INDONEWS.ID

  • Rabu, 10/02/2021 13:30 WIB
  • Jejak Alumni FISIP UI: Mengenal Rahmi Hidayati, Sang Penakluk Gunung dengan Kebaya

  • Oleh :
    • Rikard Djegadut
Jejak Alumni FISIP UI: Mengenal Rahmi Hidayati, Sang Penakluk Gunung dengan Kebaya
Rahmi Hidayati, Sang Penakluk Gunung dengan berkebaya

Sosok, INDONEWS.ID - Edisi menelusuri jejak para alumni Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia (FISIP-UI) masih tentang tokoh kaum Hawa.

Kali ini, kita akan mengenal seorang perempuan hebat alumni FISIP UI yang telah berkontribusi besar dalam memperkenalkan salah satu warisan budaya Indonesia yakni `kebaya`, tidak hanya dalam negeri tapi juga manca negara.

Baca juga : Jejak Alumni FISIP UI: Mengenal Theo L. Sambuaga, Tokoh Pergerakan & Politisi Ulung

Menarik untuk disorot dan diangkat adalah soal cara bagaimana perempuan ini memperkenalkan kebaya ke seluruh dunia dengan model yang sangat unik, yakni dengan naik gunung.

Karena itu hal itulah, banyak media baik online hingga media maistream seperti TV ikut menyorot model kampanye yang dilakukan perempuan lulusan 1995 FISIP UI ini.

Penasaran seperti sosoknya dan apa saja kontribusi yang diberikannya bagi negeri ini! Simak selengkapnya!

Sosok Rahmi Hidayati

Perempuan kelahiran Dumai, Riau, sebuah Kota dengan wilayah administrasi terluas ketiga di Indonesia berdasarkan statusnya sebagai kotamadya ini bernama lengkap Rahmi Hidayati.

Rahmi lahir pada 26 Januari 1968. Sejak 2004 hingga sekarang, Rahmi merupakan Direktur Utama PT Share Communication, sebuah perusahan konsultasi publik.

Namun sebelum itu, sejak 1995, Rahmi menekuni boleh dibilang cukup lama dunia jurnalistis dengan menjadi wartawan di media Harian Bisnis Indonesia sejak 1995.

Anggota aktif Asosiasi Perusahaan Public Relations Indonesia (APPRI) ini sempat mengenyam pendidikan jurusan Sastra Perancis Fakultas Sastra Universitas Indonesia namun tidak diselesaikannya.

Ia justru tertarik dengan ilmu komunikasi dan lulus dengan gelar Sarjana Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Indonesia pada 1995. Selanjutnya, ia merampungkan gelar masternya dari universitas yang sama dengan gelar Magister Managemen FE UI pada 2011.

Rahmi juga tercatat sempat mengikuti pendidikan dan pelatihan antara lain Financial Planner, Universitas Indonesia pada 2007 dan Menghitung ROI dalam PR: Solusi Atasi Keraguan Manajemen, Februari 2005 serta Public Relations Outlook 2007: Barriers BS Challenges, November 2006.

Rahmi adalah pendiri komunitas Perempuan Berkebaya Indonesia dan menjabat sebagai ketua komunitas.

Kontribusi Bagi Negeri

Rahmi kerap dilirik media setelah menjadi motor penggerak di balik berbagai kampanye dan gerakan sosial yang dilakukan sebuah komunitas bernama Perempuan Berkebaya Indonesia.

Komunintas ini berusaha mengenalkan kebaya kepada publik yang lebih luas. Mereka melakukan kegiatan di beberapa tempat untuk memberikan kesadaran bahwa kebaya bukan hanya dipakai saat acara resmi, tetapi bisa juga dipakai dalam kehidupan sehari-hari.

Rahmi Hidayati sendiri merupakan founder dari Komunitas Perempuan Berkebaya ini. Satu-satunya semangat, mimpi dan cita-cita yang mendorongnya melakukan berbagai kegiatan tersebut ialah karena ia ingin menjadikan kebaya dikenal di dunia, layaknya kimono di Jepang dan Sari di India.

Kampanye Unik

Bentuk dan model kampenye yang dilakukannya bersama rekan-rekan di komunitas terbilang unik. Pasalnya, ia sering menjelajah sejumlah gunung di Indonesia mengenakan kebaya.

