INDONEWS.ID

  • Minggu, 11/10/2020 15:59 WIB
  • Omnibus Law: Sikap Pragmatis dan Penegakan Hukum

  • Oleh :
    • indonews
Omnibus Law: Sikap Pragmatis dan Penegakan Hukum
Ilustrasi. (Foto: Ist)

Oleh : Erlangga Pratama*)

INDONEWS.ID -- Setelah disahkan oleh DPR, Senin (5/10), Undang-Undang Cipta Kerja pun berlaku sudah. Untuk mengimplementasikan ketetapan yang terdiri atas 15 bab, 174 pasal , dan mencakup 9 bidang itu dibutuhkan aturan turunan. Sebanyak 40 aturan baru yang terdiri atas 35 peraturan pemerintah (PP) dan 5 peraturan presiden (perpres) tengah disiapkan untuk membuat beleid tersebut operasional. UU yang terdiri dari 15 bab dan 174 pasal itu mencakup 9 bidang yakni penyederhanaan perizinan, persyaratan investasi, kemudahan, pemberdayaan, dan perlindungan UMKM, dukungan riset dan inovasi, ketenagakerjaan, pengenaan sanksi, kawasan ekonomi, kemudahan berusaha, pengadaan lahan, investasi dan proyek pemerintah dan administrasi pemerintahan.

Baca juga : Pemberdayaan Perempuan Melakukan Deteksi Dini Kanker Payudara Melalui Pelatihan "Metode Sadari Dan Pembuatan Teh Herbal Antioksidan"

Merespons adanya Omnibus Law, Peraturan Pemerintah (PP) klaster ketenagakerjaan dan klaster usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) yang menjadi turunan Undang-Undang Cipta Kerja (UU Ciptaker) dipastikan rampung pada akhir Oktober dan November 2020. Seiring dengan itu, sedikitnya 153 perusahaan penanaman modal asing (PMA) siap masuk ke Indonesia, karena menyambut positif UU Ciptaker.

Presiden Joko Widodo menegaskan Undang-Undang Cipta Kerja dibutuhkan untuk mempercepat transformasi ekonomi dan membuka lapangan kerja baru sebanyak-banyaknya. Presiden juga menyebut terjadinya penolakan dan aksi demonstrasi di berbagai daerah antara lain dipicu oleh maraknya disinformasi dan hoaks di media sosial soal UU tersebut. Presiden meluruskan sejumlah isu terkait UU Ciptaker, antara lain mengenai penghapusan upah minimum provinsi, upah minimum kabupaten/kota dan upah minimum sektoral provinsi.

Baca juga : Visiting Professor Pandemi: Dunia Harus Siap

 

Penegakkan Hukum

Baca juga : Persahabatan yang Tak Lekang oleh Waktu, Perbedaan Profesi, dan Pilihan Politik

KSPI dalam siaran pers tanggal 9 Oktober 2020 menyatakan, mogok nasIonal selama 3 hari yang dilakukan Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) bersama 32 federasi telah berakhir tanggal 8 Oktober 2020. Untuk langkah selanjutnya, yang akan diambil para serikat buruh akan diumumkan secara resmi dalam konferensi pers di hari Senin, tanggal 12 Oktober 2020 jam 11.00 wib di Jakarta. Presiden KSPI Said Iqbal menjelaskan, langkah lebih lanjut yang akan diambil secara konstitusional antara lain membuat gugatan melalui jalur hukum untuk membatalkan omnibus law UU Cipta Kerja, melanjutkan gerakan aksi secara konstitusional, serta melakukan kampanye kepada masyarakat nasional maupun internasional tentang alasan mengapa buruh menolak omnibus law khususnya klaster ketenagakerjaan.

