Nasional

Politik, Propaganda, dan Eksistensi Negara

Oleh : indonews - Sabtu, 09/12/2017 10:27 WIB

Stanislaus Riyanta, analis intelijen, alumnus Pascasarjana Kajian Stratejik Intelijen Universitas Indonesia, saat ini sedang menempuh studi Doktoral di Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia. (Foto: Ist)

Oleh: Stanislaus Riyanta *)

DINAMIKA politik yang sangat kompleks dan penuh dengan ketidakpastian membuat kelompok-kelompok tertentu menggunakan segala cara untuk meraih tujuan, termasuk dengan menggunakan cara propaganda. Propaganda adalah pendapat yang benar atau salah yang dikembangkan dengan tujuan meyakinkan orang agar menganut suatu aliran, sikap, atau arah tindakan tertentu (KBBI). Salah satu literatur lama tentang intelijen di Indonesia, (Napitupulu, 1966) membagi jenis propaganda berdasarkan sifatnya, yaitu propaganda putih, propaganda abu-abu, dan propaganda hitam. Propaganda putih biasa disebut dengan penerangan, propaganda abu-abu disebut dengan propaganda, dan propaganda hitam disebut dengan agitasi.

Propaganda putih atau penerangan biasanya dilalakukan oleh instansi resmi dan untuk memberikan informasi yang resmi, faktual kepada masyarakat umum. Propaganda abu-abu biasanya konten yang diberikan sudah “dimiringkan” dengan tujuan untuk menciptakan persepsi negatif kepada pihak tertentu. Propaganda hitam atau agitasi dilakukan oleh sumber rahasia dengan konten negatif untuk menyerang orang atau pihak tertentu.

Kebebasan demokrasi membuat orang atau kelompok dengan bebas mengutarakan pendapatnya termasuk melakukan propaganda. Jika masih menggunakan propaganda putih atau maksimal abu-abu maka masih bisa dianggap wajar dalam dinamika politik, namun jika sudah terjadi propaganda hitam atau agitasi maka hal tersebut bisa berdampak pada terjadinya konflik massa, ketidakpercayaan kepada pihak tertentu termasuk pemerintah dan gangguan keamanan negara.

Beberapa aksi masyarakat akhir-akhir ini terlihat ada propaganda untuk mewujudkan ideologi selain Pancasila. Propaganda yang bertentangan dengan idologi bangsa juga diimbangi dengan propaganda menyudutkan pemerintah, sehingga bisa menyebabkan persepsi pada penerima propaganda bahwa pemerintah salah dan kelompok pengusung propaganda tersebut benar. Propaganda yang mencoba menawarkan ideologi selain Pancasila antara lain dibungkus dengan kemasan bentuk kesalehan bela agama, dan yang menentang propaganda tersebut akan dianggap melawan agama.

Ironisnya jika terjadi propaganda yang bersifat abu-abu dan hitam untuk melemahkan negara, pemerintah sering kali terlihat kalah pengaruh. Kelompok anti pemerintah konsisten dengan kualitas dan kuantitas konten, sementara pemerintah kadang justru kurang cepat, banyak sumber yang berbicara sehingga tidak konsisten, dan akhirnya informasi yang disampaikan bisa membuat kebingungan atau ketidakpercayaan di masyarakat.

Konten propaganda kelompok anti pemerintah yang bombastis, tidak faktual, namun lebih cepat dan konsisten justru akan dianggap sebagai kebenaran oleh masyarakat. Bagi pembuat propaganda terutama untuk kepentingan politik, faktual bukan suatu kebutuhan pokok, bahkan kebohongan  akan digunakan, yang penting bisa mempengaruhi dan membuat orang banyak untuk percaya dengan apa yang disampaikan. 

Propaganda yang dilakukan oleh non state actor untuk membentuk opini masyarakat seperti yang dilakukan dalam aksi-aksi unjuk rasa akhir-akhir ini. Pada salah satu aksi masyarakat, pihak pelaku memberikan informasi kepada masyarakat bahwa jumlah pesertanya adalah jutaan orang. Sementara hitung-hitungan ilmiah adalah puluhan ribu orang. Akurasi kebenaran jumlah menjadi tidak penting dalam aksi propaganda. Yang paling penting adalah masyarakat mendapatkan informasi bahwa aksi tersebut didukung oleh jutaan masyarakat. Walaupun informasi tersebut tidak tepat namun banyak yang percaya karena pemerintah lambat bahkan tidak memberikan informasi yang bisa lebih dipercaya oleh publik.