Pernah membayangkan hiking atau naik gunung mengenakan kain batik dengan kebaya? Bagi para pendaki perempuan, tentu saja mereka akan berpikir dua kali untuk melakukannya. Selain tidak nyaman, memakai kebaya bisa jadi tindakan membahayakan diri sendiri saat berada di alam.

Tapi tidak dengan Rahmi Hidayati, perempuan 52 tahun ini sudah hampir 5 tahun memelihara kebiasaan unik ini karena rasa cintanya terhadap kain batik dan berupaya melestarikan untuk menarik minat anak muda.

Rahmi ingin membuktikan bahwa kebaya bisa dipakai kapan pun dan di mana pun, kendati itu di gunung sekalipun. Ia ingin membantah anggapan memakai kebaya adalah sesuatu yang rumit.

Tak main-main, beberapa gunung tertinggi Indonesia, seperti Gunung Semeru, Gunung Gede, Gunung Ceremai, Gunung Prau, dan Gunung Merbabu pernah ia jejaki dengan memakai kebaya dari titik awal pendakian hingga puncak. Ia tidak pernah mengeluh ribet atau bahkan mengganti baju.

Rinjani dan Cintanya pada Kebaya

Rinjani dikenal sebagai salah satu puncak tertinggi di Indonesia dengan ketinggian 3726 meter di atas permukaan laut (mdpl), mengalahkan puncak Mahameru, gunung tertinggi di pulau Jawa.

Di perjalanan menuju puncak gunung yang terletak di Pulau Lombok Nusa Tenggara Barat (NTB) itulah Rahmi tiba-tiba terpukau dengan penampilan sekelompok warga yang akan bersembahyang di puncak gunung.

Mereka mendaki gunung tersebut lengkap dengan pakaian adat, termasuk beberapa perempuan yang mengenakan kebaya putih ketat dan kain ketat, plus sepatu berhak yang biasanya dikenakan dalam acara pernikahan.

Di sana, ibu dua anak itu kemudian terdiam dan asik memerhatikan kelompok peribadatan itu. Ia pun kagum dan jatuh cinta dengan apa yang dikenakan perempuan itu.

Dari sana, dicobanya lagi mengumpulkan aneka kebaya dan kainnya yang saat itu hanya beberapa. Rahmi kemudian memakainya sesekali untuk berkegiatan, sampai akhirnya kini kebaya jadi teman aktivitas kesehariannya.

"Saya tidak memakai kebaya dan kain batik hanya pada saat mandi doang kayaknya," celoteh Rahmi saat berbicang dengan Suara.com beberapa hari lalu di Jakarta.

Dahulu memang ia akui jika ia tidak suka memakai kebaya dan kainnya, sehingga koleksinya hanya hitungan jari. Sekarang jangan ditanya, tiga lemari khusus ia andalkan untuk menyimpan kainnya berikut dengan kebaya.

Bahkan ia sempat beberapa kali merasa aneh, kain dan kebayanya banyak yang meminta, tapi lemarinya tidak pernah kosong. "Pernah waktu itu acara `Perempuan Berkebaya`, sudah dikeluarin lebih dari 30 kain dan kebaya, tetap aja isinya masih penuh," tuturnya berkelakar.

Pantas saja itu terjadi, mengingat ke manapun ia pergi ke setiap daerah, ia selalu memboyong pulang kain khas Indonesia yang belum pernah ia miliki, dengan warna corak yang berbeda tentunya.

Penakluk Gunung: Dari Rinjani hingga Everest

Terlepas dari penampilannya yang terbilang feminim, ibu dua anak ini ternyata cukup bernyali, karena pada 1988 lalu saat masih menjadi mahasiswa, ia tergabung dalam unit Mahasiswa Pencinta Alam (MAPALA) Universitas Indonesia. Setelah itu, untuk pertama kalinya naik Gunung Gede pada 1986 lalu.

Sebelum mendaki dengan menggunakan kebaya, Rahmi telah menaklukan berbagai gunung tertinggi di Indonesia termasuk Kerinci. Bahkan ia pernah menapakkan kaki di gunung Himalaya, puncak ABC, sebagai lokasi salah satu puncak tertinggi di dunia, Everest. Sayangnya, saat itu ia tidak mencapai puncak karena berbagai alasan.

