INDONEWS.ID

  • Kamis, 11/03/2021 12:30 WIB
  • Badan Penelitian Pusat PDI Perjuangan Gelar Refleksi Kesejarahan Partai

  • Oleh :
    • Mancik
Badan Penelitian Pusat PDI Perjuangan Gelar Refleksi Kesejarahan Partai
Webinar Badan Penelitian Pusat PDI Perjuangan.(Foto:Dok.PDI Perjuangan)

Jakarta, INDONEWS.ID - Badan Penelitian Pusat PDI Perjuangan menggelar Webinar Seri 3 bertemakan, Refleksi Konstruksi Historis PDI Perjuangan: Dari PNI 1927 Ke PDI 1973 Ke PDI Perjuangan. Webinar ini merupakan rangkaian dari Peringatan HUT Ke-48 PDI Perjuangan dan menyongsong Bulan Bung Karno, Juni 2021. Jakarta, Rabu, (10/03/2021.

Hadir sebagai pemateri diantaranya, Daniel Dhakidae (Akademisi), Yophiandi Kurniawan (Wartawan Kompas TV), Sirmadji Tjondro Pragolo (Kader Senior PDI Perjuangan).

Baca juga : HUT ke-51 PDI Perjuangan, Hasto: Kesatupaduan dengan Akar Rumput Jadi Ciri Utama Ulang Tahun

Daniel Dhakidae dalam paparannya yang dibacakan moderator, Kanti W. Janis, mengurai beberapa point terkait kesejarahan PDI Perjuangan dari masa ke masa.

Tahun 1920-an hingga Masa Post Orde Baru

Menurut Daniel Dhakidae, itulah tahun ketika pertumbuhan ekonomi Hindia Belanda mencapai puncak tertinggi. Ekspor mencapai angka tertinggi. Semuanya adalah hasil dari strategi pembangunan colonial yang lebih terkenal dengan nama Etische Politiek, Politik Balas Budi Belanda. Namun , semua menjadi babak belur dengan malese dunia tahun 1929.

Baca juga : Dituntut Rp200 M, Ade Armando dan Tim Advokasi Solidaritas Rakyat Klarifikasi Gugatan PDI Perjuangan

Pertumbuhan tinggi tidak berarti rakyat makmur karena perbedaan pendapatan semakin nyata. Rakyat semakin miskin, kaum kapitalis semakin kaya. Semuanya bisa dibaca dalam tulisan Bung Karno pada tahun-tahun itu , 1926 1930 an.

Selanjutnya, di Masa Kemerdekaan, pada 1955, ketika pemilihan umum pertama dilaksanakan dan partai-partai menunjukkan konstelasi kekuatan sesungguhnya, dengan dominasi 4 partai utama yaitu PNI (57 kursi parlemen, 8.434.653 suara , Masyumi, (57 kursi, 7.903. 886) NU, 6.955.141, 45 kursi, PKI, 6.179.914 suara, 39 kursi.

Baca juga : PDI Perjuangan: Ganjar-Mahfud Berjuang untuk Rakyat, Bukan Bagi Kepentingan Keluarga

"Dengan begitu kita lihat konstelasi kekuatan dibagi rata-rata partai nasionalis, PNI, 22 persen dan PKI, 16 persen, 2 partai agama, Masjumi, 21 persen dan NU, 18 persen," katanya.

Semuanya ditambah lagi dengan partai-partai kecil/gurem, Partai2 Kristen, Katolik dan Protestan, 5 persen; dari 2 partai Islam, 4 persen; 2 partai non agama, PSI dan IPKI, 4 persen. (ini semua diambil berdasarkan 10 besar pemenang Pemilu 1955)

"Ini semua menjadi asset kekuatan politik hasil pemilu, dan menjadi parlemen pertama hasil pemilu, yang kelak dibubarkan Presiden Soekarno," kata Dhakidae dalam materinya.

Pada Masa Orde Baru, Pemilu 1971, dengan intinya 10 besar: GOLKAR, 63 persen,236 kursi; 34.348.673 suara; NU 19 persen, 10.213.650 suara, 58 kursi; Parmusi, 5 persen, 24 kursi; PNI, 3.793.266, 7 persen, 22 kursi; DUA partai Kristen, Protestan dan Katolik, 10 kursi; 2 persen. Partai gurem Islam, PSII dan PERTI, 14 kursi; partai gurem non agama, IPKI dan MURBA: 3 kursi. (ini semua berdasarkan 10 besar hasil pemilu 1971.

"Kita lihat bahwa ada perubahan drastis. Muncul suatu unsur baru GOLKAR dengan kemenangan besar, 63 persen, mayoritas mutlak, land-slide victory. Gabungan semua unsur lain, agama dan non-agama hanya membentuk 37 persen yang secara teoritis kalah dalam setiap pemungutan suara dalam segala kebijakan. PNI menjadi partai gurem," kata Dhakidae.

Dalam Pemilu 1977 betapa simplifikasi itu berhasil: GOLKAR, 62 persen, 232 kursi; PPP, 29 persen, 99 kursi; PDI, 9 persen, 29 kursi. Namun, PDI dengan lambang kepala banteng merah, masih mengganggu Orde Baru. Akhirnya ada usaha sistematik menggugurkan simbolisme itu.

"Dua versi PDI masuk ke dalam sejarah baru: PDI, Suryadi, dan PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri dan dalam pemilu PDI hilang dari lanskap politik kepartaian dan hanya PDI-Perjuangan yang terus hidup dan memenangkan pemilu 1999. PDI-Suryadi yang dalam istilah teknisnya ”out-voted” dalam Pemilu. Dalam pemilu 1999 hanya mendapat 2 kursi dan praktis hilang," terang Daniel Dhakidae.

