INDONEWS.ID

  • Kamis, 08/09/2022 10:24 WIB
  • Sekolah Demokrasi LP3ES: Kemunduran Demokrasi dan Kehampaan Hak Warga Negara

  • Oleh :
    • very
Sekolah Demokrasi LP3ES: Kemunduran Demokrasi dan Kehampaan Hak Warga Negara
Kemunduran Demokrasi. (Foto: Ilustrasi)

Jakarta, INDONEWS.ID - LP3ES kembali membuka Sekolah Demokrasi. Sekolah demokrasi ini berangkat dari keprihatinan terhadap situasi demokrasi di Indonesia pada kurun 5 tahun terakhir.

Direktur Center for Media and Democracy LP3ES, Wijayanto mengatakan, potret demokrasi yang dapat ditangkap adalah terjadinya kemuduran serius perihal kualitas demokrasi di Indonesia. Meskipun memang kemunduran tersebut juga terjadi pada tingkat Global Democratic Resetion.

Baca juga : Dinamika Politik Menuju 2024, Demokrasi Terancam Masuk Jurang

“Dahulu, demokrasi mengalami kemunduran karena kudeta mliter. Tetapi hari ini demokasi mundur justru oleh mereka yang terpilih menggunakan mekanisme demokratis tetapi kemudian berbalik memunggungi demokrasi dalam praktik-praktik penyelenggaraan pemerintahan,” ujarnya dalam siaran pers yang diterima di Jakarta, Kamis (8/9).

Hal tersebut diungkapkannya dalam acara pembukaan Sekolah Demokrasi LP3ES pada 2-4 September 2022 lalu. Sekolah Demokrasi itu diikuti oleh 100 orang peserta dari berbagai kalangan masyarakat yang lolos seleksi oleh LP3ES.

Baca juga : Kemunduran Demokrasi Semakin Dalam, Demokrasi Rusak Oleh Politik Uang

Salah satu penyebab utama mundurnya kualitas demokrasi karena semakin kuatnya oligarki. Yakni sekelompok orang kaya yang berkuasa kemudian membajak demokrasi untuk kepentingannya sendiri. Semua kebijakan-kebijakan publik semisal UU Omnibus Law, revisi UU KPK, diadakan untuk memenuhi kepentingan elit dan oligarki. Bukan kepntingan publik.

Wijayanto mengatakan, pakar politik Robinson menyebutkan hal di atas terjadi karena state atau negara plus oligarki terlalu kuat, tetapi masyarakat sipil terlalu lemah. Padahal jalan demokrasi memerlukan keseimbangan kekuatan antara state dan oligarki dengan masyarakat sipil.

Baca juga : Pembukaan Sekolah Demokrasi LP3ES, Pemilu 2024 dan Pertaruhan Demokrasi di Indonesia

“Sekolah demokrasi dilakukan untuk mmperkuat masyarakat sipil. Tetapi membangun demokrasi tidak hanya butuh masyarakat sipil, namun gabungan sinergi antara kekuatan kampus/akademisi, filsuf, jurnalis, LSM, dan semua pihak sipil untuk melakukan dialog,” katanya.

 

Kehampaan Hak Warga Negara

Sementara itu, Ward Berenschott dalam presentasinya mengatakan pada tingkat politik kebijakan, debat tentang kebijakan masih kurang intensif antara para calon atau kontestan politik dengan konstituen. Kebanyakan karena cara berpikir kedua pihak masih sangat tradisional.

Misalnya, ide calon untuk menaikkan ekonomi rakyat, tetapi tidak ada solusi tentang cara dan kebijakan apa yang akan diambil untuk menaikkan ekonomi rakyat.

Berenschott mengungkapkan, catatan konflik lahan sawit milik perusahan dengan lahan milik masyarakat semakin banyak terjadi. Catatan Kementerian Kehutanan, terdapat 4000 konflik lahan di Indonesia saa ini, di antaranya ada lebih dari 500 konflik kebun sawit vs masyarakat desa.

“Banyak konflik lahan berusia 9-10 tahun namun tanpa ada solusi apapun sebagai solusi,” ujarnya.

Bagi masyarakat desa, sepertinya mengalami Rightlessness (kehampaan hak). Sebuah situasi di mana masyarakat tidak mempunyai daya yang cukup efektif untuk membela kepentingannya dalam mempertahankan hak atas lahan yang dimiliki yang dirampas secara tidak fair oleh perusahaan sawit.