"Jangan berpikir trek perjalanan naik gunung di luar negeri lebih susah dibanding Indonesia, masih sulit naik gunung di Indonesia, trek perjalanannya sangat berat berikut dengan caranya bertahan hidup. Saya juga tidak bangga pernah menginjakkan kaki di Himalaya," celetuknya miris.

Kini, Rahmi dapat menularkan hobinya naik gunung kepada anak terakhirnya yang juga bergabung di MAPALA UI, seorang perempuan, yang juga mengambil kelas dan bidang khusus Paralayang.

Pernah Diremehkan Naik Gunung dengan Kebaya

Cerita unik ini terjadi saat Rahmi mencoba ikut bersama rombongan anak muda yang hendak menaiki Gunung Ceremai. Saat itu perempuan mantan jurnalis ini sudah memakai kebaya, dan itu berhasil membuat salah satu anak lelaki tidak nyaman melihatnya sehingga memastikan kepada Rahmi.

"Anak itu nanya, `Mbak seriusan naik gunung?`, `iya serius kok`, kali dia pikir udah emak-emak ikut mereka, cewek sendiri pakai kebaya, ngeliatin dari atas ke bawah," cerita Rahmi.

Kepada anak muda itu, Rahmi mengatakan ia memang habis mendaki Gunung Prau dan Merbabu, dua gunung yang jauh lebih pendek dari Ceremai. Anak muda itupun sempat sanksi sehingga sepanjang perjalanan pendakian terus memperhatikan Rahmi, tapi yang dilakukannya hanya cuek dan asik mendaki dengan caranya sendiri hingga akhirnya sampai puncak dan turun dengan selamat.

"Di bawah baru tuh mereka kelihatan lega kayaknya," imbuh Rahmi sambil tertawa puas.

Ikatan Kain: Kunci Kenyamanan dan Keselamatan

Sebagai anak MAPALA, Rahmi sadar betul ia lebih memilih tidak naik gunung dibanding harus membahayakan nyawa saat perbekalan dan perlengkapannya tidak memadai. Begitupun dengan memakai kebaya saat naik gunung. Perempuan yang juga konsultan komunikasi ini akan memakai kebaya yang nyaman dikenakan, dimana kuncinya adalah ikatan kain.

Beberapa kali naik gunung dengan kebaya, Rahmi sempat kesulitan dengan kain yang beberapa kali lepas, dan ia harus menyediakan waktu khusus untuk mengikatnya kembali. Sampai ia menemukan metode ikatan yang nyaman dan pas, pakai kain di atas gunung tidak lagi merepotkan.

"Kebayanya juga bukan kebaya yang ketat, aku sampai bikin sendiri ke sepupu untuk minta dijahitkan kebaya tapi bahannya kaos, jadi nyaman saat beraktifitas," ungkapnya.

Rahmi juga bercerita, di suatu ketika ia kehujanan saat sedang mendaki dan membuat kainnya basah meski ia sudah mengenakan jas hujan sekalipun. Tidak ingin nekat tetap memakai kain basah yang akan mempersulit saat berjalan, ia memilih melepaskan dan mengganti baju agar tidak kedinginan dan terserang dingin atau hipotermia di gunung.

Gerakan Selasa Berkebaya

Founder `Perempuan Berkebaya Indonesia` ini berharap naik gunung yang banyak digandrungi anak muda yang dilakukannya dengan berkebaya, mampu menularkan semangat mencintai tanah air dengan berkebaya, meski di atas gunung sekalipun.

Ajak anak muda mau berkebaya Rahmi bersama teman-temannya yang ada di komunitas pegiat kebaya lainnya terus berupaya agar semakin banyak perempuan mau lebih sering mengenakan kebaya. Salah satu upaya yang dilakukan adalah memberlakukan Selasa Berkebaya, dimana kita beraktivitas seharian penuh mengenakan kebaya.

Namun, ada sejumlah kendala dihadapi. Salah satunya adalah masih banyaknya anggapan di masyarakat bahwa berkebaya adalah sesuatu yang ribet. "Perlu juga disosialisasikan bagaimana menggunakan kain supaya enggak ribet. Karena teman-teman selalu pertanyaannya, "kok kamu enggak ribet?". Bahkan naik ke puncak gunung pun kan saya pakai kebaya," ujarnya.

Untuk menularkan kesenangan berkebaya kepada anak muda, Rahmi menilai perlu ada pendekatan psikologis. Misalnya, dengan memberikan pemahaman bahwa berkebaya tidak harus menggunakan kain ketat serta sepatu sendal tinggi, melainkan bisa disesuaikan dengan gerakan mereka yang dinamis.