Lanjut pada masa Post Orde Baru, dengan kemenangan meyakinkan dalam Pemilu pasca-kejatuhan Orde Baru PDI-P sejak 2015 membangun kembali identitas, historisitas, dan mitos, dan ideologi yaitu kembali kepada Soekarnoisme. Dengan demikian apa yang dihancurkan Orde Baru dihidupkan kembali PDIP.

Tanpa mitos tidak ada ideologi.

Dhakidae menilai, Satu Juni menjadi titik paling menentukan bagi terciptanya suatu state’s ideology yang terus hidup sampai hari ini. PDIP tidak mungkin hidup tanpa hari kelahiran Pancasila tersebut.

Ketika mitos melebur ke dalam ideologi—kebangsaan, lanjutnya, dan keadilan-- maka itulah hari historis, yang tetap menghidupkan historitas PDIP.

"Semuanya membentuk identitas PDIP yang tidak bisa dihilangkan oleh fusi partai-partai. Tanpa 4 hal di atas—mitos, ideologi, historisitas, dan identitas– tidak ada partai yang mampu bertahan dari fusi/peleburan paksa Orde Baru," ujarnya.

Refleksi Konstruksi Historis Partai PDI Perjuangan: dari PNI 1927 ke PDI 1973 hingga PDI Perjuangan

Politisi Senior PDI Perjuangan, Sirmadji Tjondro Pragolo merunut, PNI lahir sebagai wujud perlawanan kepada kolonialisme. Di era Orde Baru, muncul dinamika politik baru, sehingga terjadi fusi pada 10 Januari 1973 dengan kelahiran PDI.

Sejarah berjalan dan pemerintah terus mengintervensi PDI saat dipimpin Ibu Mega. Konflik pun semakin dinamis menjadi konflik ideologis hingga terjadi peristiwa Kudatuli.

"Kemudian lahir PDI Perjuangan yang merupakan kelanjutkan PDI. Dan hal paling penting, tak boleh menyebut PDIP tetapi harus disebut sebagai PDI Perjuangan, yang merupakan manifestasi dari perjuangan yang tak pernah berhenti. Pada Pemilu 1999, PDI Perjuangan pun dipercaya rakyat sebagai pemenang Pemilu," terangnya.

Tahun 2005, lanjutnya, PDI Perjuangan melakukan intensitas konsolidasi kader setelah suara menurun di Pemilu 2004. Selama 2004-2014, PDI Perjuangan memilih posisi di luar pemerintahan (oposisi) dan melakukan kritis konstruktif kepada pemerintah, sehingga pada 2014 kembali dipercaya rakyat. Pun demikian pada 2019.

"Ke depan, PDI Perjuangan harus terus konsisten dalam berideologi melalui jalan Trisakti, dan terus menerus melakukakan pendidik politik kepada masyarakat luas. Selain itu harus terus mendampingi dan mengadvokasi rakyat," ungkapnya dalam Webinar yang diikuti 700 peserta tersebut.

Tantangan dan Refleksi Kritis bagi PDI Perjuangan

Menurut Wartawan Kompas TV, Yophiandi Kurniawan, ada beberapa tantangan PDI Perjuangan ke depan, yang di antaranya adalah persoalan internal. Sementara di saat yang sama, PDI Perjuangan juga kehilangan figur yang merangkul seperti sosok Pak Taufiq Kiemas.

"PDI Perjuangan juga menghadapi tantangan konstituen berupa pemilih Pemula dan milenial yang mesti digarap secara serius," ujarnya.

Sementara, tantangan eksternal PDI Perjuangan adalah globalisme, Islam dan Sekularisme, serta militerisme dan otoritarianisme.
Dalam hal globalisme, dia menegaskan, nafas nasionalistik kian memudar. Dan meski belum optimal, upaya PDI Perjuangan menghadapi globalisme sudah nampak dengan siasat kepentingan nasional.

Dia menilai, PDI Perjuangan juga harus mengatasi nafas pluralisme yang saat ini sedang menyempit, termasuk politik identitas yang kian menguat. PDI Perjuangan harus semakin merangkul kelompok-kelompok Islam yang banyak tersebar, dengan memaksimalkan peran Bamusi. Bamusi harus maju ke depan di tengah kantong-kantong Islam dengan soft-politic, seperti hadir saat ada bencana.

"PDI Perjuangan juga harus meneruskan kemampuan Ibu Mega dalam merangkul kelompok militer," tutupnya.*

 

Artikel Terkait
HUT ke-51 PDI Perjuangan, Hasto: Kesatupaduan dengan Akar Rumput Jadi Ciri Utama Ulang Tahun
Dituntut Rp200 M, Ade Armando dan Tim Advokasi Solidaritas Rakyat Klarifikasi Gugatan PDI Perjuangan
PDI Perjuangan: Ganjar-Mahfud Berjuang untuk Rakyat, Bukan Bagi Kepentingan Keluarga
Artikel Terkini
Menkes Ungkap Penyebab Rendahnya Penurunan Angka Prevalensi Stunting
Bakar SDN Inpres Pogapa Intan Jaya, TPNPB-OPM: Merdeka Dulu Baru Sekolah
Senyum Bahagia Rakyat, Pj Bupati Purwakarta Buka TMMD Ke-120 Kodim 0619/Purwakarta
Pemerintahan Baru Harus Lebih Tegas Menangani Kelompok Anti Pancasila
Apresiasi Farhan Rizky Romadon, Stafsus Kemenag: Kita Harus Menolak Tindak Kekerasan
Tentang Kami | Kontak | Pedoman Siber | Redaksi | Iklan
legolas