Sementara itu, sejumlah guru besar, dekan dan akademisi dari 67 perguruan tinggi di Tanah Air menyatakan keberatan dengan pengesahan Undang-undang Cipta Kerja (Ciptaker). Akademisi menilai pengesahan UU Ciptaker oleh DPR terburu-buru. Guru Besar Universitas Padjadjaran itu mengatakan pernyataan sikap para guru besar, dekan maupun akademisi itu, merupakan bentuk tanggung jawab kaum akademik dan intelektual. Susi menjelaskan pengesahan UU Ciptaker pada 5 Oktober lalu dilakukan pada tengah malam. Padahal, biasanya pekerjaan politik yang dilakukan tengah malam seringkali berdekatan dengan penyimpangan.

Sebelumnya terinformasi bahwa ada 12 rektor dari perguruan tinggi negeri dan swasta masuk dalam anggota Satuan Tugas Bersama Pemerintah dan Kamar Dagang dan Industri Indonesia (KADIN) untuk Konsultasi Publik Omnibus Law. Satgas membantu penyusunan RUU Omnibus Law. Ke-12 rektor yang menjadi anggota Satgas Omnibus Law itu masing-masing dari Universitas Gadjah Mada, Universitas Indonesia, Institut Teknologi Bandung, Universitas Kristen Indonesia, Universitas Paramadina, Universitas Airlangga, Universitas Diponegoro, Universitas Sumatera Utara, Universitas Hasanuddin, Universitas Mulawarman, Universitas Udayana, dan Universitas Sam Ratulangi.

Ke-12 rektor itu termasuk dari 127 anggota Satgas Omnibus Law, yang juga berasal dari perwakilan kementerian/lembaga dan pengusaha. Satgas ini diketuai oleh Ketua KADIN Rosan Roeslani dan diisi delapan wakil ketua. Susunan pembentukan satgas dimuat dalam Keputusan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian No. 378 Tahun 2019, yang ditandatangani oleh Menteri Airlangga Hartarto pada 9 Desember 2019. Ada tiga tugas utama Satgas. Pertama, melakukan konsultasi publik Omnibus Law penciptaan lapangan kerja dan perpajakan. Kedua, melakukan inventarisasi masalah dan memberikan masukan demi penyempurnaan Omnibus Law dari hasil konsultasi publik. Ketiga, melaksanakan tugas lain sesuai arahan Menteri Airlangga.

Ada beberapa pengusaha dan tokoh masyarakat menjadi anggota Satgas, antara lain: James Riady, Jhonny Dharmawan, Erwin Aksa, Anton Supit, Haryadi Sukamdani, Indroyono Soesilo, Suryadi Sasmita, Carmelita Hartoto, Anies Baswedan, Abdullah Azwar Anas, Suryo Pratomo, Wahyu Muryadi, Tito Sulistio, John Prasetyo dan Umar Juoro (https://tirto.id/12-rektor-dari-ugm-ui-hingga-itb-masuk-anggota-satgas-omnibus-law-f5Mj).

Sedangkan, sejumlah kepala daerah tercatat menolak Omnibus Law antara lain Gubernur Jawa Barat (Jabar) Ridwan Kamil, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan, Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) Sri Sultan Hamengkubuwono X, Gubernur Kalimantan Barat Sutarmidji, Gubernur Sumatra Barat Irwan Prayitno, Bupati Bandung Barat Aa Umbara, Bupati Bandung Dadang M Naser, Wali Kota Sukabumi Ahmad Fahmi, Bupati Subang H Ruhimat, Bupati Garut Rudi Gunawan, Bupati Tegal Umi Azizah, Bupati Limapuluh Kota Irefendi Arbi, dan Wali Kota Malang Sutiaji (https://republika.co.id/berita/qhwsjj484/daftar-gubernur-dan-wali-kotabupati-yang-tolak-omnibus-law).