"Kenapa celana panjang disukai anak muda? Karena mereka bisa gerak dengan ritme tinggi. Itu yang perlu kita sosialisasikan, yaitu cara pemakaian kain yang lebih fleksibel," kata Rahmi.

Ia meyakini, para anak muda bukannya tidak mau berkebaya sambil beraktivitas. Mereka hanya belum menemukan cara berkebaya yang nyaman serta perlu diajak secara lebih progresif.

"Kalau saya sudah lewati masa itu. Kalau ada yang tanya: "habis kondangan dimana?" saya ketawa saja. Saya kan setiap hari berkebaya. Cuma mandi saja saya enggak pakai kebaya," selorohnya.

Rahmi bahkan pernah mengajak anak-anak Mahasiswa Pencinta Alam Universitas Indonesia (Mapala UI) naik gunung sambik berkebaya, pada momentum ulang tahun unit kegiatan mahasiswa itu. Saat itu, meski beberapa anak baru mengenakan kebaya ketika sampai di puncak gunung, Rahmi tetap mengapresiasi kemauan mereka berkebaya saat naik gunung.
"Karena badannya mirip-mirip dengan saya semua, saya pinjamin kebaya. Kayaknya begitu cara menarik anak muda mau pakai kebaya. Bukan mereka enggak mau, tapi harus ada yang mengajak," kata Rahmi.*

Mengenal Semua Jenis Kebaya di Indonesia

Rahmi sempat mewanti-wanti bahwa setiap kebaya berbeda berdasarkan si pemakai dan dari mana seorang perempuan berasal, serta bagaimana asal mula kebaya itu tercipta.

"Kebaya sebenarnya bukanlah mempertontonkan aurat dengan corak yang transparan. Dulu itu perempuan Indonesia hanya memakai kemben sedada. Nah begitu masuk islam, bahu perempuan oleh pemuka agama diajarkan menutup bagian bahunya dengan kain, maka jadilah kebaya panjang hingga pergelangan tangan," terangnya panjang lebar.

Menurut Rahmi, kebaya brukat atau berenda dahulu biasa dikenakan para bangsawan atau orang Belanda, kebaya dengan kancing di depan itu khas turunan China atau kebaya encim. Sedangkan kebaya kutu baru khas pribumi.

"Kalau kebaya kalau menurut pakem itu kebaya bukaannya di depan (di bagian bawah leher), membentuk body gitu, membentuk ikuti pinggang, kiri kanan sama, simetris, itu cirinya kebaya," jelasnya.

Sementara untuk kebaya yang dikenakannya sehari-hari dan untuk naik gunung, Rahmi enggan terlalu mengikuti pakem, seperti mengenakan kain ketat, kebaya ketat badan, dan sepatu hak tinggi seperti di acara pernikahan.

Profil Singkat:

Nama : Rahmi Hidayati
Tempat/Tanggal Lahir : Dumai, 26 Januari 1968

Pendidikan :

Sastra Perancis, FS- UI, Tidak selesai
Sarjana Komunikasi, FISIP-UI, 1995
Magister Manajemen, FE-UI 2011

Kerja:

Wartawan Harian Bisnis Indonesia 1995
Direktur Utama PT Share Communication 2004-sekarang

Organisasi

Pendiri dan Ketua Perempuan Berkebaya Indonesia
Asosiasi Perusahaan Public Relations Indonesia (APPRI). *(Rikard Djegadut).

 

Artikel Terkait
Jejak Alumni FISIP UI: Mengenal Theo L. Sambuaga, Tokoh Pergerakan & Politisi Ulung
Artikel Terkini
Senyum Bahagia Rakyat, Pj Bupati Purwakarta Buka TMMD Ke-120 Kodim 0619/Purwakarta
Pemerintahan Baru Harus Lebih Tegas Menangani Kelompok Anti Pancasila
Apresiasi Farhan Rizky Romadon, Stafsus Kemenag: Kita Harus Menolak Tindak Kekerasan
Puspen Kemendagri Berharap Masyarakat Luas Paham Moderasi Beragama
KPKNL mulai Cium Aroma Busuk di Bank Indonesia
Tentang Kami | Kontak | Pedoman Siber | Redaksi | Iklan
legolas