Jakarta, INDONEWS.ID - Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Erlinda meminta dukungan berbagai pihak agar majelis hakim menjatuhkan vonis kebiri atau hukuman mati pada predator seksual, Asep Saepulloh, yang sedang menjalani sidang lanjutan ketiga, di Pengadilan Negeri Tasikmalaya, hari ini, Kamis (27/7/2917).
“Kami mohon dukungan seluruh masyarakat untuk meyakinkan hakim agar memberikan vonis kebiri atau hukuman mati (pada Asep Saepulloh, red.),” ujar Erlinda dalam pesan singkat, Kamis.
Permintaan dukungan “Selamatkan Anak Indonesia” itu ditulis dalam tagar #BeraniMenyuarakanKebenaran.
Pemerhati anak ini kemudian menjelaskan krnonologis kasus yang menimpa korban, Nwn dan beberapa anaknya, yang menjadi korban kekerasan seksual Asep.
Nwn, yang saat ini berusia (27 Tahun), ditinggalkan meninggal oleh ibu kandungnya sejak usia 3 bulan. Nwn adalah korban pelecehan kekerasan seksual oleh Asep Saepulloh warga Kampung Cigolong Desa Singasari Kecamatan Taraju Kabupaten Tasikmalaya yang notabene adalah ayah kandungnya hingga mempunyai 4 (empat) orang anak.
Kemudian, Nwn bersama Asep Saepulloh ikut dalam program transmigrasi. Menurut Erlinda, selama transmigrasi terjadilah persetubuhan hingga mempunyai 4 anak.
“Nwn sebelum disetubuhi sering mengalami kekerasan apalagi jika memberontak selalu diancam dan dipukul sehingga mengalami. Retak tulang,” ujarnya.
Nwn digauli oleh Saepuloh sejak usia 13 tahun. Adapun anak Nurwulan dari hasil pencabulan yaitu, Fitri (13 Tahun), Aas (sekarang diadopsi), Damar (sekarang diadopsi), dan Anisa ( 8 tahun).
Setelah mempunyai empat anak, pada tahun 2010 Nurwulan menikah dengan Wanto, warga Indihiang Kota Tasikmalaya, dan kemudian menetap hingga dikaruniai 2 orang anak.
Setelah pernikahan itu, Fitri (anak Nurwulan) yang masih duduk di bangku kelas 6 Sekolah Dasar, tinggal bersama Saepuloh di Kampung Cigolong Taraju. Kemudian, Fitri juga digauli lagi oleh Asep Saepulloh sebanyak 3 kali. Hasil visum membuktikan organ vital Ftiri telah rusak.
Fitri mengatakan, sebelum digauli Aep Saepulloh melakukan kekerasan seperti memukul di kepala.
Anisa, adik Fitri, yang duduk di bangku kelas 4 SD, juga digauli Saepuloh. Namun, aksi Sapuloh itu yang ketika kejadian diketahui oleh Fitri. Anisa mengalami trauma karena disuruh melakukan hal seronok.
Setelah kejadian itu, Fitri dan Anisa kabur ke Indihiang dengan meminjam uang 20 ribu dari tetangga. Mereka pergi ke Tasikmalaya menemui Nurwulan, yang diketahuinya sebagai kakak, dan bukan ibu kandung mereka.
Mendengar kesaksian Fitri dan Anisa, suami Nurwulan, Wanto, langsung melaporkan Aep Saepuloh kepada Polisi. “Setelah kejadian tersebut, keluarga mereka mengalami ancaman dan teror,” kata Erlinda.
Erlinda menginformasikan, saat ini, keluarga Wanto dan Nurwulan termasuk Fitri dan Anisa dan 2 anak Nurwulan hasil pernikahan dengan Wanto, berada di bawah perlindungan dan pengawasan Komisi Perlindungan Anak Indonesia Daerah (KPAID) Kabupaten Tasikmalaya, yang saat ini berada di Kecamatan Ciawi Kabupaten Tasikmalaya. (Very)