INDONEWS.ID

  • Jum'at, 24/11/2023 21:28 WIB
  • Prabowo-Gibran: Antara Demoralisasi dan Deligitimasi

  • Oleh :
    • very
Prabowo-Gibran: Antara Demoralisasi dan Deligitimasi
Abdul Mukti Ro’uf adalah Pengajar Filsafat dan Pemikiran Islam pada Program Pascasarjana IAIN Pontianak. (Foto: Ist)

Oleh: Abdul Mukti Ro’uf*)

Jakarta, INDONEWS.ID - Sejak tahapan pencapresan dimulai, berita tentang pencawapresan Gibran Rakabuming Raka terus mendominasi percakapan publik. Nilai keseksiannya bukan terletak pada sosoknya yang muda dan menjadi wali kota Solo. Melainkan karena ia terkait langsung dengan dua sosok penting dibaliknya, presdien Jokowi dan keponakan mantan ketua Mahkamah Konstitusi, Anwar Usman.

Baca juga : Pilpres 2024: Pesta Tapi Sedih

Dua sosok penting inilah yang diduga kuat menyulut api rusaknya tatanan hukum di tubuh MK, setidaknya pasca keputusan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK). Anwar terbukti melakukan pelanggaran berat terhadap kode etik dalam uji materi perkara nomor 90/PUU-XXI/2023 tentang batas usia capres-cawapres.

Terhadap pelanggaran itu Anwar diberhentikaan dari jabatan Ketua Mahkamah Konstitusi, tidak berhak untuk mencalonkan diri atau dicalonkan sebagai pimpinan Mahkamah Konstitusi sampai masa jabatan  sebagai Hakim Konstitusi berakhir, dan tidak diperkenankan terlibat atau melibatkan diri dalam pemeriksaan dan pengambilan keputusan dalam perkara perselisihan hasil Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, Pemilhan Anggota DPR, DPD, dan DPRD, serta Pemilhan Gubernur, Bupati, dan Walikota yang memiliki potensi timbulnya benturan kepentingan.

Baca juga : Menunggu Debat yang Bermartabat dan Bermanfaat

Praktis, pasca keputusan MKMK, posisi pencawapresan Gibran memikul beban moral di pundaknya. Lebih jauh, narasinya berkembang pada perusakan nilai-nilai demokrasi dan cita-cita reformasi yang menghendaki bersih dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN).

Perusakan itu diduga kuat dlakukan justru oleh kekuatan  kolaboratif antara penguasa eksekutif (presiden) dan lembaga yudikatif (ketua MK) yang secara kebetulan memiliki hubungan langsung keluarga. Berita dan issu terntang kepanjangan MK sebagai “Mahkamah Keluarga”, nyaris tak terbantahkan dengan lahirnya keputusan MKMK.

Baca juga : Pemilu Damai dan Etika Kepantasan Publik

Di bagian lain, secara politik, tepatnya politik elektoral, pasangan Prabowo-Gibran memiliki potensi besar untuk memenangkan kompetisi pilpres 2024 dengan beberapa indikator.

Pertama, pasangan ini disokong oleh koalisi besar dengan sembilan partai parlemen dan partai non parlemen. Gabungan jumlah kursi DPR antara Gerindra, Golkar, Demokrat dan PAN mencapai 267 kursi. Bandingkan dengan Koalisi PDIP dan PPP yang mencapai 147 kursi. Juga dengan koalisi Perubahan (Nasdem, PKB, dan PKS) sebanyak 167 kursi. Secara teoritik, kekuatan Koalisi Indonesia Maju cukup menjanjikan. Meskipun demikian, besarnya jumlah gabungan partai dan kursi penyokong pasangan Prabowo Gibran tidak selalu identik dengan perolehan suara di pilpres.

Kedua, diunggulkan oleh banyak lembaga survei terutama psaca putusan MKMK sebagai berikut:

LEMBAGA SURVEI

ANIES-MUHAIMIN (1)

PRABOWO-GIBRAN (2)

GANJAR-MAHFUD (3)

Charta Politika

24,3 %

36 %

36,8 %

Populi Center

23,3 %

43,1 %

23 %

Poltracking

24,4 %

40,2 %

30,1 %

Indikator Politik

24,4 %

39,7 %

30 %

Terlepas dari angka-angka survei yang subjektif karena faktor “pesanan” atau bukan, angka-angka ini relatif dapat mempengaruhi opini publik bahwa pasangan Prabowo-Gibran untuk sementara unggul jelang pilpres empat bulan mendatang.

Ketiga, dan ini yang cukup menghebohkan, secara kasat mata didukung oleh kekusaan rezim Jokowi dengan seluruh kekusaan yang dimilikinya. Terhadap indikator ini, issu tentang kecurangan pemilu oleh aparat pemerintah cukup kuat jauh sebelum hari pencoblosan. Istilah “cawek-cawek” yang dinyatakan oleh Jokowi sudah teramat jelas.

Seruan agar Presdien bersikap dan berlaku netral sulit dibayangkan karena posisi anak sulungnya menjadi cawapres. Seruan ini, secara faktual akan bertabrakan dengan logika, “tidak mungkin seorang ayah tidak membela anaknya”. Sikap kenegarawanan seorang Jokowi telah mulai dipertanyakan sejak ia “mendiamkan” kasak-kusuk hukum di Mahkamah Konstitusi.

 

Mendeligitimasi Prabowo-Gibran?

