi melalui TAP MPR Nomor XI/MPR/1998.

“Haruskah sejarah kelam bangsa Indonesia tahun 1965 itu mau terus kita propagandanya menurut versi rezim yang korup dan sudah tidak berlaku lagi?,” tanya Basarah.

Jika melihat sisi sejarah yang lain di luar narasi versi Orde Baru, Basarah mengatakan, kita dapat melihat pandangan dan sikap Presiden Soekarno pada waktu itu.

Menurut Presiden Soekarno – seperti terlihat dalam suratnya kepada Pimpinan MPRS RI tanggal 10 Januari 1967 yang dikenal dengan Pidato Pelengkap Nakwaksara - peristiwa G30S adalah suatu “complete ovverompeling” atau penyerbuan yang lengkap/sempurna bagi dirinya.

Berdasarkan penyelidikannya, Bung Karno menjelaskan bahwa Peristiwa G30S itu ditimbulkannya oleh pertemuan tiga sebab, yaitu :(a) Keblingernya pimpinan PKI, (b) Kelihaian subversi nekolim (neo kolonialisme dan imperialisme), (c) Adanya oknum-oknum yang tidak benar.

Oleh karena itu, Presiden Soekarno juga mengutuk Peristiwa Gestok 1965 tersebut dan menyatakan yang bersalah harus dihukum. Presiden Soekarno kemudian membentuk Mahkamah Militer Luar Biasa (Mahmilub) untuk mengadili pelaku-pelaku pemberontakan tersebut.

Presiden Soekarno juga menolak permintaan MPRS harus bertanggung jawab sendiri atas peristiwa Gestok tersebut. Presiden Soekarnopun menanyakan dalam suratnya tersebut, siapa yang bertanggung jawab atas usaha pembunuhan terhadap Presiden Soekarno dalam penggranatan di Cikini, pemberondongan dari pesawat udara oleh Maukar, pencegatan bersenjata di gedung Stanvac dan di Cisalak. Presiden Soekarno pun meminta “kebenaran dan keadilan” atas peristiwa tersebut.

Teori Presiden Soekarno yang menyebutkan bahwa Peristiwa Gestok adalah “penyerbuan yang lengkap/sempurna” terhadap dirinya kemudian menjadi kenyataan. Pidato Nawaksara dan Pelengkap Nawaksara Presiden Soekarno yang diminta dan disampaikan kepada Pimpinan MPRS RI untuk mempertanggungjawabkan Persitiwa G.30S/PKI pada waktu itu ditolak MPRS.

Setelah Pimpinan dan anggota MPRS diganti dengan orang-orang yang anti terhadap Presiden Soekarno, yaitu antara lain Ketua MPRS Chairul Saleh digantikan Jenderal TNI AD A.H. Nasution dan Wakil Ketua MPRS Ali Sastriamidojo diganti Osa Maliki, lembaga itu kemudian mengeluarkan Ketetapan MPRS Nomor XXXIII/MPRS/1967 yang mencabut kekuasan Presiden Soekarno.

Tragisnya, kata Basarah, dalam bagian menimbang/konsideran Tap MPRS tersebut dituliskan, berdasarkan laporan Panglima Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (dhi. Jenderal Soeharto) dituduhkan bahwa Presiden Soekarno terlibat dalam peristiwa G.30S/PKI. Berdasarkan tuduhan itulah akhirnya MPRS mencabut kekuasaan Presiden Soekarno.

Dalam pasal 6 Tap MPRS XXXIII/1967 itu terdapat ketentuan bahwa Jenderal Soeharto sebagai Pejabat Presiden berkewajiban untuk melakukan proses peradilan atas tuduhan Bung Karno terlibat dalam Peristiwa G.30S/PKI. Namun, sampai Bung Karno meninggal dunia pada tanggal 21 Juni 1970 tidak pernah ada proses peradilan apapun, apalagi sebuah peradilan yang fair atas tuduhan keji yang dialamatkan kepada Bung Karno. Akhirnya Sang Proklamator Bangsa Indonesia itu meninggal dunia dengan membawa beban yang amat berat bagi diri dan keluarganya sebagai tertuduh pengkhianat kepada bangsa dan negara yang ia ikut susah payah mendirikannya, melalui pemberontakan G30S/PKI.

Namun seiring perjalanan waktu dan sejarah, tuduhan keji Bung Karno melakukan pengkhianatan karena mendukung Peristiwa G.30S/PKI itupun diralat oleh Pemerintah Republik Indonesia. Pada tanggal 7 November 2012 melalui Keputusan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono Nomor 83/TK/Tahun 2012, Bung Karno mendapatkan status kenegaraan sebagai Pahlawan Nasional.

Basarah mengatakan, pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Bung Karno tersebut memiliki implikasi hukum gugurnya tuduhan Bung Karno pernah melakukan pengkhianatan kepada bangsa dan negara sebagaimana tuduhan dalam Tap MPRS Nomor XXXIII/1967 tersebut. Pasalnya, dalam pasal 25 Undang-Undang Nomor 20 tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa dan Tanda Kehormatan diatur ketentuan bahwa syarat seorang tokoh bangsa Indonesia dapat memperoleh status gelar Pahlawan Nasional adalah apabila semasa hidupnya (antara lain) tidak pernah dihukum apalagi berkhianat kepada bangsa dan negara.

Meskipun demikian, kata Basarah, Bung Karno kini sudah tiada. Bung Karno telah pergi meninggalkan kita semua sejak 47 tahun lalu. Keluarga besar Bung Karno dan para pengikut-pengikutnya pun sudah mengikhlaskan kepergiannya dan peristiwa kelam yang dialami Bung Karno dan bangsa Indonesia.

“Saya yakin demi persatuan bangsa Indonesia, kita semua sudah memaafkan kejahatan politik kepada seorang Pendiri Bangsa, namun tidak untuk kita lupakan agar kita semua dapat memetik hikmahnya, forgiving but not forgetting, pungkasnya. (Very)

 

 

Artikel Terkait