Propaganda juga terjadi ketika ada aksi teror. Propaganda yang dilakukan oleh kelompok anti pemerintah dengan cepat adalah mengatakan bahwa aksi tersebut merupakan pengalihan isu. Dan sayangnya propaganda yang dilakukan oleh kelompok anti pemerintah ini justru diulang-ulang oleh media masa dan penyebarannya dibantu oleh media sosial sehingga masyarakat menerima propaganda ini dalam bentuk informasi repetatif dan akan dianggap sebagai kebenaran.

Dalam kasus tertentu, pelaku juga akan melakukan propaganda untuk mendapatkan simpati dan pembelaan masyarakat. Biasanya pelaku akan memanfaatan isu agama sehingga akan tercipta opini bahwa perlakuan atau tindakan terhadap dirinya akan disamakan dengan melawan agamanya.

Walaupun propaganda-propaganda yang bisa mengancam eksistensi negara ini sudah banyak terjadi, namun sayangnya respon pemerintah, seperti misalnya Kementrian Agama jika ada konten propaganda menggunakan isu agama, kurang cepat atau bahkan tidak ada. Bukan salah masyarakat jika propaganda tersebut dianggap kebenaran oleh masyarakat karena informasi tersebut yang secara masif diterima.

Media massa yang seharusnya mempunyai peran untuk mencerdaskan warga negara melalui konten yang disajikannya, jika tidak cermat atau hanya mengejar aspek komersial justru menjadi penyebar propaganda anti pemerintah. Konten propaganda yang bersifat bombastis, tidak normal, atau luar biasa, lebih laku dan menarik perhatian masyarakat daripada konten informasi yang disampaikan secara formal oleh pemerintah.

Kebutuhan untuk menampilkan sesuatu yang diperlukan konsumen media massa akhirnya menjadikan media massa sebagai penyebar propaganda yang efektif. Propaganda, terlepas dari jenisnya, putih, abu-abu, atau hitam, sukses dilakukan dengan bantuan media massa. Tugas mulia media massa untuk ikut serta mencerdaskan bangsa akhirnya terpinggirkan oleh kebutuhan pemberitaan.

Pemerintah harus mengambil langkah-langkah yang tepat untuk melakukan kontra propaganda. Saat ini, terutama menghadapi tahun politik, propaganda-propaganda akan terus terjadi untuk mempengaruhi masyarakat agar percaya dan memihak kepada kelompok tertentu. Propaganda yang dilakukan oleh pihak-pihak tertentu dapat mengurangi kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah, bahkan dapat mengganggu eksistensi negara terutama usaha untuk melemahkan ideologi Pancasila.

Aksi yang dilakukan pemerintah dalam memberikan informasi yang akurat kepada masyarakat tidak boleh kalah cepat. Celah-celah waktu dan kebutuhan akan informasi akan dimanfaatkan oleh kelompok tertentu untuk masuk sekaligus melakukan propaganda. Momentum yang diciptakan oleh kelompok tertentu untuk memancing keingintahuan masyarakat dijawab dengan informasi versi mereka sekaligus propaganda untuk mempengaruhi masyarakat mempercayai sesuatu.

Zaman sudah canggih, informasi bisa disebarkan dalam sekejap. Jarak bukan lagi halangan. Tinggal kemauan pemerintah untuk memberikan informasi lebih cepat dan tepat dibandingkan kelompok-kelompok yang mempunyai tujuan politik tertentu. Sekat-sekat birokrasi yang terlalu panjang dan formal tidak boleh menjadi alasan untuk menunda memberikan informasi kepada masyarakat, kecuali jika memeang rela masyarakat terkena propaganda dari pihak-pihak yang anti dengan pemerintah. (*)

*) Stanislaus Riyanta, pengamat intelijen, mahasiswa Doktoral Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia.

 

Artikel Terkait