Memang, tidak ada pertarungan politik yang tanpa “memakan korban”. Majalah Tempo, dalam opininya menyebut pasangan Prabowo-Gibran sebagai “produk gagal reformasi dan anak haram konstitusi” (Opini Majalah TEMPO edisi 13-19 November 2023). Sebuah lebelisasasi yang sangat serius dan keras. Dalam konteks ini, pasangan Prabowo-Gibran dipandang sebaagai puncak dari ambisi kekuasaan Jokowi.  Mau tidak mau, pasangan ini harus menerima labelisasi publik karena fakta-fakta yang terbuka dan telanjang.

Namun demikian, persepsi publik lain, sepanjang yang terekam dalam lembaga survei—terlepas setuju atau tidak setuju—menangkap bahwa demoralisasi hukum yang dilakukan oleh ketua MK belum berdampak pada adanya deligitimasi terhadap pasangan ini. Angka-angka survei yang masih relatif tinggi menunjukan tidak adanya hubungan sebab-akibat antara “pelanggaran hukum” dan tingkat kepercayaan publik.

Situasi ini sekaligus menggambarkan anomali yang masih harus terus dijelaskan. Temuan etik satu hal, kepastian hukum hal yang lain. Juga terhadap pendapat masyarakat yang terbelah terhadap pro dan kontra itu. Dan, sampai di sutulah kualitas peradaban demokrasi kita.

Kini, selian keputusan MK bersifat final dan mengikat, KPU telah menetapkan pasangan capres-cawapres dengan nomor urut masing-masing. Artinya, secara hukum, tiga pasangan ini telah mendapat legitimasinya. Sebab, pelanggaran etika oleh hakim konstitusi yang terkait langsung dengan salah satu pasangan capres-cawapres tidak membatalkan keputusan MK yang menyebabkan Gibran melenggang.

Secara politik dan moral, Gibran terlabelisasi sebagai cawapres yang menanggung beban moral. Sehingga, delegitimasinya ada dalam ranah moral. Jika di kemudian hari pasangan ini memenangkan pilpres, maka kemenengannya tetap sah sepanjang ditetapkan oleh KPU dan atau MK jika terjadi sengketa perolehan suara. Tetapi, ia tetap direkam oleh sejarah sebagai wapres yang lahir dari keputusan MK yang cacat secara etik.

 

Keadaban Politik

Sekali lagi, dalam idealisme demokrasi, wabil khusus dalam parameter pemilu, bukan hanya sekedar menerjemahkan “suara rakyat suara Tuhan” menjadi one man one vote. Demokrasi lebih jauh meminta agar prinsip “jujur dan adil” menjadi payung dalam proses-proses seleksi kepemimpinan nasional.

Pemilu demokratik yang bertumpu pada one man one vote bukan tanpa masalah. Filsuf besar, maha guru Plato, Socrates dalam hidupnya menjadi korban prinsip ini. Pada tahun 399 sebelum masehi, ia dituduh memprofokasi anak muda Athena dan diadili. Sebuah dewan juri terdiri dari 500 warga Athena diundang untuk memutuskan Sokrates bersalah atau tidak. Ternyata mayoritas menyatakan Sokrates bersalah dan dihukum mati dengan dipaksa minum racun.

Artinya, kebenaran demokratik yang sering dibangga-banggakan itu, jika ia terlepas dari kendali akan mudah terjerumus kepada demagogi, sebuah istilah untuk menggambarkan bahwa rakyat dipimpin oleh seorang sesama rakyat yang tidak tahu cara memimpin secara tepat dan benar.

Walhasil, jalan politik untuk merebut kekuasaan seringkali diiringi oleh nafsu kekuasaan yang sewakt-waktu dapat membutakan nilai-nilai kejujuran dan keadilan. Banyak aparat, pakar, dan pegiat hukum yang dihukum justru karena pelanggaran hukum. Luasnya ilmu dan pengalaman bukan jaminan untuk seseorang dapat bersikap teguh menjaga kejujuran dan keadilan. Adalah paradoks yang merusak akal sehat: bagaimana mungkin pimpinan lembaga hukum yang sangat dihormati seperti KPK dan MK memiliki masalah hukum.

Lantas, kepada siapa kita bisa berharap atas pembangunan keadaban politik di negeri ini jika para pengambil dan pemutus kebijakan utamanya memiliki kecenderungan demagogis.

*) Penulis adalah Pengajar Filsafat dan Pemikiran Islam pada Program Pascasarjana IAIN Pontianak

Artikel Terkait
Pilpres 2024: Pesta Tapi Sedih
Menunggu Debat yang Bermartabat dan Bermanfaat
Pemilu Damai dan Etika Kepantasan Publik
Artikel Terkini
KI Pusat Mantapkan Sinergi dengan Media dalam Mengawal Informasi Publik
Direktur GKI Beri Materi Kewirausahaan untuk Pelajar SMKS Bina Mandiri Labuan Bajo
Menjadi Tulang Punggung Pengembangan Usaha Ultra Mikro Indonesia, PNM Ikuti 57th APEC SMEWG
Tiga Orang Ditemukan Meninggal Akibat Tertimbun Longsor di Kabupaten Garut
Pimpin Proses Penyiapan dan Percepatan Keanggotaan Indonesia pada OECD, Presiden Joko Widodo Tunjuk Menko Perekonomian sebagai Ketua Tim Nasional OECD
Tentang Kami | Kontak | Pedoman Siber | Redaksi | Iklan
legolas