INDONEWS.ID

  • Rabu, 14/12/2022 10:50 WIB
  • Praja IPDN Jakarta Hadiri Diskusi Publik Cegah Penghancuran Nalar Publik di TIM

  • Oleh :
    • luska
Praja IPDN Jakarta Hadiri Diskusi Publik Cegah Penghancuran Nalar Publik di TIM

Jakarta, INDONEWS.ID - Praja IPDN Jakarta yang tergabung dalam Platos Club berjumlah 22 praja memenuhi undangan dari Akademi Jakarta untuk menghadiri Diskusi Publik dengan topik Cegah Penghancuran Nalar Publik (Suara Kaum Muda) di Teater Kecil Taman Ismail Marzuki, Sabtu, 10 Desember 2022 dari pukul 10.00-13.00 WIB.

Narasumber yang hadir diantaranya Gladhys Elliona Syahutari, penulis, peneliti seni, dan aktris teater; Martin Suryajaya, penulis filsafat, kritikus sastra dan novelis; Nathanael Pribady, founder dari Ekskul Indonesia, logos.id diskusi publik ini dimoderatori oleh Yulia Sugandi, Ph.D, pendidik dan peneliti independen yang minat utamanya mendukung perubahan sosial organik dan keadilan sosial-ekologis

Baca juga : Sekjen Kemendagri Suhajar Diantoro Tekankan Peran Penting Pamong Praja di Latsar CPNS Purna Praja IPDN

Kegiatan ini juga dihadiri oleh Ketua Akademi Jakarta, Dr. Seno Gumira Ajidarma, S.Sn, M.Hum, seorang penulis dan ilmuwan sastra Indonesia

Kegiatan ini bertujuan untuk sebagai upaya pencegahan penghancuran nalar publik dengan mendengar pandangan para intelek kaum muda yang berasal dari berbagai latar belakang.

Baca juga : Gelar Sharing Session, Taruna Akademia Dikunjungi Para Alumni: Belajar di TA Tidak Sia-sia

Pandemi Covid-19 memaksa manusia di seluruh dunia mengubah cara hidupnya, dengan kemampuan adaptasi yang berbeda-beda.
Kemunculan pandemi dan dampaknya yang multi-dimensi tidak dapat dilepaskan dari cara pikir dan cara tindak manusia yang telah mempercepat perubahan karakter alam dan interaksi di dalamnya.
Penanganan berdasarkan protokol kesehatan saja tidak memadai.

Diperlukan koreksi yang mendasar terhadap kebersalahan akut yang terjadi selama ini.
Kekeliruan kebijakan pengelolaan sumber daya alam yang telah merusak daya dukung lingkungan, penguasaan aset dan akses yang timpang, kecenderungan praktik politik dan hasrat berkuasa yang membiarkan kekuatan oligarki dan korupsi mencederai hukum serta melemahkan demokrasi, menunjukkan bahwa prinsip tata kelola hidup bersama yang berorientasi pada keadilan, kerakyatan, dan kemanusiaan telah terkikis.

Baca juga : 100 Praja Institut Pemerintahan Dalam Negeri Ikuti Upacara Pembukaan Latihan Integrasi Taruna Wreda Nusantara

Belum lagi kehidupan bersama belakangan ini semakin ditandai dengan pemaksaan kehendak, sikap eksklusif dan intoleran yang menyuburkan cara hidup anti-demokrasi. Pemisahan berdasarkan identitas dalam ruang pemukiman, ruang konsumsi, ruang pendidikan dan ruang publik lainnya justru dipromosikan untuk kepentingan bisnis dan ideologis. Keadaan ini menyuburkan radikalisasi dan ekstremitas dalam berbagai aspek kehidupan, serta mempercepat pengerdilan nilai-nilai dan kebajikan agama sebagai cara hidup menjadi semata-mata dogmatisme yang akan menguatkan irasionalitas masyarakat.

Untuk memahami sengkarut masalah diperlukan penalaran yang jernih. Sayangnya, kemampuan berpikir kritis justru sedang tertantang oleh laju pesat teknologi informasi yang ternyata tidak diikuti dengan sikap bijak dalam penggunaannya. Muncul kecenderungan untuk bersegera mengakses informasi dari internet dan bersegera pula menyebarkan tapa memprosesnya secara kritis. Kebutuhan untuk 'mengada' dan 'selalu tampil' di dunia digital mengalahkan pentingnya informasi yang benar. Berita sensasional, kontroversial, dan komentar emosional lebih memikat ketimbang pemikiran serius yang dianggap tidak praktis dan abstrak.

Perkara ini menjadi semakin serius ketika informasi diyakini benar karena cocok dengan emosi dan selera pribadi. Keengganan untuk membuka diri terhadap argumen yang tidak disukai atau tidak sejalan dengan keyakinan mengakibatkan kehidupan publik dikendalikan oleh informasi seturut kepentingan atau pilihan kelompok. Alih-alih menjadi sarana pematangan kebinekaan, ruang digital dijejali ujaran kebencian dan kebohongan yang mempertajam keterbelahan ruang sosial. Sementara, ruang gerak sipil sebagai sarana untuk mengontrol kekuasaan juga menyempit;
kritik kerap ditanggapi dengan tindakan represif.
Gejala itu mengisyaratkan sedang berlangsung penghancuran nalar publik sebagai kesadaran kritis bersama untuk menilai gagasan, peristiwa, dan kebijakan berdasarkan pertimbangan kemaslahatan umum. Jika dibiarkan, gejala ini dikhawatirkan akan melemahkan kebudayaan, serta mengancam keberlanjutan dan ketangguhan Indonesia sebagai bangsa dalam menghadapi tantangan zaman yang semakin pelik.

Melalui serangkaian dialog dengan pakar dari berbagai bidang, Akademi Jakarta mengurai gejala penghancuran nalar publik ke dalam lima permasalahan mendasar, yakni bidang Pendidikan, Lingkungan Hidup, Bidang Sosial, Ekonomi, dan Politik. (Lka)

Artikel Terkait
Sekjen Kemendagri Suhajar Diantoro Tekankan Peran Penting Pamong Praja di Latsar CPNS Purna Praja IPDN
Gelar Sharing Session, Taruna Akademia Dikunjungi Para Alumni: Belajar di TA Tidak Sia-sia
100 Praja Institut Pemerintahan Dalam Negeri Ikuti Upacara Pembukaan Latihan Integrasi Taruna Wreda Nusantara
Artikel Terkini
KPKNL mulai Cium Aroma Busuk di Bank Indonesia
Akses Jalan Darat Terbuka, Pemerintah Kerahkan Distribusi Logistik ke Desa Kadundung
Elit Demokrat Ardy Mbalembout Mengutuk Keras Aksi Penyerangan Mahasiswa Saat Berdoa di Tangsel
Penutupan Pabrik Sepatu Bata di Purwakarta Bagian dari Strategi Bisnis untuk Fokus pada Lini Penjualan
Presiden Jokowi Masih Kaji Calon Pansel KPK yang Sesuai Harapan Masyarakat
Tentang Kami | Kontak | Pedoman Siber | Redaksi | Iklan
legolas