Ruang dialog terkait Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja yang telah disetujui DPR untuk disahkan menjadi UU sangat dibutuhkan. Ini karena komunikasi di antara berbagai pihak terkait peraturan itu mendesak dilakukan di tengah munculnya unjuk rasa memprotes RUU tersebut di sejumlah daerah seperti Kota Palu, Palembang, Bandung, Bogor, Jakarta, dan sejumlah lokasi lain. Di Ibu Kota, 18 halte Trans-Jakarta dan pos polisi dilaporkan rusak. Gelombang aksi demonstrasi menolak UU Cipta Kerja berpotensi memunculkan klaster baru penularan Covid. Aksi unjuk rasa yang marak digelar di berbagai daerah dinilai memicu lonjakan kasus Covid-19. Peserta demonstrasi melakukan isolasi mandiri selama 10 s.d 14 hari untuk mencegah penyebaran Covid-19. Sedangkan, Polri menyatakan sebanyak 145 dari total 3.862 orang yang diduga terlibat demonstrasi penolakan UU Cipta Kerja di seluruh Indonesia reaktif virus Corona setelah menjalani tes cepat.

Menko Polhukam Mahfud MD menggelar jumpa pers di Kantor Kemenko Polhukam Jakarta Pusat. Ia menegaskan pemerintah akan segera menindak tegas aksi yang menimbulkan ketakutan dan kerusuhan di tengah masyarakat. Sementara itu, analis intelijen dan keamanan Stanislaus Riyanta menilai aksi para mahasiswa dan buruh itu sebelumnya murni menyampaikan aspirasi, namun dalam perjalanannya ada penyusup. Para penyusup yang melakukan tindakan kekerasan dan brutal itu membuat aksi unjuk rasa menjadi tidak simpatik dan justru merugikan masyarakat.

Stanislaus menjelaskan, aksi perusakan seperti pembakaran halte busway di Jakarta, perusakan kendaraan polisi termasuk ambulans, menunjukkan para pelaku mempunyai tujuan lain, dan bukan menolak UU Cipta Kerja.

Berbagai aksi anarkistis dan perusakan fasilitas umum selama aksi di banyak daerah kemarin membuat kerugian yang sangat besar, terutama terhadap masyarakat yang sehari-hari menggunakan fasilitas umum. "Pemerintah dalam hal ini aparat keamanan harus bertindak tegas dan melakukan proses hukum terhadap pelaku perusakan dan kekerasan dalam unjuk rasa menolak UU Cipta Kerja tersebut. Jangan biarkan negara ini menjadi arena bagi kelompok-kelompok yang menunggangi isu populis demi kepentingannya,” ujar mahasiswa Doktoral Universitas Indonesia (UI) tersebut. Sayangnya, sejauh ini masyarakat menilai “penegakkan hukum” atas aksi anarkis belum menyentuh aktor intelektual dan donaturnya, sehingga dapat dinilai belum “all out” dan hanya merupakan “gimmick” saja. Seharusnya, penegakkan hukum harus menimbulkan rasa jera dan ketakutan, dan aparat negara harus banyak belajar dari “pengalaman-pengalaman” sebelumnya. Semoga.

*) Penulis adalah pemerhati masalah nasional.

Artikel Terkait
Pemberdayaan Perempuan Melakukan Deteksi Dini Kanker Payudara Melalui Pelatihan "Metode Sadari Dan Pembuatan Teh Herbal Antioksidan"
Visiting Professor Pandemi: Dunia Harus Siap
Persahabatan yang Tak Lekang oleh Waktu, Perbedaan Profesi, dan Pilihan Politik
Artikel Terkini
Didik J Rachbini: Gagasan Menyatukan Anies dan Ahok di Pilgub Jakarta Eksperimen yang Baik dan Berani
Menkes Ungkap Penyebab Rendahnya Penurunan Angka Prevalensi Stunting
Bakar SDN Inpres Pogapa Intan Jaya, TPNPB-OPM: Merdeka Dulu Baru Sekolah
Senyum Bahagia Rakyat, Pj Bupati Purwakarta Buka TMMD Ke-120 Kodim 0619/Purwakarta
Pemerintahan Baru Harus Lebih Tegas Menangani Kelompok Anti Pancasila
Tentang Kami | Kontak | Pedoman Siber | Redaksi | Iklan
legolas