Dia mengatakan, terdapat 3 (tiga) alasan yang kiranya menyebabkan masyarakat berada pada posisi demikian sulit.

Pertama, adanya warisan kolonial (colonial heritage), yang dimulai sejak tahun 1870 ketika penjajah Belanda memberlakukan Domein Verklaring, Undang-undang colonial yang menetapkan semua lahan yang tidak memiliki dokumen resmi adalah milik state/negara.

Ironisnya, UU kolonial tersebut masih diadopsi oleh rezim orde baru, meskipun ada UU agrarian tahun 1960. Inteperasi Suharto menyatakan negara tetap bisa menguasai lahan untuk kepentingan negara. Semua kawasan hutan pun dinyatakan dikuasai oleh negara. Saat ini sekitar 63% kawasan hutan dikuasai negara. Meskipun di angka terakhir ada 40% lahan yang sudah diregistrasi menjadi hak milik masyakarat.

Kedua, karena terdapat pasal-pasal yang melemahkan pasal lainnya. Sebagai contoh pada UU 2007, ada pasal menyebutkan perusahaan sawit yang menggunakan lahan masyarakat wajib memberikan 20% lahan untuk digunakan masyarakat desa (lahan plasma). Tetapi tak jarang perusahaan malah menunjuk lahan di luar batas konsesinya yang menjadi lahan plasma.

Begitu pula untuk pasal kewajiban Amdal yang harus dilakukan oleh pihak eksternal. Tetapi pasal lain menyebukan evaluasi Amdal tidak harus dari pihak eksternal perusahaan.

Alasan ke 3 yang menyebabkan masyarakat sulit adalah adanya kolusi bisnis dan politik antara perusahaan dengan Bupati/pimpinan daerah dan tokoh masyarakat atau parpol. Ongkos politik telah dikeluarkan banyak oleh perusahaan kepada pimpinan daerah dan/atau tokoh masyarakat dan parpol, sehingga menyulitkan posisi masyarakat desa.

Disamping itu ada kendala lain dalam perolehan hak masyarakat yaitu, adanya proses perizinan yang sulit bagi masyarakat. Proses Sekitar 68% kebun di Indonesia tercatat belum memiliki HGU. Ada HGU tapi tidak mempunyai IUP.

Dikatakannya, banyak kebun yang bahkan sudah beroperasi di kawasan hutan yang sebetulnya terlarang. Ada 19% kebun berada di kawasan hutan. Hal itu dilakukan oleh oleh 600 perusahaan sawit.

“Namun negara tidak melakukan langkah-langkah efektif penegakan hukum. Bahkan mempersulit LSM atau pihak kritis mendapatkan data peta dan datar HGU,” ujarnya.

Selain menggunakan preman untuk mempengaruhi kepala desa guna tandatangan persetujuan, perusahaan sawit juga kerap menggunakan apara kepolisian untuk merepresi protes masyarakat. Masyarakat juga tidak suka ke pengadilan karena dimintakan dokumen resmi kepemilikan lahan.

Sekitar 73 % kasus yang coba dimintakan mediasi oleh masyarakat, tetapi kemudian pihak mediator adalah mereka yang mendapat dana kampanye dari perusahaan. Hanya kisaran 15 % saja proses mediasi yang sukses.

“Ketika politisi korup dan pengusaha hitam berselingkuh, yang terjadi kemudian adalah kehampaan hak warga negara,” pungkasnya. ***

Artikel Terkait
Dinamika Politik Menuju 2024, Demokrasi Terancam Masuk Jurang
Kemunduran Demokrasi Semakin Dalam, Demokrasi Rusak Oleh Politik Uang
Pembukaan Sekolah Demokrasi LP3ES, Pemilu 2024 dan Pertaruhan Demokrasi di Indonesia
Artikel Terkini
Kunjungi Sulsel, Menteri AHY Lari Pagi Bersama Komunitas Lari Makassar
Masuk Secara Ilegal, 4 Warga Timor Leste Diamankan di PLBN Motamasin
Bupati Tanah Datar berikan aspresiasi Loka Karya dan Panen Karya Guru Penggerak
Hari ini Pengurus FOKBI Gelar Silaturahmi Jelang Musda di Jakarta
Pemred indonews.id Hadiri Halal Bi Halal di Kediaman Laksamana Purn Ade Supandi
Tentang Kami | Kontak | Pedoman Siber | Redaksi | Iklan
legolas